Featured Video

Minggu, 12 Agustus 2012

DUA JUTA PERANTAU PULANG BASAMO

POTENSI BESAR, PERHATIAN MINIM

Dampak pulang basamo warga perantau ke ranah Minang cukup besar. Lebih dua juta perantau pulang kampung Idul Fitri ini. Po­tensi besar ini harus dikelola maksimal jika tak ingin jadi mubazir. Transformasi dan spirit kerja keras lebih utama daripada “mem­beri” ikan bagi anak nagari.

Lebaran selalu menjadi momen penting bagi para perantau Minang. Hanya pada saat Lebaran itulah mereka dapat pulang ke kampung halamannya, berkumpul de­ngan seluruh sanak saudara. Melupakan sejenak hiruk pikuk hidup di kota.
Mudik tak hanya dilakoni mereka yang berhasil “menji­nakkan” ibukota, lalu pulang dengan mobil keren dan membawa uang banyak. Se­bab mereka yang hidup pas-pasan, juga punya keinginan yang sama. Membanting tulang mengumpulkan uang selama setahun. Kemudian pulang kampung menikmati liburan bersama keluarga saat Lebaran.
Masyarakat di kampung juga demikian, tak terkira senangnya hati ketika dun­sanak pulang kampung. Ru­mah dibersihkan, bila perlu dicat supaya indah. Kue Lebaran aneka rasa juga menanti. Cerita dan tawa pun mengalir seiring angin bertiup.
Pada Lebaran tahun ini, lebih dari 2 juta perantau diperkirakan akan pulang kampung ke Ranah Minang. Estimasi itu muncul dari  jumlah perantau yang pulang sejak tiga tahun terakhir di masing-masing nagari. Perantau terbanyak pulang kampung setiap tahunnya berasal dari Kabupaten Tanah Datar, seperti Rao-rao dan Lintau, Padang Pariaman, dan Agam.
“Kita perkirakan perantau yang mudik tahun ini lebih dari 2 juta orang. Biasanya perantau terbanyak pulang kampung itu berasal dari Tanah Datar, Padang Pariaman, Agam, Limapuluh Kota. Perantau Padang Pariaman merata pulang pada setiap nagari,” Kepala Biro Pembangunan dan Kerjasama Rantau Setdaprov Sumbar, Suher­manto Raza didampingi Kabid Kerjasama Rantau Priadi Syukur.
Biasanya, masing-masing pe­rantau akan membawa uang  jutaan hingga puluhan juta rupiah. Uang itu akan menggerakkan berbagai sektor, khususnya sektor ekonomi. Perputaran uang selama Lebaran diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah hingga mencapai triliun rupiah.
Perputaran uang itu digunakan untuk zakat, belanja di pusat-pusat perbelanjaan, bantuan bagi korban bencana alam dan kegiatan lainnya.
“Perputaran uang itu dapat dihitung dari jumlah perantau yang kita perkirakan pulang. Misalnya saja, masing-masing perantau yang pulang, membawa uang Rp100 ribu per orang. Makanya jumlahnya mencapai miliaran rupiah,” papar Suhermanto.
Salah satu faktor meningkatnya jumlah perantau yang mudik tiap tahun, karena adanya himbauan dari pemerintah provinsi kepada wali nagari untuk membuat alek nagari. Tujuannya tidak lain untuk merangkul setiap perantau yang pulang, sebab dengan alek nagari silaturahim antarperantau dengan orang kampung akan terjalin dengan mesra.
Masing-masing wali nagari pun diingatkan untuk menjalin silatur­rahmi yang baik dengan perantau. Sehingga ketika ada permasalahan di kampung, maka wali nagari bisa meminta pendapat perantau untuk memecahkan persoalan yang me­reka hadapi.
Pendataan Perantau
Perantau memiliki peran besar dalam membangun daerah. Sum­bangan yang mengalir dari rantau tak terhingga nilainya. Banyak bangunan dan sarana publik lainnya yang bangun atas partisipasi perantau. Sebab kemampuan peme­rintah daerah dalam membangun Ranah Minang termasuk pening­katan kesejahteraan masyarakaat hanya sepertiganya, sedangkan dua pertiga lagi diharapkan dukungan perantau.
Hanya saja, kadang perantau tak memiliki data akurat tentang kebutuhan masyarakat. Begitu pula data perantau Minang yang po­tensial tidak pula dimiliki nagari/kelurahan. Maka ke depan, data potensi daerah dan data perantau itu harus ada. Masyarakat dan perantau juga dapat memanfaatkan media informasi Website Kerjasama Rantau.
Seperti disampaikan Gubernur Sumbar Irwan Prayitno pada suatu kesempatan, bahwa peran perantau sangat diharapkan dalam pem­bangunan nagari/kelurahan. Sebab APBD kabupaten/kota  lebih banyak tersedot untuk membayar gaji pegawai.
“Hanya 15 persen sampai 20 persen saja APBD itu yang diguna­kan untuk pembangunan, sehingga banyak usulan kebutuhan masya­rakat yang dirumuskan dalam Musrenbang tidak dapat dipenuhi,” kata Irwan.
Menyadari kondisi tersebut, maka potensi perantau Minang yang cukup besar perlu diberdayakan, digarap dan dihimpun sesuai yang dibutuhkan masyarakat. Mereka dilibatkan dalam membangun nagari/kelurahan dengan semangat gotong royong.
Potensi besar perantau Minang itu tak perlu diragukan lagi. Saat Sumbar diguncang gempa 2009, para perantau bahu membahu menya­lurkan bantuan bagi  korban gempa, baik moril maupun materil. Begitu pula saat Lebaran, hari baik bulan baik, bantuan perantau melimpah untuk orang di kampung.
Bantuan yang diberikan juga tidak terfokus untuk pembangunan rumah ibadah dan kebutuhan hidup anak yatim dan fakir miskin saja. Tetapi kini bantuan diberikan lebih terarah, berdasarkan kajian dan analisa kebutuhan masyarakat di nagari, seperti mobil ambulance, pembangunan jalan dan irigasi, rumah layak huni untuk masyarakat miskin, perpustakaan, gedung TK, beasiswa, layanan kesehatan gratis dan sebagainya.
“Satu hal yang penting, bantuan yang diberikan itu semakin jelas dan terarah, berdasarkan kajian dan analisa kebutuhan masyarakat di nagari,” katanya.
Seperti perantau Andi Sahrandi  mendirikan pusat pelatihan ke­terampilan Bidasari di Nagari Kapau, Kecamatan Tilatang Ka­mang, Kabupaten Agam. Anak nagari dapat belajar setiap minggu di tempat ini, seperti keterampilan Bahasa Inggris, teknologi informasi/komputer, seni budaya, sepakbola dan sekali sebulan menggelar wirid pengajian.
Sedangkan perantau Firdaus HB memberikan perhatian dan bantuan yang besar untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia di daerah ini dan berupaya aktif menggerakkan organisasi masya­rakat Minang di Provinsi Jawa Timur.
Untuk itu para walinagari/lurah, harus mampu menyajikan peren­canaan pembangunan yang jelas dan transparan di wilayahnya didukung data yang akurat tentang kebutuhan nagari yang memerlukan dukungan perantau.
Data potensi dasar yang harus dimiliki itu di antaranya adalah luas sawah yang dapat digarap dan berapa yang tidak dan apa masa­lahnya, tentang luas lahan perke­bunan/pertanian produktif dan berapa lahan tidur yang tidak digarap, tentang kolam ikan pro­duktif dan berapa yang tidak dimanfaatkan.
Juga dapat diterangkan berapa petani yang punya ternak dan berapa banyak yang tidak punya ternak sebagai usaha sampingan pertanian. Lalu tentang berapa banyak angkatan kerja yang me­ngang­gur serta infrastruktur apa yang masih diperlukan untuk menunjang tumbuhnya pere­ko­nomian masyarakat, karena bila harus menunggu program peme­rintah selalu dihadapkan dengan skala prioritas dan yang diinginkan nagari tidak dapat direalisiasikan.
“Data pokok itu perlu ada di nagari. Dengan data itu kita ber­bicara pada perantau. Begitu pula data perantau Minang yang po­tensial juga berasal dari nagari. Dengan data ini kita bersama-sama akan melakukan pendekatan siner­gitas, maka yang akan dikerjakan provinsi, kabupaten/kota dan mana bagian kerja camat dan walinagari/kelurahan,” katanya.
Sebagai bukti nyata peran para perantau terhadap kampung ha­laman, dapat terlihat di sejumlah daerah. Seperti di Kapua Lima Puluh Kota, 3 jembatan dibangun perantau asal daerah tersebut. Saat ini juga dikembangkan internet berbasis nagari. Tujuannya tidak lain untuk memudahkan orang rantau mengetahui perkembangan kampung halaman mereka.
Selain itu di Mungka, Lima Puluh Kota, sebanyak 52 rumah layak huni juga dibangun oleh perantaunya. Masing-masing rumah dibangun dengan dana sebesar Rp15 juta hingga Rp20 juta. Pem­bangu­nan rumah itu dilaksanakan 2011 lalu.
Jumlah Perantau Tersebar
Dikatakan Suhermanto, peran­tau Minang tersebar di seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Di setiap provinsi itu terbentuk paguyuban. Tidak hanya tingkat provinsi, tapi juga terbentuk paguyuban di tingkat kabupaten/kota hinggga tingkat kecamatan. Paguyuban terbesar berada di Jawa Timur dan Jawa Barat.
Paguyuban yang lebih awal berdiri ada di Lampung. Paguyuban itu berdiri sejak 1968. Jumlah perantau Minang di sana sekitar 900 ribu jiwa. Umumnya mereka adalah pengusaha yang berasal dari Pesisir Selatan, 32 orang di antara perantau itu adalah anggota DPRD setempat.
“Perkiraan kami pada satu provinsi saja sekitar 1/10 dari jumlah penduduknya  adalah orang Minang. Artinya ada 500 ribu perantau Minang di setiap provinsi. Ini belum termasuk angka di luar negeri,” terang Suhermanto.
Penghitungan jumlah perantau itu dilakukan atas satu keluarga, ayah, ibu dan anak-anaknya. Tidak hanya itu keponakan, sumando, menantu, ipar, bako dan lainnya termasuk dalam penghitungan.
Sambut dengan Spanduk
Untuk kepulangan mereka pada Lebaran kali ini, Pemprov Sumbar memasang sejumlah spanduk dan baliho sebagai ungkapan rasa bangga dan gembira saat mereka pulang basamo. Tak hanya itu, bupati/walikota se-Sumbar juga diminta memasang spanduk dan baliho serupa. Semua spanduk dan baliho itu harus sudah terpasang pada H-7 jelang Lebaran atau Sabtu (11/8).
Usai Lebaran, perantau Minang ini pun sudah mengagendakan pertemuan silaturahim. Salah satunya yang akan digelar perantau Minang di Jawa Barat pada Minggu (16/9). Gubernur Sumbar Irwan Prayitno dan Gubernur Jawa Barat direncanakan akan hadir.
Bahkan Gubernur Sumbar di­minta untuk menyampaikan eks­posnya apa saja yang dibutuhkan masyarakat Sumbar. Mereka ingin tahu apa saja bantuan yang dibu­tuhkan masyarakat Sumbar, se­hingga bantuan yang mereka berikan dapat dimanfaatnya oleh masyarakat.
“Dari informasi yang kita peroleh dari perantau Minang di Jawa Barat, mereka akan menggelar silaturahim usai Lebaran dengan mengundang Gubernur Sumbar Irwan Prayitno dan dihadiri Gu­bernur Jawa Barat. Mereka minta paparan Gubernur Sumbar tentang kebutuhan masya­rakat daerah ini,” terang Priadi Syukur menambahkan.




sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar