Featured Video

Sabtu, 04 Februari 2012

"Ini Bukan Sepak Bola, tapi Perang!"



AFP
Ratusan pendukung Al Masry turun ke lapangan dan menyerang pendukung Al Ahly pada pertandingan Liga Mesir, Rabu (1/2/2012) waktu setempat. Akibat kerusuhan ini, 74 orang tewas dan ribuan lainya luka-luka.


KAIRO,  "Ini bukan lagi sepak bola, tetapi perang!" Kalimat itulah yang terucap dari salah satu pemain bintang Al-Marsy, Abo Treika, menanggapi kerusuhan seusai pertandingan Liga Mesir antara klubnya melawan Al-Ahly, Rabu (1/2/2012) waktu setempat.


Dalam insiden tersebut, sedikitnya 74 orang tewas dan ribuan lainnya luka-luka, termasuk para pemain dan pelatih. Ini merupakan insiden terparah sejak kerusuhan antara pendukung sepak bola Hearts of Oak dan Asante Kotoko di Stadion Accra, Ghana, pada Mei 2001 lalu, yang mengakibatkan 126 orang meninggal dunia.

Kekecewaan bintang asal Mesir itu memang bisa dimaklumi. Sepak bola yang seharusnya menjadi alat pemersatu, justru seolah menjadi ajang pertempuran kekuatan tirani politik yang kejam dalam peristiwa itu.

Lihat saja bagaimana ribuan pendukung Al-Marsy dengan membabi buta memukuli setiap anggota tim dan pendukung Al-Ahly yang ada di Stadion Port Said seusai laga yang dimenangkan oleh timnya dengan skor 3-1 itu. Bahkan, mereka tidak segan-segan menghunus pisau ke setiap orang yang menggunakan identitas Al-Ahly.

Sejumlah pemberitaan media massa menyebutkan, kerusuhan ini dipicu adanya aksi provokasi dari simpatisan mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak. Apalagi, daerah Port Said memang dianggap sebagai salah satu basis pendukung Mubarak yang berkuasa lebih dari 30 tahun itu.

Ada pula laporan yang menyebutkan, sebelumnya suporter Al Ahly membentangkan spanduk yang menghina Al Masry. Namun, terlepas dari itu, ada indikasi kerusuhan itu sudah direncanakan. Sebab, Al Masry dalam keadaan menang dan tak ada pemicu signifikan untuk melakukan serangan membabi buta. Apalagi, pihak keamanan terkesan memberi ruang pendukung Al Masry turun ke lapangan dan melakukan serangan.
Para suporter Al Ahly memang kebanyakan dari kelas pekerja. Mereka menjadi pendukung utama revolusi Mesir yang menggulingkan Hosni Mubarak. Maka, bisa dimaklumi jika pendukung Al Masry yang kebanyakan juga pengagum Mubarak, merasa sakit hati kepada pendukung Al Ahly.

Pascainsiden itu, Ikhwanul Muslimin (IM) mengatakan, ada permainan dari sekelompok pendukung kekuatan lama. IM menilai, ada rencana tersembunyi yang dilakukan kelompok tersebut untuk mengacaukan situasi politik pascarevolusi.

"Orang-orang pendukung Mubarak masih berkuasa. Meskipun rezimnya telah jatuh, tetapi semua anak buahnya masih dalam posisi mereka," kata MI.

Bukan hal baru
Jika melihat sejumlah fakta, kekerasan memang bukan hal baru dalam dunia sepak bola Mesir. Lemparan botol, petasan, maupun bom molotov di sejumlah pertandingan sepak bola di negeri "Seribu Menara" itu sering terjadi.

Franklin Foer dalam bukunya How Soccer Explain The World menilai hal yang memengaruhi terbentuknya kondisi sosial komunitas penggemar sepak bola adalah sejarah. Hal itulah yang terjadi di Mesir. Rakyar Mesir menganggap sepak bola adalah pancaran dari harapan baru di tengah kemiskinan dan tekanan hidup yang didapatkan dari rezim yang berkuasa selama puluhan tahun.

Maka, wajar bila setiap pendukung sebuah klub sepak bola itu akan mati-matian membela atau mendukung tim kesayangannya. Pada 2003, pendukung klub Mesir, Ismaili, melemparkan apa pun yang ada di dekatnya ke tengah lapangan sebagai bentuk kekecewaan mereka terhadap gol yang dibuat oleh lawannya, klub asal Nigeria, Eyimba, dalam laga Liga Champions Afrika ketika itu.

Pada November 2011, Federasi Sepak Bola Mesir (EFA) sempat menjatuhkan hukuman kepada dua klub lokal, Al-Ahly dan Zamalek, untuk bermain di stadion tanpa penonton. Hukuman itu diberikan karena pendukung dua klub tersebut mengabaikan sejumlah larangan pemakaian petasan dan kembang api saat pertandingan.

Akan tetapi, larangan itu justru membuat para suporter garis keras kesal. Mereka menilai bahwa EFA telah mengekang kebebasan, seperti apa yang dilakukan Mubarak kepada Mesir selama masa pemerintahannya. Lantas, mereka pun secara terang-terangan mengecam dan memprotes tindakan EFA melalui spanduk-spanduk dan pesan yang disebarkan di sejumlah situs jejaring sosial.

Lemah pengawasan
Namun, di samping itu semua, salah satu hal yang penting juga adalah pengawasan dari pengelolaan sepak bola di Mesir sendiri. Jika kita tarik ke belakang, urusan lapangan hijau di negeri Firaun ini memang memiliki sejarah kelam dalam soal pengawasan keamanan. Otoritas sepak bola Mesir sering kali dinilai gagal menangani sejumlah insiden kekerasan sepak bola.

Lihat saja bagaimana aparat keamanan dalam stadion hanya berdiam diri ketika melihat ribuan pendukung klub lokal Zamalek berlari ke dalam lapangan sebelum akhir pertandingan Piala Champions Afrika antara Zamalek melawan klub asal Tunisia, Africain, pada April 2011 lalu.

Begitu pula dengan insiden di Port Said. Dalam video insiden itu, sangat jelas bagaimana sejumlah aparat keamanan yang berjaga dalam stadion membiarkan pendukung Al-Marsy lari ke lapangan, kemudian tidak melakukan pencegahan khusus dalam mengantisipasi bentrokan tersebut.

"Tidak ada pergerakan, tidak ada keamanan, dan tidak ada ambulans. Tragedi ini tidak akan pernah dilupakan sebagai sejarah terkelam dunia sepak bola," sesal Treika seusai pertandingan tersebut.

Dengan terjadinya kerusuhan ini, otomatis EFA kini memiliki pekerjaan berat. Sejumlah pihak menuntut agar otoritas sepak bola Mesir tersebut bisa lebih baik mengatur sepak bola di negaranya. Sanksi FIFA pun menanti jika mereka tidak segera berbenah akan hal itu.
Sepak bola adalah kebebasan, keindahan, sportivitas, dan persaudaraan. Sangat picik dan berbahaya jika permainan indah itu dijadikan ajang perang politik yang selalu memakan korban.
http://bola.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar