Featured Video

Kamis, 20 Oktober 2011

Hantu Kapitalis Sepak Bola


Daylife
Stan Kroenke.
Ancaman itu datang dari para kapitalis yang merangkap pemilik klub Liga Primer Inggris. Lebih spesifik lagi, para pemilik asal Amerika Serikat. Demi mengamankan investasinya, pemodal asal negeri yang tak punya tradisi kuat sepak bola itu mengusulkan kompetisi tanpa mekanisme promosi dan degradasi.
Proposal ini meniru gaya pengelolaan olahraga profesional di AS, seperti bisbol dan bola basket, yang tidak mengenal mekanisme promosi-degradasi yang sejatinya adalah ”jiwa” dari sebuah kompetisi.

Kabar tak elok itu disampaikan ketua asosiasi manajer liga, Richard Bevan. ”Sejumlah klub yang dipunyai oleh pemodal mancanegara, utamanya AS, sudah mewacanakan penghapusan sistem promosi-degradasi di Liga Primer. Jika jumlah mereka terus bertambah, wacana tersebut bisa jadi kenyataan,” ujar Bevan.
Bersolek sejak 1992 dengan mengubah penampilan pengelolaan liga profesional menjadi Premiership, kompetisi Liga Inggris memang berkembang menjadi gadis molek yang diminati pemodal asing. Tiga tim utama Inggris, Manchester United, Liverpool, dan Arsenal, kemudian tercatat dimiliki oleh para taipan asal AS. Demikian pula Aston Villa dan Sunderland. Sementara itu, Chelsea dimiliki konglomerat Rusia dan sejumlah pemodal Asia menguasai kepemilikan Blackburn Rovers dan Queens Park Rangers.
Dengan nilai investasi yang terbilang raksasa, tidak pernah terbayangkan oleh mereka jika klub miliknya sampai terjerumus ke jurang degradasi. Pemilik Manchester United, Malcolm Glazer, misalnya, menanamkan modal tak kurang dari 1,5 miliar poundsterling untuk menguasai kepemilikan klub ”Setan Merah”. Atau Stan Kroenke yang mendominasi komposisi modal Arsenal dengan setoran senilai 1,5 miliar poundsterling.
Wacana yang disuarakan pemodal asal AS memang masuk logika bisnis mereka. Berkaca pada keanggotaan tetap olahraga pro AS pada liga bisbol, american football, dan bola basket, para pemodal itu ingin perlindungan maksimal terhadap aset investasinya. Kebetulan, para pemilik MU, Liverpool, Arsenal, dan Aston Villa juga adalah pemilik sejumlah klub profesional di AS.
Begitu Bevan menyampaikan ancaman potensial yang disuarakan para pemodal asal AS, suara melengking langsung datang dari Old Trafford. Sir Alex Ferguson, manajer paling berpengaruh di Liga Inggris, mengatakan, jika sampai wacana itu menjadi kenyataan, hal tersebut akan menjadi sebuah ”bunuh diri” bagi sepak bola Inggris. Bagi Sir Alex, sepak bola Inggris bukan sekadar olahraga, apalagi entitas bisnis yang dengan mudah mengingkari nilai-nilai dasar olahraga.
Bagi Sir Alex, sepak bola Inggris adalah tradisi dan sejarah panjang perjalanan sebuah bangsa yang penuh dengan nilai-nilai perjuangan. ”Paling tidak ada delapan tim di Divisi Championship saat ini dengan sejarah yang hebat. Apa yang akan Anda katakan kepada delapan tim itu? Mereka tidak bisa berkompetisi di Premiership? Ini akan menjadi bunuh diri bagi bangsa secara keseluruhan!”
Sir Alex benar. Tanpa faktor tradisi dan sejarah sekalipun, kompetisi sepak bola akan kehilangan makna jika sistem promosi-degradasi ditiadakan. Dengan mekanisme itu, setiap komponen dalam sistem kompetisi akan selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik dan melalui setiap laganya. Mereka akan tampil dengan semangat untuk menang, seperti yang yang diamanatkan spirit olimpiade.
Bagi tim yang berada di divisi bawah, semangat yang sama juga selalu muncul untuk mewujudkan mimpi tampil di strata tertinggi sistem kompetisi. Bagi pemain sepak bola khususnya, mahkota mimpi mereka adalah tampil dengan kostum tim nasional membela negaranya. Jika hal itu belum bisa terlaksana, mimpi mereka akan digantungkan pada penampilan di divisi teratas, di liga strata tertinggi. Dengan memelihara mimpi itulah, setiap pemain bola akan mengeluarkan setiap talenta terbaiknya, yang pada gilirannya meningkatkan mutu kompetisi dan bermuara pada prestasi tim nasional.
Alex Ferguson memang tidak berbicara sedetail di atas, pun dia tak perlu membeberkannya. Di tangan midasnya, MU merajai Inggris sejak dekade 1990-an. Di tangan Fergie, Divisi Championship adalah wilayah yang tak pernah terbayangkan, tetapi manajer yang sudah 25 tahun lebih menakhodai MU itu tak ingin mengkhianati salah satu pilar dan esensi kompetisi, promosi-degradasi.
Para pengelola sepak bola di Indonesia, khususnya mereka yang menakhodai kompetisi, tampaknya harus belajar banyak dari Sir Alex yang, meski tak punya gelar doktor atau profesor, paham benar makna kompetisi. Pandangan Sir Alex menjadi penting dalam konteks pengelolaan strata tertinggi Liga Indonesia yang sampai saat ini belum menunjukkan sinyal membaik pascarezim kepengurusan Nurdin Halid. Struktur kompetisi yang sudah baik, meski belum menghasilkan kualitas sepak bola yang mumpuni, justru diacak-acak demi kepentingan pihak yang tak terkait langsung dengan kompetisi dan kualitas sepak bola.
Dimasukkannya enam tim tambahan ke 18 tim strata tertinggi, selain menabrak amanat Kongres PSSI, juga mengkhianati esensi kompetisi. Ironisnya, di tengah kampanye kepengurusan baru PSSI yang mengusung tema reformasi dan profesionalisme, penambahan itu sama sekali tak mengacu pada asas-asas profesionalisme. Seperti diakui anggota Komite Eksekutif PSSI, Sihar Sitorus, penambahan keenam tim itu atas permintaan sponsor dan pertimbangan basis suporter yang masif.
Hantu kapitalis sepak bola rupanya tidak hanya mengancam Inggris, tetapi juga Indonesia dalam dimensi yang berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar