Featured Video

Kamis, 22 September 2011

MENYELAMATKAN PERMAINAN TRADISIONAL DENGAN PENDIDIKAN KARAKTER


Indonesia merupakan negeri yang kaya akan budaya. Beribu-ribu kebudayaan terdapat di negeri ini. Salah satu kekayaan negeri ini adalah permainan tradisional atau disebut juga dengan permainan rakyat.
Permainan tradisional me­ru­pakan permainan yang dila­kukan oleh mayoritas anak-anak dan remaja secara turun temurun. Permainan tradisional menjadi bagian dari kebu­dayaan bangsa yang mencari ciri khas tersendiri bagi negara dan daerah.

Permainan tradisional cen­derung hampir sama antara satu daerah dengan daerah lain dan yang membedakannya hanyalah nama dan peraturan-peraturan permainan yang disesuaikan dengan kondisi di daerah masing-masing.
Seperti di daerah Jawa ada nama per­mainan kasti jawa, sedangkan di Minang disebut dengan permainan sipak tekong, di Jawa dikenal dengan perma­inan cak bur atau gobak sodor, namun di Minang dikenal dengan nama permainan galah, dan permainan benteng di daerah Jawa disebut dengan permainan sembalakon di Minang.
Permainan tradisional tidak semuanya dapat dilakukan pada setiap daerah. Permainan tradisional pada intinya adalah permainan yang mengolah dan menyesuaikan diri dengan sumber daya yang tersedia didaerah.
Contohnya adalah daerah yang tidak ada terdapat tanam­an bambu, maka permainan tradisional yang dapat dikem­bangkan oleh daerah tersebut adalah galasin atau gobak sodor, kelereng, petak umpet, gasing dan permainan-perma­inan tradisional lainnya yang tidak menggunakan tanaman bambu dalam pembuatannya. Sedangkan bagi daerah-daerah yang banyak mempunyai ta­nam­an bambu, akan dapat mengembangkan permainan tradisional layang-layang, meriam tomong, egrang, dan lantong-lantong.
Secara umum, ciri khas permainan tradisional, yaitu 1) dimainkan lebih dari satu orang atau secara berkelompok se­hing­ga membuat anak-anak mampu berinteraksi dan berko­munikasi secara baik dengan orang lain serta dapat hidup berkomunal, 2) permainan tradisional dapat melahirkan kegembiraan bagi orang yang memainkannya, 3) permainan tradisional dapat dicari, dibuat, dan dimainkan sendiri sehingga akan menciptakan inovasi terbaru dalam permainan tradisional, 4) permainan tradisional merupakan perma­inan yang disesuaikan dengan kebudayaan masyarakat sekitar sehingga ketika dimainkan akan membuat anak-anak mengenal budaya di daerah nya masing-masing, dan 5) permainan tradisional dapat memanfatkan segala sumber daya yang ada di daerah sehingga semua sumber daya yang ada di daerah akan dapat terserap.
Pengaruh globalisasi yang menimpa setiap sendi kehidup­an telah menenggelamkan permainan tradisional. Lambat laun permainan tradisional mulai dilupakan oleh anak-anak. Tidak banyak lagi kita melihat anak-anak yang memainkan permainan tradisional. Semua­nya sudah dirubah dengan permainan modern seperti permainan mobil remote, heli­-kopter remote, tamiya, playsta­tion, dan game online.
Kelima ciri permainan seperti yang diuraikan di atas dapat membentuk karakter anak yang akan memberikan kete­ram­pilan pada diri anak sehingga anak-anak dapat menciptakan permainan tradisional ketika ia ingin memiliki permainan tersebut.
Berbicara tentang pen­didi­kan karakter jika kita lihat pada konteks kekinian, pendi­dikan kerakter kembali men­jadi penekanan dalam pen­didikan nasional dan menjadi kepriha­tinan, sehingga tak ayal lagi pendidikan karakter men­jadi mainstream dalam sistem pendi­dikan nasional pada zaman sekarang.
Jika dulu anak-anak ber­lom­ba untuk menciptakan permainan tradisional yang bagus, dan hasil karya tersebut tidak berpatokan kepada stra­tifikasi sosial karena memang orang miskin dapat membuat mainan tradisional yang bagus dan orang kaya belum tentu membuat mainan tradisional sebagus si miskin, maka stra­tifikasi di masyarakat diten­tukan oleh keterampilan.
Namun, pada saat seka­rang hal itu sangat berbeda, karena proses mendapatkan mainan modern untuk anak-anak berdasarkan stratifikasi eko­nomi seseorang. Artinya, anak yang miskin tidak akan dapat lagi menikmati per­mainan modern dan bermain bersama-sama dengan orang kaya.
Berkaitan dengan per­ma­inan tradisional tadi, agaknya permainan anak kini kurang memberikan kontribusi terha­dap pendidikan karakter dengan menghilangkan lima ciri dari permainan tradisi­onal. Pergan­tian ini tidak bisa dilepaskan oleh arus globa­lisasi yang menghantam setiap sendi kehidupan sehingga tidak ada lagi permainan anak yang berbasis pendidikan karakter.
Pendidikan karakter ada­lah pendidikan budi pekerti plus, yaitu melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), pera­saan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelak­sanaannya pun harus dilaku­kan secara sistematis dan berkelanjutan.
Sebuah buku yang berju­dul Emotional Intelligence and School Succes meng­kom­plikasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di seko­lah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecer­dasan otak, tetapi pada karak­ter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, ke­mampuan berkon­sentrasi, rasa empati, dan kemampuan ber­komunikasi.
Begitu juga halnya zaman sekarang, ketika kita mene­riakkan pentingnya pendidikan karakter di sekolah, pendidikan karakter harus dilakukan sejak dini, dan banyak lagi teriakkan tentang pentingnya pendidikan karakter, tapi tidak dibarengi dengan pengapliaksian yang nyata.
Padahal kita semua sudah tahu jika permainan tradisional itu banyak memberikan pendi­dikan karakter, namun kita masih disibukkan dengan pendidikan karakter secara formal di sekolah. Tidak seharusnya pendidikan karakter harus di sekolah, karena pendi­dikan karakter itu dapat dite­rap­kan dimana saja. Alangkah baiknya jika pendidikan karak­ter itu kita terapkan dalam lingkungan non formal, seperti halnya dengan permainan tradisional.
Sekarang ini kita tidak perlu teriak-teriak dengan lantang untuk mengatakan pentingnya pendidikan karakter. Cukup dengan menyelamatkan permainan tradisional dari serbuan arus globalisasi dan terus memainkannya mulai dari anak-anak hingga remaja, niscaya secara tidak langsung pendidikan karakter akan tercipta.

DEDE PRANDANA PUTRA
(Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan UNP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar