Featured Video

Jumat, 25 November 2011

MAHASISWA TERUS GELAR MIMBAR BEBAS-SEBELUM PERATURAN REKTOR UNAND DICABUT


PADANG,Pimpinan Universitas Andalas (Unand) akhirnya menemui mahasiswa untuk menjelaskan peraturan rektor Juli 2011 yang kontroversi itu. Namun belum ada jalan keluar. Mahasiswa tetap akan berunjuk rasa.
Dalam beberapa hari belakangan, peraturan tersebut ditolak mahasiswa dengan cara menggelar mimbar bebas di kampus. Peraturan itu sangat terkesan mengekang aktivitas mahasiswa.

Mahasiswa menggalang aksi lanjutan yang merupakan kum­pulan dari fakultas-fakultas di depan rektorat. Tujuannya sama dengan mimbar bebas sebelumnya, yaitu menolak peraturan yang telah dikeluarkan. Menurut kooor­dinator aksi Eldo, peraturan tersebut diterapkan tanpa sosia­lisasi.
“Kita kaget, tiba-tiba ada saja peraturan seperti ini yang kami nilai mengekang kreativitas maha­siswa,” ujar Eldo, saat berorasi dalam aksi unjuk rasa mimbar bebas di Rektorat Unand, Kamis (24/11).
Dua pimpinan yang menemui mahasiswa, yaitu Werry Darta Taifur, rektor terpilih periode 2011-2015 yang baru saja dilantik di Jakarta Senin (21/11) lalu dan Febrin Anas, Plt. Rektor Unand menggantikan Musliar Kasim yang menjadi Wakil Mentri Pendidikan Nasional.
Werry sendiri enggan berko­mentar soal peraturan tersebut. Ia hanya menemui mahasiswa dalam jangka waktu yang relatif pendek. Sementara Febrin Anas menje­laskan, peraturan itu dibuat bukan tanpa pertimbangan.
“Dalam membuat aturan kita punya mekanisme,” ujarnya.
Disebutkan, mekanismenya panitia disiapkan menggali semua kemungkinan kegiatan-kegiatan di kampus.
Setelah itu dirumuskan dan dibuat draf. Draf dibahas di tingkat pimpinan dan dibawa ke rapat senat. Tujuannya mem­bentuk disiplin mahasiswa.
“Seperti disiplin ala tentara,” katanya.
Ketika ditanya karakterisitik mahasiswa berbeda, misalnya di Fakultas Ilmu Budaya, yang identik dengan kepenulisan dan seninya, Febrin  menilai, peraturan dibuat secara general, berlaku untuk semua.
“Jika 23 ribu mahasiswa dibuat aturan berbeda-beda, ya, tidak mungkin,” katanya.
Harmonisasi kampus tidak akan tercapai dengan cara demikian. Lebih jauh disebutkan, peraturan tersebut bisa diubah hanya dari rapat senat.
Poin-poin yang terdapat dalam peraturan dinilai bertentangan de­ngan kebebasan berdemokrasi oleh mahasiswa. Dari 16 poin, poin-poin yang ditolak yaitu 1, 7, 9, 11, 12, 14, 15, dan 16. Yang paling ber­ma­salah, katanya, yaitu di poin 12.
Poin itu berisi, “Mahasiswa dilarang melakukan unjuk rasa atau demonstrasi serta menge­luarkan pendapat di depan umum di dalam kampus untuk menge­luarkan pikiran dengan lisan atau tulisan tanpa pemberitahuan secara tertulis ke universitas, fakultas, jurusan dan atau bagian terlebih dahulu.”
Seperti Militer
Menurut Febrin, penye­raga­man peraturan ala ‘militer’ tersebut dengan tujuan membentuk disiplin. Disiplin bagian dari pembentukan karakter.
“Yang ingin saya sampaikan, setiap institusi ada aturan main. Gunanya untuk membina anggota­nya. Kita ini banyak. Peraturan pasti sudah dipikirkan matang-matang,” katanya.
Peraturan ketat ala militer, menurut mahasiswa yang tak mau ditulis namanya, memang telah terlihat belakangan ini. Ia menyebut contoh, mahasiswa yang mengikuti demo tidak dikeluarkan beasis­wanya, terutama penerima beasiswa Bidik Misi.
Lalu, katanya, ada mahasiswa karena memakai celana robek dipanggil orang tuanya. “Kita seperti berada di taman kanak-kanak,” katanya. Kita juga menda­pat kabar, mahasiswa yang ikut demo juga tidak peroleh beasis­wa.”
Menurutnya, pengekangan aturan tersebut dapat menghambar kreativitas mahasiswa. “Kampus berfungsi untuk membentuk kebebasan berpikir. Eh, malah di sini (Unand—red) kebebasan berpendapat dilarang,” katanya.
Soal kebebasan berpendapat tersebut, alumni Unand juga menyampaikan kritiknya kepada Unand.
Mantan Ketua Senat Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unand 1995-1996 Eka Vidya Putra berasumsi, peraturan itu dibuat karena ada kekhawatiran terhadap mahasiswa-mahasiswa yang tidak terkendali (dapat dikendalikan).
“Saya tidak mengerti spritnya. Jika untuk menjaga ketertiban, saya pikir itu mengecilkan arti mahasiswa,” tegasnya. Eka bera­nalisis, dalam lima tahun terakhir, malah tak ada demontrasi yang dilakukan di kampus. Tapi, mahasiswa banyak yang berde­monstrasi di luar.
Mantan Presiden Mahasiswa 1998-1999 Husni Kamil Malik menyebutkan, kampus memang memiliki kewenangan dalam membuat aturan, tapi tidak me­lang­gar atau bertentangan dari aturan negara. “Bila itu terjadi, ia batal menurut hukum,” ujarnya.
Tiap Hari Mimbar Bebas
Eldo menyebutkan, selama peraturan rektor belum dicabut, mahasiswa akan menggelar bebas setiap hari di pelbagai jurusan. “Hari Sabtu, mimbar bebas akan dilaksanakan di Fisip,” katanya. Di hari berikutnya, mimbar bebas dipindahkan ke fakultas lain.
Koordinator Mimbar Bebas pada Selasa (22/11) Munizar Siagian menyebutkan, tujuan mimbar bebas sebagai  bentuk perlawanan terkait peraturan. Mimbar dalam artian semua orang memiliki hak untuk mengeluarkan pendapatnya.
Dalam mimbar bebas, katanya, semua orang bisa dan berhak berpendapat. “Ini negara demok­rasi,” tegasnya. Ia menyangkan sikap pimpinan Unand yang tak peka terhadap tuntutan demokrasi tersebut.
Lebih jauh disebutkan, aksi mimbar bebas telah mendapat dukungan dari mahasiswa di pelbagai jurusan. Aksi ini, katanya, akan semakin meluas bila tuntu­tan mereka tak ditanggapi. (h/adk)haluan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar