Featured Video

Kamis, 13 Oktober 2011

HABIS PILREK, TERBITLAH PILPUREK


UNAND SUDAH TENTUKAN REKTOR
Pilrek (pemilihan rektor) Unand akhirnya berakhir. Berdasarkan pemilihan bersama antara menteri/utusan dan Senat Universitas Andalas (putaran ketiga) pada hari Rabu, 12 Oktober 2011,
Dr. Werry Darta Taifur, yang saat ini menjabat Pembantu Rektor II, dipastikan memuncaki perolehan suara sebanyak 114 suara, disusul Prof. Dr. Edison Munaf 63 suara, dan Prof. Dr.Ir. Helmi 46.
Perolehan suara demikian, menurut perkiraan saya, me­ngindi­kasikan jika hak suara menteri/utusan sebesar 35 persen sepenuhnya diberikan secara ‘utuh’ kepada Dr. Werry Darta Taifur. Terbukti, hak suara menteri mampu merubah peta politik Pilrek secara signifikan. Kemenangan Dr. Werry juga berarti posisi PR II dengan sendirinya lowong dan Unand barangkali akan segera me­lakukan pemilihan Pembantu Rektor (Pilpurek) dalam waktu dekat. Begitulah.
Ranking perolehan suara dalam pemilihan tersebut juga senada dengan pemilihan calon rektor di tingkat Senat (putaran kedua yang menghasilkan tiga nama di atas) beberapa minggu sebelumnya. Sebab itu, hasil pemilihan putaran tiga ini boleh dibilang ‘menguatkan’ hasil perolehan suara pada putaran kedua sebelumnya meski di putaran kedua  tersebut selisih suara khususnya antara peringkat satu dan dua tidak terlalu besar (masing-maing 42 dan 40 suara). Terlepas dari pelaksanaan Pilrek Unand yang sudah selesai, saya pikir kita patut mengkritisi Permediknas yang salah satunya mengatur tentang Pilrek tersebut. Sebelumnya, selamat kepada Rektor Unand terpilih semoga selalu menganggap jabatan sebagai sebuah amanah, bukan hadiah.
Sejumlah kalangan memang mempertanyakan Per­mediknas Nomor 24 tahun 2010 yang mengatur tentang Pe­ngang­katan dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur pada Perguruan Tinggi yang di­selenggarakan oleh Pemerintah dan mendesak agar peraturan tersebut direvisi, bahkan ada yang mengusulkan agar peraturan tersebut dicabut. Sejumlah alasan pun diutarakan kenapa peraturan tersebut perlu direvisi. Mulai dari tahapan yang berjenjang dan memakan waktu hingga hak suara Mendiknas yang mencapai 35 persen dari total suara yang akan diberikan pada saat pemilihan bersama antara Menteri dan Senat (hak suara Senat 65 persen) yang akan dilaksanakan secara tertutup. Pemilihan tersebut nantinya dilangsungkan dengan pe­mu­ngu­tan suara, bukan musya­warah untuk mufakat. Musya­warah untuk mufakat sudah menjadi barang mahal dan tak popular seiring dengan tinggi­nya animo ingin-jadi-pejabat di mana-mana.
Tahapan pilrek menurut peraturan tersebut dimulai dari penjaringan balon, penyaringan, pemilihan, dan pengangkatan. Tahapan penyaringan sendiri, sebagaimana sudah dilalui, bermula dari pemilihan tingkat dewan dosen untuk menciutkan jumlah calon. Meski pemilihan tingkat dosen tersebut terkesan aspiratif dan demokratis, hasilnya tetap spekulatif. Sebab, hasil pemilihan tingkat dosen bisa saja berbeda dengan hasil pemilihan berikutnya yang dilakukan oleh Senat Univer­sitas. Selanjutnya, pemilihan tingkat Senat dilakukan untuk lebih menciutkan jumlah calon. Diskrepansi antara suara dewan dosen dengan suara Senat terbukti terjadi dalam Pilrek Unand kali ini. Prof. Novesar Jamarun yang memimpin suara pada pemilihan tingkat dosen, ter­nyata terpental pada pe­milihan tingkat Senat Univer­sitas.
Menurut saya, cara pe­milihan demikian terlalu spe­kulatif untuk dilanjutkan ke depan. Pasalnya, ada potensi konflik horizontal yang mung­kin timbul meski hanya pada tataran psikologis. Efek psiko­logis yang barangkali timbul dengan situasi demikian (suara majelis dosen berbeda dengan suara Senat) mungkin terjadi di kalangan dosen sendiri, para calon Rektor, bahkan Rektor terpilih nantinya. Jika dosen terpilih bukan figur yang memenangi suara di tingkat dosen, bukan pilihan mayoritas dosen, mereka bisa atau boleh saja memiliki sense of belonging yang rendah terhadap Rektor terpilih. Rektor terpilih pun bisa merasa discouraged atau rendah diri dengan keadaan demikian. Pernyataan ini memang terdengar spekulatif atau subjektif, tetapi intinya adalah alternatif metode pe­milihan yang lebih baik, bebas efek psikologis serupa demi­kian harus dipikirkan ke depan.
Perbedaan jumlah pero­lehan suara baik di tingkat dewan dosen maupun Senat sebenarnya bisa dimaklumi. Hal ini karena jumlah dosen di setiap fakultas/jurusan juga berbeda. Demikian juga halnya komposisi anggota Senat di­mana setiap fakultas/Jurusan memiliki ‘perwakilan’ yang jumlahnya bervariasi. Kenya­taan ini menjadi penting jika dikait­kan dengan ego, hu­bungan emosional, profesional, atau relasi  lain para calon dan pemilih yang berasal dari fakultas/jurusan yang sama. Dosen dan anggota Senat sering sekali memilih calon yang berasal dari Fakultas/Jurusannya. Suara yang paling menentukan barangkali berasal dari dosen dan/atau anggota Senat yang berasal dari Fakul­tas/Jurusan yang tidak me­ngirim­kan calon rektor. Bagai­mapun juga, hal ini tidak untuk menafikan bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk memberikan hak suaranya ke sesiapa saja yang diingin­kannya.
Jabatan Politis
Hal lain yang patut juga dikritisi terkait dengan Per­medi­knas di atas adalah hak suara yang dimiliki oleh Menteri. Dalam Permendiknas tersebut Pasal 6 Ayat 2 poin e nomor 1 berbunyi menteri memiliki 35 persen hak suara dari total pemilih. Adanya hak suara menteri, yang me­rupa­kan jabatan politis, tersebut praktis mencitrakan jabatan rektor sebagai jabatan politis (meski hanya 1/3 politis mengingat suara Mendiknas sebesar 35 persen).
Hal ini membuat sebagian kalangan ragu akan indepen­densi dan kritisisme kampus (tentu termasuk mahasiswa) terhadap pihak penguasa. Ungkapan seperti Mahasiswa takut kepada Rektor, Rektor takut kepada Menteri, Menteri takut kepada Mahasiswa di­khawatir­kan menjadi semakin relevan untuk dipertimbang­kan implikasinya. Di samping itu, masyarakat, termasuk internal kampus, mengharap­kan jabatan rektor murni akade­mis dan manajerial serta steril dari kepentingan politis. Dengan demikian fungsi kampus sebagai kritikus sosial dapat berjalan.
Selain itu, ada dua hal lain yang patut dikritisi dari hak suara Menteri tersebut. Pertama, hak suaranya besar dan, kedua, terkait dengan alasan memilih calon tertentu. Hak suara se­besar 35 persen tersebut sangat ber­peluang merubah peta per­olehan suara yang sebelumnya terjadi di tingkat Senat. Sebab, asumsinya, hak suara menteri tersebut akan diberikan kepada satu orang calon saja. Ke­menangan Dr. Werry D. Taifur, misalnya, menurut sebuah perkiraan karena beliau me­ngantongi suara Menteri, yang notabene berbeda dengan suara mayoritas Senat.
Memang ada juga yang me­ngasumsikan jika suara Menteri akan dibagikan kepada setiap calon Rektor; namun, jika demikian, tidakkah itu bentuk inefisiensi? Kenapa Menteri tidak sepenuhnya menyerahkan pe­milihan kepada Senat saja kalau ternyata harus membagi-bagi suara? Yang paling penting juga dipersoalkan jika hal demikian terjadi adalah apakah tidak aneh jika dalam satu kali pemilihan dengan sistem pe­mungutan suara (bukan sistem scoring), seseorang atau satu pihak bisa memilih semua calon dan semua pilihannya sah? Bagi saya tidak. Menteri/Utusan juga barangkali tidak akan me­lakukannya.
Kedua, terkait dengan dasar atau alasan kenapa hak suara sang Menteri pada akhirnya diberikan kepada salah seorang calon dan mengabaikan calon lain. Dalam Pasal 6 Ayat 2 Poin d disebutkan Paling lambat 2 (dua) minggu sebelum pe­milihan, Senat menyampaikan daf­tar riwayat hidup dan prog­ram kerja para calon Rektor/Ketua/Direktur kepada Menteri.
Menurut Pasal tersebut, saya mengasumsikan jika dasar pemberian suara Menteri kepada calon tertentu murni hanya syarat administratif, seperti desk evaluation. Per­soalannya kemudian adalah apakah pertimbangan itu cukup dan pantas jika dikaitkan dengan hak suara yang besarnya 35 persen? Tidakkah data berupa daftar riwayat hidup dan program kerja yang di­kirim kepada Menteri pasti menarik, positif, konstruktif? Intinya, setiap calon memiliki syarat administratif yang tipis alias nyaris sama. Apakah hanya itu yang dijadikan Menteri sebagai dasar pem­berian suara? Dengan kata lain, Menteri memiliki sumber terbatas terkait dengan data para calon Rektor.    
Saya berpendapat, ke de­pan Pemilihan Rektor harus laksanakan dengan mekanisme yang lebih cepat dan  seder­hana. Caranya, bisa saja dengan hanya melakukan pemilihan sampai di tingkat dosen saja. Pemilihan (Wakil) Presiden saja hanya dilakukan sekali, kenapa Pilrek harus berkali-kali? Bukankah para dosen sudah cerdas dalam mengguna­kan hak suaranya? Di samping itu, untuk menghindari ‘habis Pilrek, terbitlah Pilpurek’, para calon rektor harus tidak sedang memegang jabatan (incumbent) teras seperti Dekan, Pembantu Rektor, dan yang setara atau lebih tinggi.
Jika ingin maju jadi balon, yang bersangkutan harus me­lepas­kan jabatannya. Juga, hak suara Menteri se­harus­nya digugurkan dengan alasan yang disebut di atas. Intinya, saya berpendapat Permendiknas No. 24 tahun 2010 layak direvisi atau mung­kin Statuta Per­guruan Tinggi terkait.

ZULPRIANTO
(Pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar