Featured Video

Kamis, 20 Oktober 2011

Moratorium Keserakahan


Taufik Effendi

Bila disederhanakan, sehat atau sakitnya perekonomian (daerah, negara atau dunia) ditentukan pertumbuhan dan distribusi pendapatan. Jika pertumbuhan positif bergerak naik, dan distribusi pendapatan merata, maka perekonomian menjadi sehat. Demikian pula sebaliknya.
Tak perlu memakai teori yang tinggi-tinggi, hitung saja dua variabel itu (pertumbuhan dan distribusi pendapatan), maka ketahuanlah kondisi perekonomian.
Jika menggunakan pemahaman di atas, maka dapat dengan mudah dijelaskan kenapa perekonomian dunia saat ini terancam bangkrut, yang ditandai oleh kondisi perekonomian zona euro (kawasan satu mata uang Eropa yang beranggota 17 negara) yang sedang megap-megap lantaran kebangkrutan yang menghantui Yunani dan beberapa negara zona euro lainnya.
Kondisi kritis ini mendapat respon dari para politisi lintas negara dan pebisnis multinasional serta konglomerat dunia. Termasuk George Soros, pebisnis terkenal yang memfokuskan diri pada bisnis investasi alias memperanakkan duit itu, juga menyuarakan kegelisahannya terhadap kondisi kawasan Eropa yang diprediksi bisa menjadi badai dahsyat buat perekonomian dunia secara keseluruhan.
Di Amerika Serikat, sebagaimana juga disokong oleh gelombang demonstrasi pada sejumlah negara di Eropa dan Asia, bahkan sudah disimpulkan bahwa ambang kebangkrutan perekonomian dunia disebabkan oleh keserakahan para pebisnis investasi (para bangkir dan pebisnis pasar modal) yang tidak mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan, keber-samaan dan kasih sayang serta peduli pada rakyat badarai dalam praktik-praktik bisnisnya.
Karena itu, pada 15 Oktober lalu, secara serentak para pengunjuk rasa mendatangi pusat-pusat bisnis keuangan dan investasi di sejumlah negara untuk meminta tanggungjawab para pelaku eli-elit keuangan dimaksud terhadap indikasi kebangkrutan dunia!
Kompas (14/10) mencatat, unjuk rasa yang digelar serentak di 71 negara ini merupakan pertunjukan global pertama tentang kekuatan dari sebuah protes.
Para pemrotes mengusung gerakan dengan nama pendudukan Wall Street atau Occuppy Wall Street (OWS). Wall Street simbol pusat bisnis keuangan di mana di kawasan ini berdiri Bank Sentral Amerika Serikat yang dikenal dengan nama The Federal (The Fed).
OWS digelar para pengunjuk rasa guna menekan para bankir supaya lebih pro orang banyak dalam praktik bisnisnya, tidak hanya kepentingan keuntungan semata. Mereka juga menghimbau para politisi supaya proaktif menyusun regulasi guna mengendalikan praktik bisnis kapitalis ini.
Gerakan OWS tersebut sebenarnya menggurita sejak dikumandangkannya aksi protes di lapangan Puerta del Sol, Madrid, Spanyol, pada 15 Mei 2011, menyusul kebijakan pemerintah negara matador itu untuk mengurangi pengeluaran (belanja) guna menekan beban utang.
Dapat diduga, kebijakan tersebut akan mengurangi pertumbuhan ekonomi lantaran belanja dikurangi, dan muaranya adalah berkurangnya kegiatan-kegiatan ekonomi yang berdampak pada hilangnya lapangan kerja dan rendahnya daya beli masyarakat.
Semangat yang dapat ditangkap dari aksi di Puerta del Sol ini adalah kegeraman masyarakat lantaran pemerintah yang semestinya menomorsatukan kepentingan mereka, malah memilih menekan beban utang.
Padahal utang tersebut timbul karena kegagalan pemerintah dalam mengelola keuangan, mungkin lantaran menerapkan azas besar pasak dari tiang.
Acapkali pemerintah menangguk duit dengan menjual obligasi (di Indonesia kita mengenal Surat Utang Negara/SUN) alias berutang kepada pihak lain (swasta nasional, swasta asing dan lain-lain).
Beban utang tersebut akan ditanggung oleh semua rakyat, sementara penggunaannya kerapkali tidak untuk kemaslahatan masyarakat secara langsung. Bahkan sebagian ada pula yang dikorupsi oknum.
Sementara para bankir, juga para pebisnis investasi tidak pernah mau merugi. Surat-surat berharga tersebut mereka jadikan pula jualan untuk agunan menangguk duit untuk diinvestasikan di sektor lain. Tidak hanya sekedar duit disuruh bekerja mencari duit, tetapi surat utang disuruh mencari duit pula!
Semakin runyam kalau sektor yang dipilih untuk berinvestasi kembali (reinvestasi) menyangkut kepentingan publik pula, sehingga tatkala terjadi salah urus semua kalimpasingan dan kelimpungan, karena apapun pilihan jalan keluar, resiko terbesar selalu ditanggung masyarakat (publik).
Ilustrasi yang lebih seram, bayangkan jika ‘permainan’ bisnis investasi seperti di atas dikuasai oleh seseorang atau sejumlah orang saja. Apalagi yang bukan berkebangsaan negara setempat atau diindikasikan rasa nasionalismenya jauh lebih rendah dari semangat berburu rente untuk mempergemuk pundi-pundi pribadi, maka dengan sekali sentak saja mereka bisa membuat sebuah negara megap-megap.
Lalu, jamaknya dampak globalisasi yang juga berbuah koneksitas investasi dan modal antar negara, maka apabila satu negara terancam kolaps, negara-negara lain pun dipastikan terancam bangkrut. Misalnya seperti yang menjadi kekuatiran 17 negara di zona euro belakangan ini lantaran krisis utang di Yunani.
Oleh sebab itu menjadi sangat penting untuk memprovokasi masyarakat global, seperti gerakan OWS, untuk diperluas menjadi aksi mahadahsyat guna menekan para pihak (bankir, pebisnis investasi, elit-elit keuangan dan para politisi) memberlakukan moratorium keserakahan!
Harus ada kesepakatan global untuk membuat rambu-rambu guna mengoreksi praktik-praktik kapitalis yang over dosis ini sembari mempersiapkan regulasi global yang lebih pro rakyat untuk diberlakukan pada pasar (uang dan saham).
Harus ada koreksi global terhadap kapitalisme dan liberalisme, sehingga ada harmoni antara pertumbuhan ekonomi dengan distribusi pendapatan.
Semoga tidak ada revolusi dunia untuk memastikan koreksi global ini, kecuali apabila para pihak yang sedang diprotes terus melanggengkan keserakahannya sambil berbimbing tangan dengan para politisi dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan dan kasih sayang. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar