Featured Video

Jumat, 30 September 2011

BERHENTI MENANGIS SETELAH DUA TAHUN






Dua tahun lalu, persisnya 30 September 2009, sebuah senja yang kelam dan amat pahit bagi Sumatera Barat. Gempa melanda dan merusak seluruh kota Padang dan sekitarnya, bahkan getaran gempa sampai ke Jambi dan Bengkulu. Guncangannya memorakporandakan negeri Minangkabau ini yang kemudian menimbulkan simpati yang besar dari masyarakat perantau di seluruh dunia serta dunia in­ternasional.

Musibah gempa dua tahun lalu yang berantai sejak tsunami Aceh 2004 semakin menegaskan bahwa Indonesia berada di atas tanah labil yang rentan gempa, tsunami, dan gunung meletus.
Di wilayah Sumatera, lempeng-lempeng tektonik bertemu di zona rapuh, di mana satu sama lain lempeng saling menekan. Akibatnya, lempeng Indo-Australia bergeser sekira 7 centimeter setiap tahunnya ke arah timur laut dan menekan lempeng Eurasia.
Kondisi ini menjadikan Sumatera sebagai daratan yang rentan diguncang gempa. Lempengan itu memanjang mulai dari Myanmar ke arah barat daya ke arah Selat Sunda hingga wilayah Timor.
Jika pergeseran lempeng terjadi, akan tercipta celah di dasar samudera di Sumatera. Ini adalah awal dari malapateka. Sebuah tsunami besar mengancam, seperti yang terjadi pada Desember 2004 lalu. Bahkan pengamat geologi mem­prediksikan akan ada gempa berkekuatan lebih dari 9 SR yang menerjang kepualauan Mentawai. Namun tak ada satu pun yang mampu memprediksikan kapan bencana itu terjadi.
Jadi satu catatan penting yang mesti diingat semua penduduk Sumatera sejak 2004 adalah bahwa kesiagaan bencana menjadi sebuahy keharusan di kawasan ini.
Kembali lagi ke soal gempa 2009 dan dampak-dampak ikutannya yang masih kita rasakan hari ini di Sumatera Barat khususnya di kawasan pantai (Padang, Pesirisir Selatan, Pariaman, Pasaman Barat, Agam Barat dan Padang Pariaman serta Mentawai) belum selesainya program rehabilitasi dan rekonstruksi.
Setelah dua gempa 30 September 2009 itu, Pemerintah Provinsi Sumbar masih fokus pada pembangunan rumah warga yang rusak, baik rusak berat maupun yang rusak sedang. Akibatnya, hingga saat ini belum ada satupun gedung atau kantor pemerintahan yang telah dibangun.
Data yang ada menyebutkan dari 249 ribu total rumah yang rusak, 181 ribu rumah diantaranya mengalami rusak berat dan rusak sedang. Dari jumlah 181 ribu itu, baru 147 ribu rumah warga yang telah dibantu. Sisanya 34 ribu rumah belum mendapatkan bantuan.
Jadi itu salah satu sebab kenapa sejauh ini pemerintah lebih mementingkan pembangunan rumah masyarakat, baik yang rusak berat maupun yang sedang. Gedung pemerintah saat ini masih babedeng. Bahkan gubernur saja masih berkantor di rumah dinasnya.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat dari total Rp6,4 triliun kerugian dan kebutuhan untuk tahap rehab rekon, Sumbar baru mendapatkan bantuan dan telah merealisasikannnya sebesar Rp5 triliun. Bantuan ini tidak saja dari pemerintah pusat, tapi juga sudah termasuk bantuan dari NGO, donatur maupun bantuan dunia internasional.
Bantuan Rp5 triliun itu tidak saja direalisasikan untuk bantuan rumah korban gempa, tapi juga digunakan untuk pembangunan lainnya, seperti pembangunan infrastruktur jalan, rumah sakit dan fasilitas umum lainnya.
Untuk menutupi kekurangan sebesar Rp1,4 triliun, Pemerintah Sumbar telah melakukan berbagai upaya, seperti pengajuan bantuan dana ke pemerintah pusat dan de­partemen kementerian terkait. Selain itu, pemerintah juga telah melakukan berbagai pendekatan kepada dunia internasional, untuk menutupi kekurangan tersebut.
Selain berfokus pada rehab rekon, saat ini BPBD Sumbar juga berfokus pada upaya mitigasi bencana, karena beberapa daerah di Sumbar masih memiliki potensi gempa dan tsunami. Upaya mitigasi bencana tersebut dilakukan dalam berbagai kegiatan berupa seminar, lokakarya, pelatihan dan simulasi, serta berbagai sosialisasi lainnya.
BPBD Sumbar saat ini juga menggiatkan pembentukan forum siaga bencana dari berbagai kalangan, mulai dari kalangan siswa, pengusaha, serta masyarakat umum. Bahkan BPBD Sumbar telah membentuk forum siaga bencana di tingkat nagari.
Satu hal penting lagi yang patut kita garis bawahi adalah pentingnya semangat dan rasa optimis menghadapi masa depan. Semangat membangun kembali Sumatera Barat perlu ditumbuhkan terus menerus dan digelorakan. Bahwa bencana setiap saat datang, marilah kita senantiasa siaga. Tapi bawah masa depan harus kita tuju juga tak bisa dihindari. Karenanya hanya dengan optimisme kita bisa berlari cepat dan menghentikan semua rasa duka kita. Yang lalu, biarlah berlalu. Kita kejar masa depan yang lebih baik pascagempa 2009 ini.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar