Featured Video

Kamis, 17 November 2011

TIAP KALI BANJIR AIR MATA MENGALIR


DUKA PESISIR SELATAN
Setiap kali datang banjir, air mata pun mengalir. Ung­kapan itu cukup mengam­barkan kondisi kebencanaan di seantero Kabupaten Pesisir Selatan. Lihat saja bencana banjir yang terjadi 2 November 2011 lalu. Enam nyawa warga melayang. Sekitar 3 Km jalan raya Lintas Barat Sumatera rubuh ke laut,
beberapa irigasi, sekolah, sarana/prasarana kesehatan, sarana air bersih, rumah masyarakat, rumah ibadah, ternak, dan sawah ladang. Kerugian ditaksir sekitar Rp 99,61 miliar.
Menyedihkan memang. Soalnya, bencana itu datang saat upaya Bupati Nasrul Abit mengentaskan 50 persen  dari 433.181 jiwa miskin mulai menunjukkan hasilnya. Ke­hidupan rakyat baru meng­geliat berkat kebun sawit, jagung dan padi yang kian subur. Kemudian, jalan nasional sepanjang 234 Km satu-satunya jalan raya yang melintasi kabupaten ini juga baru be­rangsur mulus sejak empat bulan belakangan. Bak orang lumpuh yang baru mulai belajar berdiri Pesisir Selatan ter­jerembab lagi.
Bantuan yang diturunkan pemerintah dan masyarakat mungkin bisa meringankan beban korban. Tapi itu hanya sesaat. Untuk selanjutnya, pemerintah provinsi dan pe­merintah kabupaten harus membangun jalan baru, me­rehabilitasi irigasi serta sarana dan prasarana kesehatan, pen­didikan dan sebagainya. Rakyat pun harus membangun kem­bali basis ekonominya. Artinya, kehidupan yang seharusnya sudah bisa ditingkatkan se­bagian harus dimulai lagi dari nol.
Pesisir Selatan tampaknya akan terus jatuh bangun akibat bencana alam. Dan se­harusnya­lah bencana demi bencana memberikan perenungan bagi semua pihak dan semua lapisan mayarakat daerah ini. Jika meyakini ayat-ayat Alqur’an, tentu akan dipercaya bahwa bencana terjadi akibat ulah manusia terhadap alam dan ulah manusia terhadap Tuhan.
Bencana yang menimpa kampung Kasiak Putiah Ke­nagarian Kambang itu misalnya, amat pantas jadi renungan. Kenapa tiba-tiba tiga sungai, Batang Lenggayang, Batang Ampiang Parak dan Batang Kambang, menyatu dan me­milih Kasiak Putiah jadi sa­sarannya. Kenapa bukan ke tempat yang lebih rendah di sebelah utaranya. Adakah hubungannya dengan objek wisata yang sejak  empat tahun belakangan selalu ramai tiap senja hingga menjelang tengah malam.
Renungan juga bisa di­arahkan pada analisa ekosis­tem dan aspek lingkungan. Soalnya, semua pihak tahu bahwa Pesisir Selatan diambil posisi dari Barat ke Timur, sebelah Utara seluruhnya adalah daerah perbukitan dan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), hulu dari seluruh sungai di Pesisir Selatan. Sebelah Selatan adalah Laut. Jarak perbukitan dan laut terpanjang hanya 15 kilometer dan terpendek 0,0 kilometer. Tak aneh ada jalan raya berada di bibir pantai. Diantara pantai dan perbukitan itulah nagari dan lahan pertanian.
Bisa dimengerti jika pe­merintahan Belanda dulu mematok kawasan TNKS sam­pai ke permukiman. Lalu dipatok pula hutan penyangga (penopang/ penghambat) banjir diantara pemukiman dan TNKS itu. Tapi atas desakan pemerintah daerah tahun 1991 luas TNKS di Pesisir Selatan direvisi sehingga pemukiman lebih luas. Lalu, sejak 1980 hutan penyangga dan bahkan sebagian TNKS pun dibabat. Baik atas nama HPH, IPK dan sebagainya. Penduduk pun nyaris beralih ke hutan dan meningalkan sawah ladang serta ternak piaraannya.
Sebagaimana pernah saya ungkapkan dalam makalah berjudul ‘Miskin di Lumbung Beras’ saat Musrenbang Kabu­paten Pesisir Selatan di Gedung Serbaguna Painan, 31 Maret 2008 lampau, penebangan hutan itu berdampak sangat luas terhadap lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat. Meski Pesisir Selatan sejak 1980 penghasil kayu nomor satu di Sumatera Barat tapi sejak itu pula daerah ini daerah bencana alam nomor satu di Sumatera Barat. Mulai dari kasus penduduk diterkam harimau sampai sungai yang tersumbat sisa penebangan dan berubah jadi liar. Di musim panas sungai jadi kering dan di musim hujan sungai melim­pah dan membawa air bah merendam pemukiman dan lahan pertanian.
Keasyikan menebang kayu di hutan juga membuat ter­hentinya regenerasi pertani hampir dua generasi. Sementara selama musim kayu itu tak ada pula upaya untuk mening­katkan nilai tambah kayu misalnya mengembangkan usaha mebel atau furniture. Hal ini kemudian punya andil besar terhadap terlantarnya lahan pertanian, pengangguran dan kerawanan sosial, yang be­rujung pada, misalnya, mening­katnya angka perceraian pa­sangan usia muda dan angka kriminalitas.
Dampak berikutnya terlihat pada kerusakkan tatanan sosial yang ditandai menurunnya kewibawaan ninik mamak terhadap keponakan, ulama terhadap umatnya, pemerintah daerah, termasuk aparat pe­negak hukum dan aparat ke­amanan terhadap masyarakat. Kini ada dinatara nagari bah­kan seperti  tak punya pe­mimpin.
Penebangan kayu dihutan telah menumbuhkan kebiasaan bagaimana menghasilkan uang kontan secara cepat. Sikap ini membuat warga malas bertani karena bertani perlu waktu lama untuk menghasilkan  uang. Kebiasaan cepat men­dapat uang dari hutan juga telah menumbuhkan prilaku ko­nsum­tif. Sehingga, setelah kayu habis, prilaku itu menimbulkan persoalan sosial ekonomi dalam masyarakat yang terlanjur konsumtif.
Tak mudah bagi Pe­merin­tahan Bupati Nasrul Abit untuk membangun Pesisir Selatan. Selain menuntut kesa­daran yang mendalam dari staf dan jajaran SKPD-nya tentang tantangan yang dihadapi, ia juga harus membangun ke­sa­daran lingkungan dan kesedaran pada tatanan sosial dalam masyarakat. Berharap pada kesadaran aparat yang ada tampaknya belum memadai. Buktinya, kayu asal Pesisir Selatan masih terus mengalir ke Padang. Penebangan hutan, baik untuk alasan perkebunan karet, sawit dan gambir juga belum bisa dihentikan. Padahal wilayah perbuktian sebelah utara atau sebelah kiri jalan dari Padang sepanjang Pesisir Selatan selayaknya dihutankan kembali dan tidak ditebangi lagi.
Salah satu solusi menga­man­kan daerah hutan dan perbukitan itu, selain me­ngefektifkan pelak­sanaan UU yang ada, seluruh nagari perlu menge­luarkan peraturan nagari tentang penye­lamatan ling­kungan. Sehin­gga, dengan demikian ninik mamak dan para pemuda berperan menjaga hutan dari penebangan oleh siapapun, rakyat sendiri, oknum aparat Pemda atau aparat keamanan.
Kemudian setiap nagari juga perlu membentuk Forum Kemitraan/Koordinasi Polisi dan Masyarakat (FKPM). Melalui lembaga yang dibentuk Bamus dan Walinagari yang direkomendasikan Pemda dan Kepolisian, nagari punya aparat sendiri untuk menjaga ke­rusakan lingkungan, me­me­lihara Kamtibmas dan men­jcgah penyakit masyarakat. Persoalan yang berbau adat dan ulayat diselesaikan melalui ninik mamak, dan yang berbau tindak kriminalitas murni diserhkan ke polisi. Dengan deemikian ninik mamak te­rangkat kewibawaannya di tengah masyarakat, lingkungan ikut terjaga, penyakit masya­rakat bisa dicegak dan ka­mtibmas bisa diciptkan secara bersama-sama.
Disamping itu, Nasrul bisa mengerahkan seluruh SKPD bidang ekomi dan kesejah­traan rakyat untuk mening­katkan kinerja. Gerakkan seluruh penyuluh pertanian, per­kebu­nan dan peternakan dengan teknologi serta fasilitas pen­dudukung sehingga semua lahan yang sudah ada bisa efektif, produktif dan bernilai eknomis secara ber­kelanjutan. Cara ini sekaligus bisa men­cegah kebiasaan setiap mem­buka kebun diikuti dengan pem­­­bukaan lahan baru dapat di­atasi sehingga kerusakan ling­kungan bisa dicegah dan eko­nomi rakyat bisa di­tingkat­­kan.
Hanya dengan kerjasama masyarakat, pemuka adat dan aparat keingian Nasrul Abit untuk mengeluarkan Pesisir Selatan dari kemiskinan bisa tercapai.


H FACHRUL RASYID HF(haluan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar