Featured Video

Sabtu, 05 November 2011

MAKNA SIMBOLIS HARI RAYA KURBAN


Tak lama lagi, umat Islam di seluruh dunia bakal merayakan Hari Raya Idul Adha. Beberapa masa ini kita didera oleh pelbagai musibah yang menghantam bumi pertiwi; tsunami di Aceh, letusan Gunung Merapi di Yogyakarta, dan banjir di Wasior, Papua.

Karenya, Hari Raya Kurban saat ini seyogianya menjadi momen yang tepat bagi segenap anak bangsa untuk refleksi diri guna melakukan langkah-langkah konstruktif dalam rehabilitasi fisik, sosial dan batin memaknai musibah dan cobaan yang tak kunjung meng­hampiri Ibu Pertiwi ini. Hal ini bisa diinisiatifi dengan memaknai kembali pesan-pesan simbolis yang terkandung pada Hari Raya Kurban.
Pada Hari Raya Kurban, umat Islam dianjurkan mem­perbanyak bacaan takbir, tahmid, tasbih dan tahlil. Gema ini bukan semata-mata untuk bersuka ria dan berpesta pora, tetapi merupakan refleksi ketakjuban seorang hamba akan kemahakuasaan Allah swt, kekaguman atas kehebatan-Nya, dan penyerahan diri secara total akan ke­maha­kuasaan-Nya. Mereka yang mampu menyembelih hewan kurban, disertai dengan me­renungi diri masing-masing (muhasabah bin nafsihi), sudah sejauh mana kita konsekuen dan konsisten dalam pelak­sanaan seruan ilahi.
Kurban adalah bentuk ibadah yang dilakukan dengan cara menyembelih hewan. Tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Menurut penelitian para antropolog, selain dalam ajaran Islam, dalam masyarakat tertentu juga dijumpai tradisi berkurban dengan menyembelih hewan. Sejak zaman paleolithic, dalam masyarakat primitif di Asia dan Afrika, bahkan masyarakat maju Jepang pun telah dijumpai praktik berkurban hewan. Dalam masyarakat Yunani kuno juga dikenal istilah Hierieia (ouranic god) dan Shagia (othonic god) yang merupakan persembahan hewan kurban. Di kalangan umat Hindu dikenal juga kurban hewan yang pelaksanaannya diawasi oleh kaum Brahmana.
Tujuan kurban yang di­laku­kan oleh masyarakat tersebut sangat beragam. Ada yang meyakininya sebagai bentuk suguhan (bribe) atau per­sembahan (offerings) kepada Tuhan agar Tuhan tidak marah dan murka. Ada juga yang meyakini sebagai tambahan kekuatan yang diperuntukkan bagi dewa dan dirinya.
Pada hemat saya, Hari Raya Kurban meniscayakan sebentuk kearifan simbolis karena salah satu kekuatan Idul Kurban berada pada fungsi legitimasi simbolisnya. Ibadah kurban, seperti halnya ibadah haji, bersifat simbolik. Di dalamnya, terkandung beberapa makna spiritual yang amat dalam.
Pertama, sebagai ungkapan syukur kepada Allah swt. Kewajiban pelaksanaan ibadah kurban tidak lain dimaksudkan sebagai ungkapan syukur ter­hadap pelbagai nikmat yang telah diberikan kepada hamba-Nya yang beriman dan berislam (QS. Al Kautsar: 1-3). Abdullah Yusuf Ali, seorang otoritas terkemuka dalam ilmu tafsir, menyatakan bahwa sebagai ungkapan syukur maka bacaan takbir ketika menyembelih hewan kurban itu justru lebih penting daripada penyem­belihan kurban itu sendiri (The Holy Qur’an: Translation and Commentary, No. 2810).
Kedua, sebagai suguhan cinta kasih dan simpati kepada kaum lemah. Ibadah kurban dalam Islam tidak sama dengan dengan upacara persembahan dalam agama-agama lain. He­wan kurban tidak dibuang dia altar pemujaan  dan tidak pula dihanyutkan di air sungai. Daging kurban itu justru untuk dinikmati oleh pelaku kurban itu sendiri dan orang-orang miskin di sekitarnya (QS al-Hajj: 28). Hanya saja, komit­men sosial terhadap kaum fakir miskin ini seyogianya tidak berlangsung di hari Idul Adha, tapi dimanifestasikan dalam wujud kepedulian dan pem­berian terhadap kaum lemah secara tulus.
Namun demikian, ke­butu­han fakir miskin tidak hanya sekarat daging yang bersifat santunan (karitatif). Apalagi ibadah kurban itu sendiri adalah bentuk ‘pengurbanan’ yang dilakukan sesaat dan cenderung seremonial. Amat sedikit di negara kita gerakan maksimal orang-orang kaya yang bersedia mengorbankan harta untuk kepentingan pen­didikan bagi anak-anak ter­lantar dan tidak mampu. Tidak sedikit di antara mereka yang berotak jenius dan brilian terpaksa harus menyandang gelar drop out lantaran ke­tiadaan biaya. Jauh lebih penting, bukan sekadar daging yang mereka butuhkan, tetapi kepedulian, perhatian dan motivasi yang mereka harapkan untuk membangun masa depan yang lebih berarti.
Sikap simpati terhadap kaum lemah ini berperan meneguhkan wujud kesalehan sosial yang memang sangat dibutuhkan pada hari ini. Kesalehan sosial ini pada gilirannya bakal mengin­ter­nalisasikan format teologi transformatif, di mana ke­benaran agama terletak pada komitmennya pada solidaritas kemanusiaan dan emansipasi sosial yang dianut oleh pe­meluknya.
Lewat segenap hi­­dup­­nya, Nabi saw telah menunjukkan bahwa panggilan sebagai nabi dan rasul tidak sekadar kultus dan ritual. Beliau mengajarkan bahwa risalah kenabian yang se­benarnya adalah panggilan keberpihakan dan aksi advokasi kepada manusia yang di­pinggir­kan oleh sistem yang menindas, mengisap, mem­butakan dan menulikan masyarakat.
Dr Ahmad Zaki Yamani dalam Al-Asysyari’ah al-Khali­dah wa Musykilah al-‘As­hr menjelaskan bahwa nyaris semua ibadah dalam Islam tidak dapat dilepaskan dari efek sosialnya. Sementara Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam Hadyu al-Islam Fatawi Mu’as­hi­rah mem­­bolehkan bagi yang me­ninggal berkurban dengan nilai uang, apabila masyarakat bersangkutan tidak lagi mem­butuhkan daging.
Namun, kendala penguatan efek sosial ibadah kurban tersebut sangat kompleks dan beragam. Ia tidak hanya butuh pemahaman yang benar tapi juga keberanian untuk me­nentang arus serta kekuatan untuk meluruskannya. Tidak berlebihan dikatakan kiranya bahwa semakin tinggi ke­dudu­kan politik dan kemapanan ekonomi seseorang merupakan indikasi semakin kokohnya keimanan seseorang jika ke­lebihan itu dimanfaatkan untuk memperkuat tali horisontal kemanusiaan. Beragama yang hanya dengan niat dan hati, tanpa kekuatan dan kemam­puan untuk meluruskannya, sesungguhnya dikategorikan selemah-lemahnya iman!
Ketiga, sebagai simbol dari kesediaan kita untuk melawan dan mengenyahkan segala sesuatu yang akan menjauhkan diri kita dari jalan Allah swt, bisa dalam wujud harta, tahta ataupun hal-hal lainnya yang amat kita cintai dan kerap membuat kita tak sanggup berkata benar. Maka, kurban merefleksikan kemerdekaan kita melawan nafsu kita sendiri. Kemerdekaan ini fungsional mengantarkan kita pada ke­sadaran tauhid dalam men­jalani ujian yang amat berat.
Keteladanan Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Allah swt untuk menyembelih putra tercinta Nabi Ismail mengajar­kan bahwa keberhasilan untuk mencapai puncak keinsafan tauhid berkorelasi linear dengan kesanggupan seseorang dalam menundukkan kekuatan rasio­nal dan membebaskan diri dari tipuan pengalaman-pengalaman indrawi, baik dalam kapasitas­nya sebagai ayah yang harus menyayangi putranya maupun selaku suami yang baru saja menyambut kehadiran Ismail sebagai hadiah terbesar dari istrinya.
Kehidupan modern yang sarat dengan dominasi kekuatan rasional-ilmiah dan kedig­dayaan empirik-teknologis seringkali melenakan kita bahwa kemampuan akal itu terbatas dan bahwa kekuatan indrawi itu sewaktu-waktu dapat menipu kita untuk men­capai kebenaran. Pengalaman agama pada kehidupan sehari-hari memperlihatkan bahwa gangguan dua kekuatan itu dirasakan lebih berat melebihi gangguan setan. Keduanya datang dari dalam diri kita sendiri. Kita lupa bahwa akal dan pengalaman empirik yang benar adalah akal dan penga­laman empirik yang beroleh bimbingan ilahi.
Dalam masyarakat, kita menobatkan seseorang menjadi pahlawan karena ada begitu banyak hal yang ia berikan kepada masyarakat. Takdir seorang pahlawan menyebutkan bahwa ia tidak pernah berpikir dan hidup dalam lingkup dirinya sendiri.
Ia telah melam­paui batas-batas kebutuhan bilogis dan psikologisnya. Batas-batas kebutuhan itu telah hilang bahkan lebur dalam kebutuhan kolektif masyarakatnya di mana segenap pikiran dan jiwanya tercurahkan. Di sinilah pengor­banan menemukan ruang ar­tiku­lasinya, mendapatkan medium pembiakan yang fertil dan produktif. Sayyid Quthb mengatakan, “Orang yang hidup bagi dirinya sendiri akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Tetapi, orang yang hidup sebagai orang lain akan hidup sebagai orang besar dan mati selaku orang besar.”
Semoga pemaknaan sim­bolis Hari Raya Kurban ini makin memperkokoh bangu­nan solidaritas dan komitmen kita yang tidak sekadar diretori­kakan, tetapi betul-betul di­laksanakan guna mendapatkan pertlongan Allah swt dalam melewati masa-masa sulit pascamusibah. Amin.

DONNY SYOFYAN
(Dosen Universitas Andalas, Padang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar