Featured Video

Kamis, 22 September 2011

Menagih yang Hilang


Belakangan, Sumbar dihebohkan tentang penarikan kembali rapel yang terlanjur diberikan pada guru di lingkungan Kementerian Agama.
Para guru kini dihantui tagihan terhadap uang yang terlanjur habis mereka pakai. Guru tentunya tak menyangka kalau rapel yang diterima akan dikembalikan. 
Pada banyak kasus rapel di lingkungan pegawai lain, selama ini tak pernah diminta lagi. Kenapa pegawai di Kemenag saja yang diminta.
Ini tentunya sesuatu yang aneh. Uang yang habis, mau dengan jalan apa bisa dikembalikan. Kalau berutang pula, tentu tak mungkin dilakukan para guru.
Terkadang para guru gajinya juga sudah habis untuk membayar cicilan bank. Mereka harus menggadaikan SK untuk dapat memiliki rumah, kendaraan dan lain sebagainya.
Sebetulnya, hidup para guru sebagian besar susah. Kemenag begitu tega meminta uang terlanjur diberikan pemerintah. Lagipula, perintah pembayaran rapel itu lewat lisan.
Aneh, lembaga pemerintahan berpegang pada perintah yang jelas ujung pangkalnya. Perintah lisan tim Inspektorat Jenderal (Irjen) Kemenag kepada Kepala Kanwil, Kepala Kantor Kamenag kota/kabupaten dan kepala madrasah di lingkungan kementerian itu, agar guru-guru calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan PNS yang diangkat sejak Januari 2007, diperintahkan mengembalikan uang rapel yang mereka terima.
Bahkan, dalam pemeriksaan, satu persatu guru itu dimintai keterangan. Kepala madrasah dan kepala kantor Kamenag kabupaten/kota asik ketakutan saja.
Malah ada kepala madrasah yang tega bersekongkol dengan kepala kantor Kamenag menekan guru dan melakukan ancaman.
Negara ini memang aneh. Pemerintah ingin serius membangun pendidikan, namun kebijakan yang ganjil ditempuh pula. Nanti, mungkin guru atau PNS tak mau menggambil rapel, karena khawatir pula harus mengembalikan.
Sesuatu yang tak masuk akal, ketika orang disuruh mengembalikan sesuatu yang menjadi haknya.
Kita berharap para politisi, pejabat agar mau peduli dengan penderitaan yang dialami para guru dan PNS Kemenag. Mereka tak tahu lagi harus mengadu ke mana.
Politisi, jangan hanya menjadikan hal itu sebagai upaya pencitraan. Jangan mengaku cuma peduli dan prihatin. Bagaimana kewajiban membayar itu bisa tak terlaksana. Hal itulah yang harus diperjuangkan. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar