Featured Video

Senin, 17 Oktober 2011

PELANTUN TAKICUAH DI NAN TARANG, TAKICUAH DI JAKARTA


Butiran bening menetes dari mata sayu Bambang Saputra, 16 tahun, setelah tim reunifikasi dari Kementerian Sosial RI mempertemukannya kembali dengan sang ibu Murni, 46 tahun. Tak banyak kata yang keluar dari mulut teman duet Jhon Kinawa di album “Takicuah di Nan Tarang” ini.

“Mak, awak minta maaf alah manyu­sahkan Amak. Awak bajanji indak ka mau­lang­nyo. (Bu, saya minta maaf telah menyu­sahkan Ibu. Saya berjanji tidak akan mengu­langnya),” kata pria yang tak sempat mena­mat­kan pendidikan di Sekolah Dasar (SD) ini.
Hanya kata-kata itu yang selalu terdengar dari mulutnya. Sang Amak yang juga didera rindu, kini plong setelah si bungsu kembali, hanya mengusap kepala anak kesayangannya dengan mata yang juga meneteskan bulir-bulir bening.
Bambang memang pantas mena­ngis bahagia, sebab keinginannya untuk bekerja di Pulau Jawa, justru membuat keluarganya susah. Sebab sejak berangkat pada 27 September lalu bersama Bandi, Bambang justru menjadi gelandangan di tanah Jawa.
Tak sekadar menggelandang, badan kurusnya pun “dipaksa nasib” untuk tidak memakan nasi selama menyusuri jalanan di Kota Jakarta. Dengan pikiran kalut dan tak memiliki bekal sama sekali, Bam­bang yang baru sekali itu ke Jakarta terus berjalan.
“Saat ada masjid, saya berhenti untuk minum air keran. Setelah itu saya kembali berjalan tak tentu arah mencari seseorang yang mungkin kenal atau mengenal saya,” katanya dengan mulut bergetar.
Perjalanan juara festival lagu Minang tingkat remaja tahun 2011 ini memang tak seindah yang diba­yangkannya. Karena begitu menyam­paikan niat bekerja di Pulau Jawa kepada sang ibu, Bambang bersama temannya Bandi pun naik bus yang akan mengantarnya ke tanah impian.
Namun sesampai di Bangko, ada teman lainnya yang menunggu yaitu Doni. Namun Doni tidaklah sebaik Bandi, karena seluruh bekal Bam­bang dibawanya ke Jakarta tanpa diketa­huinya.
“Doni hanya meninggalkan sepucuk surat kalau barang saya terbawa dan dia suruh menyusul ke Jawa,” ulas Bambang.
Akhirnya bersama Bandi, Bam­bang Saputra pun berangkat ke ujung Sumatera yaitu Lampung dengan menumpang pada seorang sopir bus yang telah dikenalnya. Di Lampung, Bambang dan Bandi kembali berte­mu Doni.
Mereka bertiga pun berangkat ke Jakarta dengan menaiki kapal ferry di Pelabuhan Bakauheni. Selanjutnya dari Pelabuhan Merak, tiga sekawan ini naik kereta api menuju Tanah Abang.
“Sesampai di Tanah Abang, kami memutuskan tidur di sebuah masjid yang berada tak jauh dari stasiun. Di situlah masalah itu datang. Dimana saat saya dan Bandi terba­ngun, Doni telah raib sambil mem­bawa seluruh bekal saya yang terdiri dari uang, HP, pakaian dan dompet,” tutur Bambang pula.
Karena masih bersama Bandi, kepanikan Bambang pun tak terlalu besar. Sebab Bandi berjanji akan mencarikan pekerjaan untuk Bam­bang di Kota Bekasi.
Namun rencana tinggal rencana, karena belum terbiasa dengan hidup yang serba cepat, Bambang tak bisa naik bus tujuan Bekasi yang telah lebih dulu dinaiki Bandi karena bus telah melaju dengan kencang. Bam­bang hanya bisa melihat kepergian Bandi bersama bus kota tujuan Bekasi dengan mata nanar.
“Karena tak punya uang, tak punya saudara dan tak punya tujuan, akhirnya saya berjalan menyusuri jalan besar yang saya sendiri tak tahu berujung di mana. Capek berjalan, saya langsung menghentikan sebuah bus yang saya sendiri sudah tak tahu tujuannya ke mana. Akan tetapi kenekatan saya berujung bencana, karena saat kondektur mengutip ongkos saya tidak bisa membayar. Kondektur bus dengan kasar men­dorong saya ke luar bus di jalanan ramai yang belakangan saya tahu itu jalan tol,” ungkapnya dengan polos.
Akhirnya pria yang berasal dari Jorong Sungai Sariak, Nagari Muaro Takuang, Kecamatan Kamang Baru, Kabupaten Sijunjung ini hanya bisa berjalan tak tahu arah. Bambang sendiri tidak tahu persis di mana dia diturunkan paksa kondektur bus. Yang Dia tahu, hanya sakit di sekujur tubuh.
Untunglah di tengah derita yang dialaminya, Bambang yang mengaku sempat duet dengan penyanyi Jhon Kinawa di album “Takicuah di Nan Tarang” diselamatkan oleh tangan Haris, seorang anggota RAPI yang kebetulan melintas di sana.
“Pak Haris lah yang kemudian mengantar saya ke RSPA Bambu Apus,” kata Bambang pula.
Sekarang Bambang memang telah pulang ke rumah, namun derita yang dialaminya tak bisa dilupakannya begitu saja. Jakarta bagi pria belasan tahun ini ternyata sangat kejam dan hanya menyisakan kesengsaraan.
Malah di akhir percakapan dengan Haluan, sambil tertawa lepas, Bambang Saputra mengatakan, “Samo nasib awak jo lagu nan awak nyanyikan, Takicuah di Nan Tarang. (Sama nasib saya dengan lagu yang saya nyanyikan, tertipu di tempat terang).” (Laporan Gustedria Chaniago)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar