Featured Video

Sabtu, 04 Februari 2012

12 RABIUL AWAL:LAHIR ATAU WAFATNYA NABI?


Walaupun tidak mempunyai pijakan historis yang pasti, selalu saja kebanyakan umat Islam memperingati bahkan ada yang merayakan apa yang mereka sebut sebagai Maulid Nabi.

Maulid Nabi yang rutin di­peringati setiap tanggal 12 Rabiul Awal diyakini sebagai hari lahirnya Nabi akhir zaman, Muhammad. Kelahiran Nabi merupakan rahmat agung untuk alam semesta dan sudah semes­tinya nikmat tersebut disyukuri dengan menampakkan kegembi­raan. Di zaman ini, peringatan Maulid Nabi tersebut di­semarak­­kan dengan berbagai macam acara mulai dari ceramah, pertun­juk­kan seni hingga beragam perlombaan.
Tanpa perlu mengulang ber­bagai penjelasan panjang lebar dari perbedaan para pakar ten­tang kapan bulan dan tanggal pasti lahirnya Nabi, tak ada salahnya bila dikutip penjabaran Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin dalam Tahdziib Tashiil Al-‘Aqiidah Al-Islaamiyyah ketika menyinggung tentang Maulid Nabi bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat dijadikan pegangan dalam penentuan dengan pasti tentang kapan bulan lahir Nabi, dan tidak pula tentang hari lahirnya, bahkan dalam hal ini ada perbedaan yang tajam.
Pada catatan kaki pemba­hasan ini, Abdulah bin Abdul Aziz Al-Jibrin menambahkan rincian perbedaan pendapat tersebut bahwa ada yang mengatakan Nabi lahir pada bulan Ramadan, ada pula yang berpendapat Nabi di­lahirkan di bulan Rajab, dan juga yang menyatakan Nabi pada bulan Rabiul Awal. Orang-orang yang menyatakan Nabi lahir pada bulan Rabiul Awal sendiri pun berselisih tentang bilangan hari ke­lahiran Nabi, sebagaian me­nga­­­takan pada hari tanggal 2, sedangkan yang lain me­nga­takan pada tanggal 8. Begitu pula ada yang menga­takan pada tanggal 10 dan ada yang mengatakan pada tanggal 12. Tapi ada juga yang ber­pen­dapat pada tanggal 17 serta pendapat lain pada tanggal 21. Padahal tidak ada satu da­lilpun yang dapat dijadikan pegangan dalam hal tersebut.
Tetapi belakangan ini ada beberapa pendapat yang me­mas­tikan bulan dan tang­gal lahir Nabi. Seperi yang di­rekam oleh Shafiyyurrahaman Al-Mubara­k­furi dalam Ar-Rahiiq Al-Mak­­tuum bahwa penghulu para rasul di­lahir­kan pada hari Senin tanggal 9 bulan Rabiul Awal tahun Gajah atau ber­tepatan dengan tanggal 20 atau 22 April 571 Masehi, sesuai dengan per­hitungan ilmuan besar Mu­ham­mad Sulaiman Al-Man­shur­furi dan ahli falak Mah­mud Basya. Hal ini juga diamini oleh Abdullah bin Ibrahim bin Muhammad As-Sulaim dalam Taqwim Al-Azmaan fiy Tahqiiq Maulid An-Nabiy dan Shalih Al-Ut­sai­min dalam Al-Qaul Al-Mufiid ‘Alaa Kitaab At-Tauhiid.
Meskipun demikian, yang jelas Nabi sendiri tidak pernah mem­peringati ataupun merayakan hari kelahirannya. Baik semasa hidupnya atau­pun sesudah wafat­nya dengan mewasiatkan kepada para sahabat untuk melakukan kegiatan mengenang, mem­pering­ati, atau merayakan hari kelahi­ranya. Oleh karena itulah, kegia­tan-kegiatan in memorian atau sejenisnya tentang Nabi tidak pernah dilakukan oleh para sahabat yang sangat besar cinta, pengorbanan, dan ketulusan mereka terhadap Nabi. Begitu pula yang dilanjutkan oleh generasi tabiin dan generasi tabiut tabiin sebagai repre­sentasi dari tiga masa ter­baik sesuai isyarat  Nabi.
Hingga, barulah pada abad ke-4 Hijriah, sekte Ubaidiyah (Syiah) yang pertama-tama merayakan Maulid Nabi, tepat­nya tahun 363 Hijriah, ketika mereka memerintah Mesir. Walaupun Suyuthi dalam Husn Al-Maqshad, yang diukuti oleh sebagian ulama kontemporer, ber­pendapat bahwa yang per­tama kali melakukan Maulid Nabi adalah Sultan Kaukabari Al-Ayyubi yang wafat tahun 630 Hijriah. Ini adalah ke­keliruan karena Maulid Nabi telah dila­kukan sebelum masa Sultan tersebut. (lihat Tahdziib Tashiil Al-‘Aqiidah Al-Is­laamiyyah hal. 199-200)
Yusuf Al-Qaradhawi da­lam Fiqh Al-Aulaawiyyaat saat menjelaskan tentang takaran prioritas yang benar dalam memberikan perhatian terhadap tema-tema yang diangkat di dalam Alquran menegaskan bahwa Maulid Nabi sama sekali tidak di­bicarakan oleh Alquran. Hal ini menunjukkan bahwa per­kara tersebut tidak begitu penting dalam kehidupan Islam, karena hal ini tidak berkaitan dengan mukjizat sebagaimana keterkaitan kelahiran Al-Masih terhadap ajaran agamanya. Maulid juga tidak berkaitan dengan ama­lan dan ibadah yang harus dilakukan oleh kaum mus­limin atau sesuatu yang dianjurkan.
Memang benar, kelahiran Nabi bukanlah mukjizat ataupun kejadian besar se­perti kelahiran ajaib Al-Masih yang tanpa seorang ayah. Adapun tentang runtuhnya sepuluh balkon istana Kisra, padamnya api yang biasa disembah oleh orang-orang Ma­jusi, dan runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah ketika Nabi lahir merupakan riwayat dari Thabrani dan Baihaqi dan selain keduanya tidak pula dapat dijadikan pegangan karena sanad-sanad periwayatannya tidak kuat. (Lihat Ar-Rahiiq Al-Makh­tuum hal. 65)
Begitu pula meng­khusus­kan ibadah-ibadah tertentu seperti salat, puasa, sedekah, zikir, dan sebagainya ketika Maulid Nabi merupakan sesuatu yang tidak ber­dasar. Atau mengisi Maulid Nabi dengan men­den­dang­kan se­lawat-selawat khusus yang berlebih-lebihan dalam me­muji Nabi, serta mem­bacakan kisah kehidupan Nabi dengan keya­kinan bahwa arwah Nabi hadir dalam acara sedemikin jelas-jelas kejahilan ter­hadap sunah Nabi. Hal-hal itulah yang melatar­be­la­kangi pem­bidahan sebagian ulama ten­tang hukum pe­ringatan Mau­lid Nabi. Hal ini penting dicacat bagi mereka yang mengu­tip pen­dapat ulama yang meman­dang Maulid Nabi sebagai bidah karena ibadah-ibadah khusus tersebut yang di­lakukan saat Maulid Nabi, bukan peringa­tan Mau­lid Nabi itu sendiri.
Selain itu, memperingati kelahiran Nabi menyerupai tradisi kaum Nasrani yang memperingati dan me­raya­kan Natal yang dipercayai sebagai hari kelahiran Al-Masih. Umat Nasrani men­jadikan Natal terse­but sebagai ibadah yang tentu saja kaum mus­limin dila­rang menyerupai dan meniru-niru tradisi agama lain yang mengan­dung unsur pe­ribadatan. Nabi besabda, “Sesiapa yang meniru suatu kaum (dalam hal-hal yang menjadi ciri khas kaum ter­sebut) maka dia termasuk dari kaum (yang ditirunya) itu.”
Akan tetapi, ketika Rabiul Awal diisi dengan berbagai kegiatan penuh keriangan dengan dalih bergembira atas nikmat Allah bahwa inilah bulan kela­hiran Nabi, maka sadar ataupun tidak orang-orang terse­but lupa bahwa di bulan ini pulalah Nabi me­ninggal dunia.
Jika sebelum­nya telah disebut­kan ada banyak pen­dapat tentang di bulan apa Nabi dilahirkan, tidak de­mikian dengan di bulan apa Nabi wafat berda­sarkan keterangan dari Sha­fiyyur­rahaman Al-Muba­rakfuri dan Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin. Tidak tanggung-tang­gung, Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin menegaskan tidak ada perbedaan pen­dapat tentang hal ini.
Wafatnya Nabi merupakan musibah terbesar bagi kaum muslimin. Seperti dalam hadis dari beberapa redaksi riwayat yang berbeda, namun dengan makna yang sama. Di antaranya riwayat dari Ibnu Abbas dan Sabith Al-Jumahi, mereka berka­ta, ‘Rasulullah bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian ditimpa musibah, hendaklah ia me­ngingat musibahnya itu de­ngan (kematian) ku, karena (kematianku) itu adalah mu­sibah terbesar.”’ (H.R Ath-Thabrani, Ibnu Sa’d, Ad-Darimi, Malik dan lainnya, sebagaimana tercantum dalam Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah, hadis nomor 1106)
Husain bin Audah Al-Awayisah dalam Mushiibah Mautin Nabiy Wa Atsaaruhaa fiy Hayaah Al-Ummah menaf­sirkan hadis tersebut dengan mengatakan bahwa dari hadis tersebut jelaslah bagi kita kematian Nabi merupakan musi­bah terbesar yang telah menimpa dan tetap akan menimpa kaum muslimin. Rasul sendiri meme­rintahkan kita untuk mengingat mu­sibah kematiannya sehingga dengan hal itu musibah-musibah yang menimpa kita akan terasa ringan.
Se­belum­nya, masih da­lam tulisan yang sama Husain bin Audah Al-Awayisah berpen­dapat bahwa wajib bagi kita untuk menadaburi dampak wafat­nya Nabi terhadap pri­badi dan umatnya.
Lalu bagaimana bisa Ra­biul Awal diperingati dengan semarak dan suka ria se­dangkan musibah terbesar terjadi di bulan itu? Faktanya, berbagai kegiatan yang di­selenggarakan dalam rangka memperingati Maulid Nabi tak lebih dari seremonial belaka. Beragam agenda ter­jad­wal memeriahkan bulan dan hari lahir penutup para Nabi dan Rasul itu telah kehilangan ruh dan substansi peringatan itu sendiri. Padahal peringatan itu semestinya dijadikan sebagai momentum untuk mengenang kembali sosok yang diperingati. Ya, mengenal kembali sosok Mu­hammad, teladan sempurna sepanjang zaman. Mengenang untuk kemudian mencontoh keagungan pribadinya yang dipuji kawan dan diakui lawan. Karena itu sangat tidak pantas bila tokoh se­agung Muhammad dimaknai sebatas seremonial yang kering makna dan agenda sekali setahun saja.
Di luar wacana mem­pe­ringati dan merayakan Maulid Nabi atau berduka atas wa­fat­nya, sudah seharusnya kaum muslimin yang mengaku sebagai pengikut Mu­ham­mad menggali sejarah kehi­du­pannya, ajaran-ajaran lu­hur­nya, dan me­dak­wah­kan ri­salahnya.
Sudahkah me­namatkan membaca kitab kumpulan hadis sahih yang dikumpulkan oleh Imam Buk­hari dan Mus­lim sebagai dua referensi terpercaya tentang peri ke­hidupan Nabi? Te­lahkah di­telusuri segala sesuatu tentang Muhammad dalam kitab kitab hadis mukta­bar lainnya seperti kitab sunan yang empat karya Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Nasa’i? Atau  paling tidak pernahkah me­lahap dengan tuntas buku-buku sirah nabawiah mulai dari yang tebal dan detil hingga yang tipis dan ringan?
Allah berfirman, “Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagi orang yang berharap kepada Allah, hari akhir, dan bagi orang yang banyak mengingat Allah.” (Q.S Al-Ahzab [33]: 21) Nabi bersabda, “Tidaklah beriman seseorang di antara kalian se­hing­ga aku lebih dicintainya daripada anaknya, ayahnya (orang tua), dan manusia seluruhnya.” (H.R Bukhari, Muslim, dan lainnya).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar