Suasana Sidang Denny AK (tyo/inet)
Menurut Kepala Humas dan Pusat Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika Gatot S. Dewa Broto, dengan adanya putusan sidang yang memvonis Denny AK dengan hukuman penjara 1 tahun 4 bulan, artinya proses hukum dan pembuktian sudah terjadi.
Paling tidak ini menjadi efek jera bagi siapapun yang mencoba-coba 'menggoreng' isu liar di industri telekomunikasi untuk kemudian coba memanfaatkannya demi kepentinngan pribadi dan kelompok tertentu.
"Industri telekomunikasi itu dinamis dan raksasa, dan orang bawaannya melihat industri ini wah-nya dulu. Dan potensi orang untuk menggoyang itu banyak sekali," kata Gatot kepada detikINET, Selasa (30/10/2012).
Pun demikian, Kominfo sendiri awalnya melihat Denny dan LSM yang dibesutnya, yang sering mengkritisi industri telekomunikasi sebagai sesuatu yang harus diapresiasi. Hanya saja belakangan, cara yang mereka lakukan jadi kebablasan lantaran bertentangan dengan hukum.
"Kita berharap kepada industri meski Denny sudah divonis jangan berarti industri telekomunikasi tidak ada yang mengawasi dan mereka bisa seenaknya sendiri. Dianggapnya cuma ada BRTI dan Kominfo. Sebab rakyat sudah cerdas kalau ada masalah mereka bisa mengadukan, apalagi terkait pelayanan publik," lanjut Gatot.
"Kasus ini bisa jadi pembelajaran buat operator, operator kan kadang ditengarai tidak tegas buat yang mengkritisi mereka. Tapi kalau mereka gak salah, kenapa takut? Dan jika ada yang kurang pas harusnya sadar diri dan langsung membereskannya," pungkasnya.
Setali tiga uang dengan Gatot, pengamat industri telekomunikasi Heru Sutadi menambahkan, industri telekomunikasi harus dijaga bersama. Jikapun ada kekurangan dalam regulasi atau ada yang tidak pas/sesuai aturan regulasi, sampaikan ke regulator atau pemerintah sebagai pembina sektor.
"Jangan apa-apa lapor polisi, lapor jaksa. Kalau benar berjuang untuk masyarakat masih bisa diterima tetapi kalau untuk pribadi/golongan kan amat disayangkan," lanjut mantan anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) itu.
Heru menilai operator juga jangan 'alergi' kritik. Sebab kritik yang dilakukan pihak luar harusnya menjadi bahan evaluasi diri untuk dapat memberikan layanan yang lebih baik baik lagi sekaligus jadi penyemangat.
"Tapi kalau dikritisi salah/melanggar regulasi, ya kembalikan ke BRTI, Kominfo sebagai regulator dan pembina industri. Mereka yang layak menentukan apakah yang dilakuakan sesuai atau tidak dengan regulasi," ujarnya.
"Jadi untuk menentukan salah/melanggar regulasi atau tidak, kembalikan ke regulator. Di UU Telekomunikasi nomor 36 tahun 1999 kan jelas sanksi-sanksi atas pelanggaran yang terjadi," Heru menandaskan.
Pemerasan Rp 30 Miliar
Direskrimum Polda Metro sebelumnya menangkap basah Denny AK saat melakukan transaksi pemerasan dengan Indosat pada 20 April 2012, pukul 16.30 WIB di Plaza Indonesia, Jakarta Pusat.
"Jadi memang, yang bersangkutan (Denny AK) sudah menerima uang dalam bentuk dolar sebesar USD 20 ribu dalam amplop. Setelah dia menerima uang itu, langsung kita tangkap," urai Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Rikwanto.
Modus pemerasan yang dilakukan Denny kepada Indosat merupakan aksi lanjutannya setelah merancang skenario gugatan kasus terhadap operator itu, khususnya tentang penggunaan frekuensi 3G Indosat dan IM2 yang dilaporkan ke Kejaksaan Agung, Januari 2012 lalu.
Setelah melaporkan Indosat dan Dirut IM2 sebagai tersangka penyalahgunaan frekuensi 3G yang katanya merugikan negara Rp 3,8 triliun, Denny pun menyurati Dirut Indosat pada Februari. Dalam suratnya, Denny pun mengatakan ada sejumlah masalah di Indosat.
"Kemudian dia meminta agar Dirut Indosat bertemu dengannya dalam kurun waktu 3x24 jam. Bila tidak, tersangka (Denny AK) mengancam akan mempublikasikannya," ujar Kombes Rikwanto.
Awalnya, pihak Indosat tidak menggubris ancaman Denny tersebut. Namun belakangan, Denny terus mengirimkan SMS dan telepon agar Indosat segera menanggapinya.
"Memang motivasinya itu uang. Sehingga pada Jumat siang itu, Indosat diwakili lawyernya menemui tersangka di sebuah restoran di Plaza Indonesia," papar Kombes.
Awalnya, Denny meminta uang 'tutup mulut' senilai miliaran rupiah kepada Dirut Indosat itu. "Tetapi pihak Indosat menyetujuinya untuk memberinya secara bertahap, sebesar USD 20 ribu dulu," ujar Rikwanto lebih lanjut.
Setelah bertemu dan berbincang-bincang, Denny kemudian menerima amplop berisi USD 20 ribu. Beberapa saat setelah itu, polisi pun akhirnya menangkap Denny setelah berkoordinasi dengan Indosat.
Di sisi lain, dalam pembelaannya, Denny bersikukuh bahwa dirinya tidak melakukan pemerasan. Menurutnya, hal ini adalah bentuk kriminalisasi yang dilakukan oleh Indosat. "Indosat sakit hati bagaimana caranya masukin saya ke penjara. Jadi tidak ada pemerasan. Ini ada kriminalisasi yang dilakukan Indosat," ucap Denny.
Denny mengaku awalnya dia tidak tahu jika tas yang diberikan kepadanya berisi uang. Dia merasa ini adalah jebakan yang dilakukan Indosat terhadap dirinya. "Awalnya saya tidak pernah tahu isi amplop itu uang. Soal pemerasan Rp 30 miliar itu tidak benar," elaknya, dalam persidangan.
Vonis
Seperti diketahui, Denny AK kemudian dituntut hukuman penjara 2 tahun oleh jaksa penuntut umum. Hanya saja dalam putusan sidang, pria bertubuh tambun itu divonis 1 tahun 4 bulan alias lebih kecil dari tuntutan jaksa.
Denny pun tak lantas menerima putusan tersebut. Ia langsung mengajukan banding ke majelis hakim.
Dalam sidang yang dipimpin oleh hakim Heru Sutanto tersebut, Denny AK dianggap melanggar pasal 368, 369 KUHP tentang Pemerasan serta Pasal 335 KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan.
"Mengadili terdakwa Denny AK bersalah dan melakukan tindak pemerasan dan memerintahkan dengan hukuman penjara 1 tahun 4 bulan," ujar hakim dalam putusannya.
"Dari keterangan saksi bahwa terdakwa mengancam dengan kata akan membumihanguskan PT Indosat dan majelis hakim berpendapat kata membumihanguskan merupakan kata ancaman dan itu terbukti," kata hakim.
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar