Featured Video

Kamis, 17 November 2011

3.000 URANG AWAK DI PULAU SIMEULEU


Falsafah Minang tentang ke­harusan merantau jika belum berguna di kampung halaman agaknya menjadi motivasi orang minang mengadu untung di negeri orang. Bisa disebut, tak sejengkal tanah pun di nusantara yang tak dijejaki orang Minang. Bahkan ada guyon, kalaulah di bulan ada kehidupan di sana orang mi­nang pun akan suka merantau.

Apa istimewanya sebuah pulau terpencil di wilayah Barat Nanggroe Aceh Darussalam bagi orang Minang yang datang ke sana mengadu nasib? Pulau kecil dan terpencil dan jauh dari daratan itu adalah Pulau Simeulue yang baru 10 tahun menjadi kabupaten definitif. Siapa sangka pula kalau orang minang yang mendiami pulau ini sekarang berjumlah sekitar 640 Kepala Keluarga (KK) atau lebih kurang 3000-an jiwa? Menurut salah seorang pendiri Ikatan Keluarga Mi­nang Simeulue (IKMS), Ba­gindo Sutan Mul Rivaz Koto (43 tahun), orang minang mendiami Pulau Simeulue sudah ada sejak ratusan tahun lalu, bahkan sebelum Belanda datang menjajah nusantara. Sejarah orang minang merantau ke Simeulue, ceritanya dari sumber yang dapat dipercaya, mulanya dari ekspedisi ba­latentara Kerajaan Pagaruyung yang melakukan pelayaran ke pulau itu. Salah seorang yang cukup disegani bernama Inyiak Tuo.
“Ada hubungan bilateral antara Kerajaan Aceh dan Kerajaan Pagaruyung di masa itu. Bahkan Sultan Aceh Is­kandar Muda meminta seorang ulama asal Ulakan Padang Pariaman untuk menyebarkan agama Islam di Simeulue. Ulama itu kemudian di Si­meulue dikenal sebagai nama Syekh Teungku Diujung,” ujar putra asal lereng Gunung Merapi, Canduang, Kecamatan IV Angkek, Kabupaten Agam ini.
Syekh Teungku Diujung tentu cukup dihormati. Murid Syekh Burhanuddin Ulakan ini menyebarkan agama Islam ke seluruh wilayah Pulau Si­meulue hingga pulau-pulau kecil di sekitarnya. Banyak penduduk Simeulue yang fanatik akan kesantunan dan ketinggian ilmu agamanya. Banyak pula murid-murid yang menuntut ilmu kepadanya.
“Bahkan sampai sekarang, makam Syekh Teungku Di­ujung di Kampung Air Si­meulue selalu ramai diziarahi oleh banyak pengunjung yang datang dari berbagai daerah,” kata Mul Rivaz yang saat ini mengabdi sebagai anggota kepolisian di Polres Simeulue sejak 4 tahun lalu.
Dia menyebutkan, orga­nisasi IKMS merupakan or­ganisasi Minang yang baru dibentuk di Simeulue. IKMS berdiri pada bulan Juli 2009 lalu dan se­karang diketuai oleh Edi Tanjung, S.E., dengan masa jabatan 2009-2011. Sebelumnya memang ada organisasi minang di Simeulue, namanya Minang Serantau. Tapi beberapa masa sempat vakum.
“Untuk menggalang si­laturahim sesama urang awak maka kami bersepakat men­dirikan IKMS sebagai wadah utama membangun persatuan sesama perantau,” ujar Mul Rivaz yang telah merantau ke Aceh selama 22 tahun.
Dari jumlah 640 KK orang Minang yang terdata di IKMS, jelasnya, sebagian besar di­dominasi orang minang asal Kabupaten Padang Pariaman dan Tiku Kabupaten Agam. Dari jumlah KK itu, mereka tersebar di beberapa kecamatan di Simeulue, di antaranya di Kecamatan Simeulue Timur (250 KK), Kecamatan Si­meulue Tengah (150 KK), Kecamatan Simeulue Barat (20 KK), Kecamatan Teupah Se­latan (15 KK), Kecamatan Teluk Dalam (10 KK), Keca­matan Salang (18 KK) dan Kecamatan Alafan (8 KK).
“Lumrahnya orang minang yang merantau ke daerah lain, orang minang di Simeulue juga berniaga, mulai dari berdagang kain, membuka warung makan, hingga pekerjaan swasta lain­nya,” jelas Mul Rivaz.
Mengapa orang Minang senang tinggal di Simeulue ternyata tidak lepas dari adat dan budaya Simeulue. Ada kemiripan bahasa Simeulue dan bahasa Minang. Di daerah ini sebagian masyarakatnya juga berbahasa Minang yang ke­mudian dikenal sebagai bahasa Jamee (baca: bahasa tamu). Bahasa Jamee merupakan salah satu bahasa yang dimiliki salah satu suku di Aceh yang me­rupakan percampuran darah Minang-Aceh setelah proses perkawinan.
Bisa dikatakan orang mi­nang di Simeulue cukup erat rasa persatuan dan kesatuan mereka. Meski IKMS baru terbentuk dan seumur jagung, berbagai kegiatan telah di­lakukan, khususnya kegiatan-kegiatan sosial seperti pe­nyelenggaraan kematian, olah­raga, bazaar murah, dan juga melakukan dakwah di desa-desa terpencil. Bahkan men­dukung program Pemda Si­meulue saat ini IKMS sedang bekerja keras mempromosikan serta mengelola Danau Mutiara di Kecamatan Teluk Dalam dengan harapan bisa menjadi salah satu objek wisata andalan di Simeuleu.
“Walau kami sebagai pe­rantau di sini, kami merasa Simeulue sudah menjadi kam­pung halaman kami sendiri,” ujarnya.
Begitupun, sebagai wujud perhatian warga perantau di Simeulue terhadap Sumatera Barat yang mengalami musibah gempa bumi pada 30 Sep­tember 2009 lalu, seluruh warga Minang Simeulue menggalang dana hingga berhasil mengum­pulkan bantuan sebesar Rp20 juta. Dana sumbangan itu dikumpulkan secara spontan dengan melakukan berbagai kegiatan amal.
Gempa dan tsunami adalah hal yang sudah jadi ‘air mandi’ orang Simeulue. Berkali-kali diterpa gempa dan tsunami. Tsunami yang dikenal sebagai smong. Dan warga pulau itu secara turun temurun sudah diajari bagaimana ‘bersahabat’ dengan gempa dan tsunami atau smong.
Ketika gempa Aceh terjadi, jumlah korban di pulau itu hanya enam orang. Padahal episentrum gempa Aceh justru berada di sekitar itu. Banyak urang awak yang mengungsi ke bukit-bukit di pulau itu bersama warga pribumi.
Ajaran para tetua di Si­meulue sejkak dulu adalah agar setiap kali gempa datang dan air laut surut maka itu pertanda smong akan datang. Semua yang ada di sekitar pantai harus segera naik ke bukit. Ajaran itu senantiasa dipatuhi pen­duduk hingga kini. Jadi pen­didikan kegempaan dan ajaran keselamatan sudah melekat dalam kehidupan sehar-hari warga Simeulue. Sesuatu yang pantas ditiru untuk warga di sepanjang pantai Sumatera Barat.(muhammad subhan)
haluan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar