Featured Video

Minggu, 20 November 2011

BERSATU ANTISIPASI DOMINASI NEGARA BESAR


KTT ASEAN
SETELAH membicarakan penguatan integrasi keamanan, ekonomi, dan sosial budaya di Asia Tenggara , ASEAN  menggelar dialog dengan para mitra eksternal mereka, yang dikenal sebagai negara-negara besar, yaitu Amerika Serikat, China, Korea Selata
n, Jepang, Rusia, Australia hingga India. Agar ASEAN tidak diperkuda untuk perebutan kepentingan Negara besar.
Kalangan media massa baik nasional maupun internasional sudah mengantisipasi bahwa pertemuan di Bali ini bisa dimanfaatkan sebagai ladang konfrontasi baru secara di­plomatik oleh negara-negara peserta pertemuan. Sengketa dan potensi gangguan keamanan di Laut China Selatan me­warnai pelaksanaan rangkaian KTT ASEAN dan KTT Ter­kait itu, karena selama ini telah menjerat sejumlah negara peserta ke dalam konflik dan ketegangan diplomatik.
Jangan Jadi Tumbal
Saat membuka KTT ASE­AN, Presiden Susilo Bam­bang Yudho­yono sebagai tuan ru­mah secara tersirat me­ngingat­kan sesama anggota agar mereka tidak menjadi korban ke­pentingan bagi negara-negara besar, namun turut menjadi bagian dari solusi.   “Dalam dunia yang semakin kompleks dan saling kait-mengait, ASEAN sejatinya harus men­jadi yang terdepan dalam mengatasi berbagai tantangan yang men­cuat. ASEAN tidak boleh hanya menjadi penonton pasif, yang rentan menjadi korban per­masalahan di belahan dunia lainnya,” kata Yudhoyono.
Dia pun sebelumnya op­timistis bahwa sengketa di Laut China Selatan untuk saat ini masih bisa diatasi secara dialog oleh negara-negara yang ber­kepentingan melalui me­kanis­me yang telah disepakati. “Kesepakatan Guidelines on the Implementation of the Declaration on the Conduct of the Parties in the South China Sea antara ASEAN dan RRT, telah menumbuhkan optimisme dalam melihat permasalahan di Laut China Selatan,” kata Yudhoyono.
Menurut kantor berita Reuters, perairan itu dihuni lebih dari 200 pulau kecil, batu, dan karang. Laut China Selatan membentang dari pesisir China dan Taiwan di utara, Vietnam di sebelah barat, Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia, dan Singapura di selatan dan barat daya, hingga ke Filipina di sebelah timur.
Kawasan maritim ini telah lama menjadi sumber konflik antara Vietnam, Malaysia, Filipina, Brunei, China, dan Taiwan. Selain mem­per­ma­salah­kan batas zona ekonomi ekslusif, sejumlah negara juga saling mengklaim kepemilikan Pulau Spratley dan Paracel di wilayah perairan itu.
Laut China Selatan sangat strategis, karena menjadi salah satu jalur lalu lintas tersibuk bagi pengapalan minyak men­tah dan logistik. Wilayah itu juga menyimpan banyak ikan dan sumber minyak dan gas alam yang belum digarap.
China ingin menyelesaikan krisis itu melalui negosiasi secara bilateral, bukan melalui forum multilateral. “Kami berharap [isu] Laut China Selatan tidak akan dibicarakan pada KTT Asia Timur,” kata Wakil Menteri Luar Negeri China, Liu Zhenmin, awal pekan ini seperti yang dikutip harian The Wall Street Journal.
Namun, negara-negara lain menginginkan penyelesaian secara multilateral atau re­gional. Menteri Luar Negeri Filipina, Albert del Rosario, berharap ASEAN bisa me­mainkan peran yang lebih menentukan lagi pada isu Laut China Selatan, dengan mem­fasilitasi suatu pertemuan tingkat tinggi untuk membahas usulan Filipina agar diciptakan zona damai yang bebas, ber­sahabat, dan bisa bekerjasama di kawasan itu.
Kendati tidak ber­konfron­tasi langsung, AS pun turut berkepentingan. Niat AS untuk mengangkat isu Laut China Selatan di KTT Asia Timur akhir pekan ini sudah di­utarakan secara tersirat oleh pejabatnya.
Menurut Ben Rhodes, de­puti penasihat nasional AS, mengungkapkan bahwa ke­amanan maritim merupakan salah satu agenda AS di Bali, selain isu non-proliferasi nuklir dan bantuan kemanusiaan. “Laut China Selatan tentunya akan muncul dalam konteks itu,” kata Rhodes, seperti dikutip oleh harian The Wall Street Journal. Namun dia tidak mau me­mastikan bahwa AS akan benar-benar mengangkat agenda itu pada KTT Asia Timur nanti, yang belum pernah dihadiri oleh Presiden AS.
Militer AS
Isu lain yang patut di­antisipasi oleh ASEAN dan para mitranya akhir pekan ini adalah soal rencana AS untuk menambah lagi kehadiran militernya di Asia Pasifik.
Presiden Barack Obama sudah memaparkan rencana Washington untuk memperkuat kehadiran militer AS di Aus­tralia Utara. Penempatan pasukan AS itu untuk menjaga konstelasi stabilitas di Asia Pasifik sekaligus dapat di­berdayakan untuk operasi kemanusiaan dan bantuan keamanan.
Dalam pertemuan Obama dengan PM Julia Gillard Kamis kemarin, Australia sudah bersedia menjadi pa­ngkalan bagi 2.500 pasukan Marinir AS, yang akan dikirim secara bertahap mulai tahun 2012 ke Darwin, wilayah se­belah utara Australia yang dekat dengan perbatasan maritim di sebelah tenggara Indonesia.
Kepada parlemen Australia,  Kamis, Obama menyatakan bahwa AS kini telah mengalih­kan fokus keamanannya dari Irak dan Afganistan. Kini, penempatan pasukan AS ke luar negeri akan diarahkan ke Asia Pasifik, terutama Asia Tenggara. “Saat kita telah mengakhiri perang [di Irak dan Afganistan], saya telah me­ngarah­kan tim keamanan nasional saya untuk menjadikan keberadaan dan misi kami di Asia Pasifik sebagai prioritas utama,” kata Obama seperti dikutip kantor berita Reuters saat menjabarkan visi AS bagi kawasan Asia Pasifik.
Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton, sebelumnya juga menegaskan bahwa me­libatkan negaranya merupakan hal yang vital bagi masa depan Asia. “Masa depan politik akan diputuskan di Asia, bukan Afganistan atau Irak, dan AS akan menjadi pusat dari aksi itu,” tulis Clinton dalam opini­nya yang dimuat Foreign Policy Magazine edisi November 2011.
Namun, kehadiran militer AS lebih dekat ke Asia itu sudah mengundang kegelisahan. Dikhawatirkan, langkah ini merupakan cara AS untuk menandingi kekuatan China di Laut China Selatan. Pasalnya, negara-negara Asia Tenggara yang dimasuki AS bermasalah dengan China terkait konflik di perbatasan sengketa.
ASEAN, kata Menteri Luar Negeri Marty Nata­legawa, tidak akan mem­biarkan kawasan Asia Teng­gara dijadikan ajang per­saingan negara-negara besar. “Kita tidak akan membiarkan Asia Tenggara, oleh siapapun, menjadi ajang persaingan ne­gara-negara yang menganggap dirinya besar,” kata Marty.
Tujuan pengiriman tentara tambahan AS di Australia, lanjut Marty, harus di­sampai­kan secara transparan, untuk me­ng­hindari adanya ke­salah­pahaman. Jika tidak demikian, maka upaya yang tengah di­rintis oleh ASEAN di Laut China Selatan akan menjadi rusak. “Saya tidak ingin melihat adanya reaksi yang provokatif, yang membalikkan keadaan, dan menciptakan rasa saling tidak percaya,” kata Marty. (vvn/ant)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar