Featured Video

Selasa, 22 Januari 2013

Mencoba “menunggang” Bentor di Kota Solok, Sumatera Barat



Veza, pelajar klas 5 SD Bekasi yang berwisata ke rumah neneknya di Batusangkar mencoba mengendari Bentor di depan pasar Solok. Tapi dia hanya acting saja untuk difoto.”Oiy, seru juga  ya,”  ujarnya sambil berpura pura memutar gas menambah kecepatan. (foto: Dok Suprihardjo)
  

SEBAGAI destinasi wisata kota Solok, Provinsi Sumatera Barat, yang masih banyak persawahannya kini dikenal juga sebagai kota bentor atau becak bermotor. Lihatlah di Pasar Solok, ada belasan bentor mangkal, mengusik turis lokal  untuk mencobanya. 

Bentor adalah modifikasi skuter Vespa dengan diberi seispan sebelah kirinya untuk penumpang. Catnya warna warni dan dilukisi dengan gambar maupun tulisan sesuai selera pemiliknya. 

Dari Solok, ke timur lagi kita bertemu dengan  Sawahlunto, sebuah kota yang  di sekitarnya terdiri dari persawahan dan perkebunan. Penduduknya banyak  juga yang  berasal dari pulau Jawa, yang dibawa oleh pemerintah Hindia Belanda pada  tahun 1905 untuk dipekerjakan di onderneming atau perkebunan. Sejak itulah  terjadi percampuran budaya antara Jawa dan Minang.

Kesenian wayang kulit pun ada di sana. Bahkan di Kecamatan Berangin, Kabupaten Sawahlunto terdapat sanggar kesenian Wayang Kulit Bina Laras dengan H.Sajiman sebagai pemilik dan ketuanya. Sanggar tersebut memiliki wayang kulit versi Sawahlunto tahun 1935 sebanyak 90 unit. Tiga unit wayang milik sanggar tersebut telah dihibahkan ke Museum Wayang Jakarta pada 19 Oktober 2010. Staf museum terebut Soleh menjemputnya sendiri ke Sawahlunto dari Jakarta. 

Sawahlunto juga memiliki Museum Kereta Api lengkap dengan rel dan stasiunnya, banyak peron dan emplasemen untuk beberapa jalur atau spur.  Kereta api ini dahulunya dioperasikan untuk mengangkut batu bara dari tambang di Sungai Ombilin. Karena itu gerbong-gerbongnya hanya gerbong barang dan bak terbuka. 

Jalur KA di Sumatera Barat terangkai dari Muaro-Sawahlunto-Solok-Singkarak-Sulitair, Padangpanjang, Bukittinggi sampai ke Payakumbuh. Sedangkan di Padangpanjang ada cabang ke kiri menuju kota Padang. Sedangkan Batusangkar tidak dilalui jalur KA.

Tetapi bila dari Payakumbuh atau Bukittinggi mau ke Batusangkar melewati daerah Baso. Di sinilah berdiri Istana Baso Pagarruyung yang kini sudah selesai direnovasi karena habis terbakar untuk kesekian kalinya.    
Batu Basurek dan Angkek-angkek
  
Dari Batusangkar banyak tempat bersejarah yang dapat dicapai. Pertama Batu Basurek I sekitar 1 km dari Limo Kaum, tempat para wisatawan dari Jakarta ini menginap. Kedua Batu Basurek II sekitar 3 km ke utara lagi.   Batu Basurek artinya batu bertulis dengan huruf Palawa dan bahasa Sanskerta  peninggalan raja Adityawarman.  Sedangkan ke utara lagi sekitar 9 km terdapat destinasi wisata lokal yang menarik yaitu Batu Angkek-angkek. 

Batu ini berbentuk mirip kura-kura dan cukup aneh. Karena tidak semua orang dapat mengangkatnya . Banyak wisatawan yang mencoba mengangkat batu tersebut dengan didahului niat apakah nanti akan kesampaian apa tidak tergantung apakah dia berhasil mengangkat batu tersebut atau tidak.  Hampir sama dengan kepercayaan di Candi Borobudur, siapa yang dapat menggapai patung Budha di dalam stupa yang paling tinggi, maka maksudnya akan kesampaian. 


Teringat roman “Siti Nurbaya”
KALAU sudah sampai di Baso, hanya belasan kilometer lagi ke Bukittinggi, kota pelajar di Sumatra Barat. Kota ini terkenal dengan Jam Gadangnya, benteng Fort de Kock, Gua Jepang dan Ngarai Si Anok. Udaranya cukup dingin. 

Di kota tersebut terutama di pasarnya banyak dijual oleh-oleh dari Sumatera Barat, baik souvenir maupun penganan yang khas tanah Minang, seperti kripik sanjai, atau kripik balado. 

Berdiri di depan benteng de Kock yang dibangun oleh Belanda pada saat Perang Padri abad  ke 19,  kita teringat buku cerita roman sejarah “Siti Nurbaya” karangan Marah Rusli. Yang pada zaman dulu merupakan buku wajib untuk pelajaran kesusastraan Indonesia bagi siswa siswa SMA.(aliem)*

sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar