Kabut pagi masih terasa. Sesekali nyanyian burung saling menyapa di balik pepohonan. Tanah kuning khas perbukitan terlihat masih basah dan becek, pertanda hujan baru saja menguyur. Beberapa batang bambu yang sudah terikat dengan kawat, membentang di atas sungai Batang Sungkai, yang membelah Kelurahan Kapalo Koto, dengan Kelurahan Lambung Bukik, Kecamatan Pauh, Kota Padang, Selasa (23/10).
Bambu itu sengaja diikat dengan kawat, agar bisa menjadi jembatan yang menghubungkan kedua kelurahan. Tiang-tiangnya juga terbuat dari bambu, dan tertancap di tepian sungai. Tak ada besi, batu, apalagi semen sebagai pondasinya, yang terlihat hanyalah jembatan sederhana tanpa pengaman.
Di ujung jembatan, sayup-sayup suara langkah kaki mulai terdengar. Sekelompok anak berseragam sekolah, berjalan dengan cepat mendekati jembatan yang tingginya sekitar 6 meter itu.
Perlahan kaki kaki kecil bersepatu hitam itu, mulai melangkah di atas bambu yang masih licin dan basah. Matanya mulai melihat ke arah bawah, memastikan bambu yang dipijaknya tidak licin. Tangannya memegang erat bambu yang terikat setinggi kepalanya itu.
“Elok-elok za! Pacik kuek bambu tu,” ucap Wandi murid kelas 5 SD 19 Lambung Bukik itu, kepada adiknya Riza, yang masih kelas 1 SD.
Di belakangnya, Putri, murid kelas 6, mengikuti teman-temannya yang sudah menyebrang terlebih dahulu. Dengan pasti, dia pun melangkah penuh cemas, raut wajahnya mulai tegang saat berada tepat di tengah jembatan.
“Ah akhirnyo sampai jo ka sabaliak, iko dek hujan tadi malam mah, bambu ko jadi basah dan licin,” ujarnya sambil tersenyum, seolah tak mempedulikan bahaya yang telah dilaluinya.
Jamaan (61), salah seorang warga yang ikut membantu pembuatan jembatan bambu itu mengatakan, banjir bandang yang melanda pada 12 September yang lalu, mengakibatkan jembatan satu-satunya yang menghubungkan Kapalo Koto dengan Lambung Bukik putus dan hanyut.
“Kami terpaksa membuat jembatan bambu, karena biaya untuk pembangunan jembatan baru itu tidak ada, kebanyakan dari kami berprofesi hanya sebagai petani, Kami bersama-sama warga memanfatkan bambu yang tumbuh di sekitar Sungkai ini,” tuturnya sambil memandang jembatan bambu yang belum selesai itu.
Dia menambahkan, sebelum jembatan bambu dibuat, warga Kapalo Koto yang berjumlah 10 Kepala Keluarga (KK) itu, terpaksa melintasi sungai. Keadaaan tersebut sudah berlangsung sejak jembatan putus. Sedangkan jembatan bambu belum sepenuhnya selesai karena terkendala dana.
“Kasihan kita dengan anak-anak yang kedinginan saat pulang sekolah dan kehujanan, harus menunggu aliran sungai yang deras kembali surut agar bisa melintas. Mengenai dana, kami sudah meminta bantuan kepada pak Walikota sejak 2 mingggu yang lalu, dengan mengirim surat melalui Pak RT,” ungkapnya.
Hal yang senada juga di sampaikan oleh Nasrul (56). Dia menjelaskan, untuk membangun jembatan bambu, warga dengan suka rela menyumbangkan tenaga dan sedikit uang, agar aktivitas warga yang dulunya terhambat kini bisa kembali normal.
Kota Padang merupakan ibukota Provinsi Sumatera Barat yang saat ini menjadi pusat pendidikan karena lengkapnya fasilitas sarana dan prasarana di banding kota dan kabupaten lainnya. Selain itu sejumlah universitas serta program-program mulai banyak dikembangkan. Namun kian maju dan bertumbuhnya fasilitas dan hal lainnya itu di pusat kota, seakan melupakan semangat penerus bangsa yang ada di sejumlah wilayah di Kota Padang, termasuk di Sungkai.
Masih teringat sejumlah anak yang harus menantang maut di jembatan kawat baja Batu Busuk. Saat ini mereka masih terus berjuang untuk mencicipi pendidikan dengan membawa segudang cita-cita. Meskipun tak ada pemimpin yang memperhatikannya.
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar