Featured Video

Sabtu, 04 Februari 2012

AMUK, NEGERI YANG TAK LAGI RAMAH TAMAH


Prihatin, itulah kata yang paling pas jadi pembuka tajuk rencana ini tatkala kita simak kejadian amuk massa di kantor Bupati Agam Kamis lalu. Bersamaan dengan itu, di Simpang Ampek Pasaman Barat peristiwa serupa nyaris terjadi, kalau saja tidak cepat-cepat ditangani oleh aparat keamanan.

Sebelum itu di Sawahlunto terjadi amuk serupa yang membuat hancur dan terbakarnya Markas Kepolisian RI di Polresta Sawahlunto. Di Maligi, kerusuhan dipicu juga oleh akibat lahan pertanian yang tak beres-beres juga.
Amuk, adalah frasa dalam bahasa Indonesia. Secara etimologis di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan dalam salah satu lema (entry) sebagai “kerusuhan yg melibatkan banyak orang (spt perang saudara)”
Tetapi agaknya itu adalah kata yang sangat erat dengan budaya nusantara. Atau boleh jadi sangat ‘indonesia’. Karena dalam kamus bahasa Inggris pun, kata amukdiinggriskan menjadi amok. Jadi dapat ditarik kesimpulan, kalau bukan karena melihat perilaku itu di sepanjang wilayah Nusantara, tentu para penyusun kamus bahasa Inggris tidak akan memasukkan kata amok ke dalam salah satu lema dalam kamus mereka.
Okelah, perkara amuk adalah berkaitan dengan budaya nusantara kita taruh sebagai sebuah catatan saja. Akan tetapi kenapa amuk mesti terjadi bagai tak berkesudahan di negeri ini. Sepanjang Aceh hingga Papua, peristiwa amuk massa sungguh membuat kita miris. Ada kantor gubernur yang dibakar, kampus yang diperakporandakan, markas polisi yang dibumihanguskan, gereja yang dirusak, rumah warga yang dihancurkan. Bahkan tak sedikit yang menimbulkan korban nyawa. Di Maluku hampir tiap sebentar terjadi amuk. Di Makassar, tak boleh dipicu oleh sebab apapun maka serta merta amuk akan terjadi.
Maraknya amuk massa yang disertai dengan kekerasan merupakan akibat dari pemerintah daerah dan Kepolisian yang tidak mampu untuk melihat akar permasalahan dari amuk massa tersebut.
Seperti disebut Koordinator Institut Perdamaian, Ihsan Malik, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (3/2), mengatakan, selama ini baik pemda maupun aparat Kepolisian lebih mengedepankan penyelesaian secara fisik, bukan penyelesaian dengan pendekatan sosial dan kultur yang memiliki akar sejarah.
Ibarat penyakit, baik pemda maupun kepolisian salah dalam mendiagnosa, sehingga berakibat salah pukla dalam penyelesaian masalah. Di sini akan menyebar luas karena terjangkit infeksi eskalasi, salah menganalisis aktor, tidak mampu mengkoordinator aktor, dan stakeholder tidak mempu berkoordinasi.
Maka solusi yang terbaik dari konflik adalah dengan pendekatan sosial atau mengintensifkan melalui dialog bersama. Dengan demikian pula maka fungsi-fungsi yang melekat pada kepolisian kita lebih banyak fungsi Binmas (pembinaan masyarakat) yang dilaksanakan oleh Biro Bina Mitra di setiap Polda. Kalau ini dilakukan maka, polisi tidak lagi seperti pemadam kebakaran yang terlalu reaktif dalam menangani kerumunan massa. Jika Polri seperti pemadam kebakaran maka masalah tidak akan pernah selesai.
Dalam kasus yang banyak terjadi di Sumatera Barat, selain salah paham antarkampung, maka masalah perebutan lahan antara masyarakat dan investor sering memicu konflik yang berakhir dengan amuk massa.
Seperti yang terjadi di Agam, amuk massa itu dipicu oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap Pemerintah Kabupaten Agam dalam menyikapi tuntutan masyarakat seputar lahan sawit yang diklaim milik PT Minang Agro. Warga Tanjung Manggopoh juga menuntut pengembalian hak mereka seluas 3.400 hektare lahan yang dicaplok sebuah perusahaan perkebunan, 900 hektare di antaranya milik suku Piliang dan 2.500 hektare milik warga suku Tanjung.
Kemarin sebenarnya sangat dituntut kecepatan bertindak dari Pemda dan aparat keamanan. Saat dialog sudah sudah disepakati bahwa Bupati bersama perwakilan pengunjukrasa akan menemui manajemen PT Muatiara Agam.
Tapi rupanya rundingan itu terlalu lama, sementara warga yang masih bertahan di kantor Bupati Lubuk Basung menjadi tidak sabar. Aparat keamanan juga tidak mengantisipasi dampak keterlambatan itu terlebih dulu. Akibatnya tak terelakkan, warga mengamuk. Ini adalah salah satu masalah lahan yang juga banyak dialami warga dan investor di Kabupaten lain.
Semestinya masalah-masalah itu tidak dipendam begitu saja oleh pemerintah setempat, melainkan harus terus dibereskan supaya tidak lagi menjadi picu amuk massa berikutnya. Agar negeri ini tetap layak disebut negeri yang ramah tamah, remah repah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, bumi sanang, jaguang maupiah, padi manjadi. ***
http://www.harianhaluan.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar