Featured Video

Senin, 31 Oktober 2011

Tentang Presiden Bukan Jawa


Taufik Effendi

Pendikotomian Jawa-Bukan Jawa, tua-muda maupun sipil-militer dalam diskusi mengenai calon presiden (capres) dapat dimaknai sebagai upaya penggiringan opini untuk kepentingan-kepentingan politik jangka pendek. 
Sehingga hal substansial yang semestinya menjadi prasyarat utama seseorang dianggap layak untuk jadi capres menjadi abai dan nyaris tidak disinggung-singgung dalam perdebatan-perdebatan maupun diskusi di ruang publik.
Pernyataan Sukardi Rinakit, Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), sebagaimana diberitakan Singgalang, Jumat (28/10) dalam sebuah diskusi di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menyatakan sudah saatnya menghentikan mitos bahwa presiden harus berasal dari Jawa.
Ia bermaksud mengapungkan hal-hal substansial yang hendaknya menjadi kajian terkait dengan syarat-syarat capres, misalnya sikap ksatria, bukan asal suku.
Namun, patut dicermati dalam konteks pendikotomian tersebut apakah tidak menjadi kontra produktif? Sekaligus harus dipertanyakan, apakah wacana pendikotomian Jawa-Bukan Jawa untuk capres 2014 tidak merupakan eksperimen untuk menguji tanggapan sekaligus pengkutuban dukungan?
Maklum, dalam sejarah negeri ini, hanya sempat satu kali kursi kepresidenan ditempati oleh Bukan Jawa, BJ Habibie pada 1999. Itupun bukan hasil pilpres, melainkan lantaran amanat konstitusi yang mengharuskannya dalam kapasitas sebagai wakil presiden saat itu untuk menggantikan Presiden Soeharto yang memutuskan berhenti dari jabatan presiden saat gerakan reformasi bergulir.
Oleh sebab itu, politik dikotomi ini akan kembali berjaya manakala tidak ada upaya-upaya cerdas dari para pihak untuk menghentikannya.
Sebab, ketika pilihan sudah terkunci pada satu dari dua yang didikotomikan, maka rasionalitas pemilih akan terkerangkeng, sehingga demokrasi pun terpasung pada suara terbanyak berdasarkan pada hal-hal yang tidak substansial (kesamaan asal suku, agama, dan lain-lain).
Sesuai Sensus Penduduk (SP) tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237.641.326 jiwa, dan lebih setengahnya adalah penduduk pulau Jawa, yakni sebanyak 136.610.590 jiwa (57,48%). Maka, dapat ditengarai dikotomi ini akan mengkutubkan pilihan pada capres Jawa.
Inilah pemasungan demokrasi pada “suara terbanyak” yang sedang dicoba kembali untuk kepentingan-kepentingan politik jangka pendek, dengan menguatkan kembali isu-isu kesamaan suku, agama dan ras (SARA) untuk pemilihan presiden (pilpres) 2014 yang akan datang!
Dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sangat plural ini, sesungguhnya tidak lagi elok untuk mendikotomikan hal-hal yang berbau suku, agama dan ras (SARA). Selain isu SARA adalah hal yang sangat sensitif, saat ini sebenarnya sudah semakin menguat indikasi terjadinya friksi-friksi yang mengarah pada separatisme di sejumlah kawasan tanah air.
Saat ini, sejumlah tokoh mulai dielus-elus dan digadang-gadang berpeluang menjadi capres pada tahun 2014. Seperti survey SSS yang dirilis Rabu (26/10), menunjukkan 28 persen responden memilih Prabowo Subianto (Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra) sebagai capres, sedangkan Mahfud MD (Ketua Mahkamah Konstitusi) sebesar 10,6 persen.
Survei menanyai 1.318 responden di 33 provinsi pada rentang waktu 3-8 Oktober 2011, mereka juga memilih Sri Mulyani dengan suara sebanyak 7,4 persen, Aburizal Bakrie 6,8 persen, Said Akil Siradj 6 persen, Din Syamsuddin 5,2 persen, Pramono Edhie Wibowo 4,2 persen, Jusuf Kalla 4,0 persen, Djoko Suyanto 3,2 persen, Hatta Rajasa 2,8 persen, dan Surya Paloh 2,5 persen.
Sementara alasan memilih nama-nama tersebut, antara lain karena tegas, jujur, pandai, visioner, pekerja keras, kaya, dan religius. Tidak dicantumkan alasan pilihan berdasarkan asal suku. Apakah memang alasan pilihan berdasarkan asal suku ini tidak ditanyakan oleh SSS?
Sekarang, alih-alih mendikotomikan hal-hal yang berbau SARA, maka patut terus diperjuangkan syarat-syarat substansial capres. Seperti tegas, tidak ragu-ragu, tetapi juga tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan.
Jujur, terutama memiliki rekam jejak yang bersih dari praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Pandai, cerdas dan berpendidikan serta menggunakan akal sehat, rasionalitas dan memakai kaidah-kaidah ilmiah dalam pengambilan keputusan. Visioner, berorientasi masa depan dengan melihat kekinian. Pekerja keras, ulet dan tahan uji. Dan kaya (mampu meraih kemerdekaan finansial dengan praktik-praktik bisnis yang sehat) serta religius (saleh dan melaksanakan peribadatan menurut agama yang dianut).
Dengan syarat-syarat substansial tersebut, dari sekarang sudah bisa kita pelototi, siapa gerangan yang tepat menjadi capres nanti. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar