Featured Video

Senin, 03 Oktober 2011

TELANJANG DI ANTARA DUA NILAI


Tiba-tiba saja Sumatera Barat digemparkan berita penari telanjang setelah petugas Satpol PP Kota Padang menangkap dua wanita pribumi lokal tak beraurat menari-nari di depan lelaki pencandu sah­wat di Fellas Cafe di Jalan Hayam Wuruk Pa­dang Se­nin 26 September 2011 ma­lam. Orang awak pun merasa ditelanjangi.

Maka, tumpahlah segala sumpah serapah dan kutuk mengutuk, anjur menganjur razia dari berbagai instansi termasuk DPRD dan elemen masyarakat hingga tawaran hadiah dari Walikota Padang bagi yang menemukan praktek-praktek bugil ria itu. Perempuan betelanjang itu sungguh membuat hiruk pikuk.
Padahal tiga malam kemudian, Kamis tengah malam 29 September 2011 Satpol PP Kota Solok bersama POM TNI dan Provost Polresta Solok juga menangkap delapan janda dan ibu rumah tangga sama-sama bertelanjang dengan tiga lelaki pekerja tambang dari Dharmasraya di Wisma Melati, Jalan Jenderal Sudirman Kota Solok. Kecuali seorang dari Lampung, tujuh wanita itu juga pribumi Sumatera Barat.
Masih September 2011, Sumatera Barat dihebohkan pula beredarnya vedeo mesum siswa SMA 8 Padang dan seorang siswa SMK. Siswi berusia 18 tahun itu Rabu 21 September lalu dikeluarkan dari sekolahnya dan siswa SMK itu diproses secara hukum oleh kepolisian.
Jika pada September 1965 Indo­nesia digemparkan peristiwa Gerak­an 30 Sepember (G 30 S) PKI yang menelanjangi para jendral, lalu, menyiksanya hingga tewas dan karena itu kita memperingati Hari Kesaktian Panca Sila tiap 1 Oktober, maka September tahun ini Sumatera Barat pun memperingati dua tahun peris­tiwa gempa dahsyat 30 September 2009. Hebatnya, menjelang peri­ngatan kedua hari bersejarah itu, di saat kita mengibarkan bendera setengah tiang, justru muncul keja­dian-kejadian yang lazim diprak­tekkan makhluk  pembelakang langit.
Saya dan banyak orang jadi cemas kalau  gempa dahsyat seperti 30 September 2009 berulang tahun pula. Sebab, malam sebelum gempa di Aceh 24 Desember 2004 konon ditandai adanya pertunjukkan tari bugil di Pantai Loksmawe. Na’uzullah minzalik. Yang menjadi pertanyaan pantaskah kita heboh dan gempar karena adanya tarian telanjang, pesta seks dan vedeo mesum siswa SMA itu? Jawabannya bisa ya, atau tidak.
Kita pantas digemparkan peris­tiwa itu karena bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan manusia, nilai moral, nilai adat dan agama yang kita anut sebagai bagian dari hak-hak komunal yang berharga dan mendapat tempat dalam masyarakat kita. Keyakinan kita mengatakan bahwa hanya dengan nilai-nilai adat dan agama itulah semua bentuk kejahatan dan perbuatan maksiat bisa diatasi. Dan kita  menjadi gerah karena peristiwa itu dianggap merusak nama baik etnis, daerah, kampung dan nagari penganut nilai-nilai adat dan agama tersebut.
Kita pantas merasa disakiti karena kita merasa lembaga informal dan formal yang berperan melakukan pengawasan, termasuk lembaga pendidikan, materi dan metoda pendidikan serta upaya-upaya ekstra yang dilakukan selama ini dianggap sudah dilaksanakan dengan benar dan mampu membentuk prilaku sesuai dengan nilai-nilai adat dan agama itu.
Kita juga merasa aturan formal dan informal yang ada selama ini sudah cukup kuat dan ketat mem­bendung segala bentuk kejehatan, perbuatan maksiat dan pembinaan prilaku masyarakat. Maka, kala muncul peristiwa-peristiwa seperti di atas kita mengarahkan ketelunjuk kepada pimpinan lembaga informal dan formal itu. Kita menyalahkan ninik mamak, ulama, guru, orang dan seterusnya. Kita pun menya­lahkan aparat keamanan, pejabat pemerintahan dan seterusnya karena kita juga memberlakukan UU No. 44 Tahun 2008 tentang pornografi, Perda Antimaksiat, Perda tentang baca tulis Alquran dan berpakaian muslim dan sebagainya.
Sebaliknya, kita juga tak pantas merasa dipermalukan. Soalnya, kita juga pendukung dan bahkan member­lakukan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang  Hak Asasi Manusia di mana setiap orang berhak mengekspresikan dirinya. Dan, urusan hubungan seks kemudian menjadi sangat pribadi, asal suka sama suka, buatlah seke­hendaknya. Maka kita pun secara membenarkan pekerja seks komer­sial, lokalisasi prostitusi, memberi izin tempat-tempat hiburan dan mendukung budaya malam minggu untuk semua umur dan lapisan.
Akibatnya, siapapun, termasuk orang tua dan apalagi ninik mamak dan ulama, yang mencoba mene­rapkan nilai-nilai dan hak-hak komunalnya yang boleh jadi meng­halangi prilaku yang ditolerir undang-undang tersebut akan dipersalahkan melanggar ketentuan tentang hak asasi, kekerasan dalam rumah tangga, perlindungan anak, persamaan gender dan sebagainya.
Sejauh ini belum ada yang bisa membangun keseimbangan: mene­gakkan hukum positif sembari menegakkan nilai-nilai adat dan agama itu karena memang ada di antara nilai-nilai yang dianut dan hukum positif yang diberlakukan bertentangan satu sama lainnya. Ketika dicoba dirumuskan lewat perda, maka muncul reaksi keras dari kalangan sekuler pendukung hak asasi manusi. Di antaranya menyebut diri Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Bahkan di antara Perda itu kemudian dibatalkan karena dianggap bertentangan dengan UU yang ada.
Maka, di tengah pergulatan dua nilai itulah kemudian muncul aksi-kasi massa di tengah masyarakat. Ada penggerebekan pasangan mesum, penggerebekan tempat judi dan tempat hiburan maksiat, kekerasan dalam rumah tangga dan sebagainya. Meski para pelaku dinilai anarkis dan dihadapkan ke pengadilan, tampaknya aksi masyarakat tak bisa dibendung. Di satu pihak masyarakat akan selalu berusaha memelihara eksistensi nilai-nilai moral dan nilai sosial sebagi hak-hak komunalnya di pihak lain aparat penegak hukum akan terus berusaha menegakkan hukum yang ada.  Dan, para pelaku seperti penari telanjang, pesta seks, vedeo porno dan segala bentuk penyakit masyarakat akan terus bermain diantara pergulatan dua nilai tersebut.
Jadi, selama belum ada sing­kroniasi antara nilai-nilai adat dan agama yang hidup dalam masyarakat dan UU yang berbau sekuler dan liberal dari luar bumi Indonesia ini, bangsa ini akan terus berada dalam kecamuk berkepanjangan. Dan, kita tak pernah berhenti dibikin gempar.

H. FACHRUL RASYID HF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar