KOMPAS/HENDRA A SETYAWANIlustrasi: Puluhan aktivis Cinta Indonesia Cinta Anti Korupsi (Cicak) menggelar aksi rantai manusia di depan kontainer yang berisi barang sitaan hasil penggeledahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung Korp Lalu Lintas Polri, di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakara, Minggu (5/8/2012). Cicak menuntut pihak kepolisian mendukung upaya pembersihan institusi mereka yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi yang mejerat petinggi Polri, DS dan DP.
Koalisi Penegak Citra Parlemen menuding DPR berusaha melumpuhkan kekuatan Komisi Pemberantasan Korupsi. Koalisi ini terdiri dari Transparency International Indonesia (TII), Indonesia Budget Center (IBC), Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dan Fatayat NU.
Peneliti hukum TII, Reza Syawayi, menilai, upaya melumpuhkan lembaga antikorupsi itu terlihat dalam dua hal kontroversial yang merebak beberapa bulan terakhir, yaitu terkait pengadaan gedung KPK dan wacana merevisi UU KPK. Pelumpuhanterhadap KPK dinilai akan menghambat kinerjanya dalam pemberantasan korupsi.
"Upaya melemahkan KPK ini begitu jelas terlihat dalam dua hal, yaitu adanya upaya politisasi anggaran untuk menahan pembangunan gedung KPK dan penggunaan fungsi legislasi merevisi UU KPK yang mengarah pada pelumpuhan KPK," kata Reza, dalam konferensi pers di Kantor TII, Jakarta, Minggu (30/9/2012).
Ia mengungkapkan, anggaran pembangunan gedung KPK sebenarnya telah disetujui DPR dan pemerintah melalui APBN 2012 dengan nilai Rp 72,8 miliar atau sekitar 4,7 persen dari seluruh usulan gedung baru untuk lembaga yudikatif, seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian RI. Akan tetapi, pada praktiknya, DPR berusaha menghalangi pencairan anggaran untuk membangun gedung tersebut. Salah satu yang dilakukan adalah memberikan tanda bintang sehingga belum dapat dicairkan. Terhadap pembangunan gedung lembaga lain, hal ini tak pernah terjadi.
"Politik anggaran ini dapat berakibat positif dan negatif. Namun, dampak positif justru ada di Mahkamah Agung, kejaksaan. dan kepolisian. Sementara itu, DPR menerapkan diskriminasi kepada KPK," katanya.
Sinyalemen "penggembosan" KPK kembali mencuat setelah Komisi III DPR kembali menyinggung rencana revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana bahkan menyebutkan, upaya pelemahan KPK terjadi sejak tahun 2009. Hal itu bisa ditelusuri dari 17 kali upaya uji materi terhadap UU KPK ke Mahkamah Konstitusi yang bertujuan untuk melemahkan KPK.
"Mahkamah Konstitusi tetap konsisten dengan menolak seluruh permohonan itu. Mahkamah tetap bersikukuh kewenangan strategis KPK tidak melanggar konstitusi dasar," kata Denny, pada diskusi bulanan Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Kamis (27/9/2012).
Denny menjelaskan, KPK selayaknya dimasukkan dalam UUD 1945 agar uji materi yang bertujuan melemahkan KPK tidak terjadi lagi. Sebab, di negara yang sukses melakukan pemberantasan korupsi, institusi antikorupsi dimasukkan dalam konstitusi dasar.
Kontroversi seputar revisi UU KPK dalam diikuti dalam topik "Revisi UU KPK"
sumbe
r
Tidak ada komentar:
Posting Komentar