Featured Video

Kamis, 17 November 2011

BEM UNAND BAHAS PERATURAN REKTOR


PADANG, Peratu­ran Rektor Universitas Andalas (Unand) yang dibuat pada Juli memicu kontroversi. Dari enam belas poin, poin ke-12 dinilai sebagai penghalangan terhadap kebebasan berpendapat.
Peraturan itu berisi tentang larangan merokok, berambut panjang, dan sebagainya. Semen­tara poin ke-12 ditulis, “Maha­siswa dilarang melakukan unjuk rasa atau demonstrasi serta mengeluarkan pendapat di depan umum di dalam kampus untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan tanpa pem­beritahuan secara tertulis ke universitas, fakultas, jurusan dan atau bagian terlebih dahulu.”

Ketua Badan Eksekutif Maha­siswa (BEM) Unand Efri Yunel­di mengatakan, peraturan baru itu sedang dibahas di selingkungan BEM. “Ada memang beberapa poin yang perlu ditinjau kem­bali,” ujarnya. Rencananya, katanya, BEM akan menemui rektor untuk meminta penjelasan.
Efri menduga, peraturan tersebut dibuat terkait dengan beberapa aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa bebe­rapa bulan yang lalu. Katanya, peraturan itu dibuat pasca de­monstrasi yaitu pada Juli.
Aktivis mahasiswa Yogi Yolan­d­a menilai kampus mengalami ke­munduran karena hadirnya aturan-aturan itu. Ia menekankan kepada poin ke-12, yang me­nurutnya bertentangan dengan UU No. 9 tahun 1998 tentang hak berpendapat.
“Peraturannya tak masuk logika. Logika hukum, soal izin demo diberikan polisi, tidak pihak kampus,” ujarnya. Logika lain, bila diibaratkan rektor adalah orang tua, ketika akan melakukan demo, kenapa minta izin dulu? “Ini lucu,” tambahnya.
Menurut Yogi, peraturan yang katanya bertentangan dengan nilai-nilai yang diemban demo­krasi dan merupakan bentuk pem­bung­kaman terhadap maha­siswa itu juga sedang didalami dan dibahas bersama aktivis lainnya. “Kita akan per­tanyakan kenapa muncul aturan seperti itu,” ujarnya.
Aktivis di Lembaga Advokasi Mahasiswa dan Pengkajian Ma­syarakat (LAM & PK) Fakultas Hukum Unand Parwira Agustia menilai aturan itu bertentangan dengan semangat demokrasi, yang notabene diusung dari kampus.
Ia mengkuatirkan—masih terkait poin ke-12—ada sema­cam upaya pimpinan untuk menghalangi setiap aksi lebih awal. Indikasi ini diperkuatnya, dalam setiap aksi yang dilakukan di Unand, aktivis mahasiswa selalu dipanggil pihak rektorat.
Parwira tidak menjelaskan lebih rinci bentuk pemanggilan tersebut. Tapi, katanya, kampus sebaiknya dijadikan mimbar bebas untuk berpendapat. Soal peraturan tersebut, seperti aktivis mahasiswa yang lain, mereka belum merumuskan sebuah gerakan, masih dalam tahap pengkajian-pengkajian materi.
Peraturan yang dikeluarkan pada Juli itu, dalam pantauan Haluan Selasa (15/11), telah ditempelkan di beberapa fakultas dan ada yang ditempelkan di ruang kelas. Sempat terjadi aksi berupa tempelen poster-poster yang dibuat mahasiswa, tapi buru-buru ditanggalkan, entah oleh siapa. Poster-poster itu berisi kecaman atas peraturan baru tersebut. Kata-katanya terlihat masif seperti, “Unand=TK”.
Plt. Rektor Unand Febrin Anas mengatakan, aturan No.53 a/XIII/A/Unand/2011, Bab V Pasal 7 itu merupakan hasil keputusan yang matang dan dikaji dengan senat. Peraturan tersebut, katanya, tak pantas disebut sebagai penghalangan kebebasan berpendapat.
“Tujuannya untuk pembinaan, bu­kan mematikan kreatifitas ma­hasiswa,” ujarnya. Soal demo, ia mengemukakan logika bahwa tak hanya mementingkan ke­beba­san, tapi juga memikirkan orang-orang yang tak berdemo, yang bisa saja terganggu karena aktivitas demo.
Secara keseluruhan, tanpa merincinya, Febrin menyebutkan peraturan itu sifatnya ke dalam, tidak keluar. Artinya, ia hanya mengatur aktivitas mahasiswa di dalam kampus saja. Lebih tegas ia menyebutkan, aturan itu merangkum seluruh pihak, tidak hanya satu pihak. (h/adk)HALUAN 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar