Featured Video

Jumat, 07 Oktober 2011

MENGGAGAS SEKOLAH BERKARAKTER QURANI


Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal turut bertanggung jawab dalam pembentukan karakter (character building) generasi bangsa. Pentingnya pendidikan karakter juga terlihat jelas dalam tujuan pendidikan nasional dimana indicator utamanya adalah mewujudkan manusia yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia (pasal 3 UU No. 20 Thn 2003 tentang Sisdiknas).

Namun, selama ini oritentasi pen­didikan kita lebih ber­orientasi pada aspek kognitif semata. Sekolah dianggap ber­hasil dan favorit bilamana sekolah tersebut menghasilkan lulusan yang memperoleh angka/nilai tinggi, khususnya hasil akhir ujian nasional. Sekolah pun me­nyibukkan dirinya dengan ber­bagai program “Sukses UN”, mulai dari tambahan jam pelaja­ran, kerjasama dengan lembaga kursus/Bimbel, dan masih banyak lagi yang lainya.
Akibat dari kecenderungan tersebut, akhlak peserta didik kurang diperhatikan. Berbagai kasus perilaku amoral; seperti tawuran, pergaulan bebas, curang dalam ujian, praktik kekerasan, dan sebagainya masih sering terdengar dalam lembaga pen­didi­kan kita. Lalu bagaimana potret generasi bangsa ini untuk 10 hingga 20 tahun ke depan sebagai hasil dari proses pen­didikan saat ini?
Sadar akan fenomena itu, pemerintah telah mencanangkan pendidikan budaya karakter bangsa (PBKB) yang mengingin­kan terbentuknya karakter bangsa Indonesia yang dulunya selalu menjadi kebanggaan: ramah tamah, sopan santun, gotong royong, dan sebagainya, yang kini nyaris hilang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, formulasi pendidikan karaktar yang ditawarkan masih membutuhkan kajian yang mendalam, terutama relevansi­nya dengan karakter daerah masing-masing.
Dalam perspektif Islam, hakikat pendidikan karakter adalah pendidikan ruhaniyah atau pendidikan akhlak. Rujukan utama akhlak tersebut adalah Alquran. Hal ini bisa dipahami dari pertanyaan sahabat yang pernah diajukan kepada Siti A’isyah tentang akhlak Nabi Muhammad SAW, maka A’isyah radhiyallahu ‘anha menjawab: kana khuluquhu Alquran, akh­lak­nya adalah Alquran (HR. Abu Dawud dan Muslim).
Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal, seperti pesantren, madrasah, atau sekolah umum yang terdapat di dalamnya—apalagi mayoritas—siswa beragam Islam, seyogyanya merumuskan konsep sekolah berkarakter Qur’ani. Sebab secara teologis, mustahil seorang muslim yang menga­baikan Alquran memiliki karakter atau akhlakul karimah sebagaimana yang diinginkan dalam ajaran Islam itu sendiri.
Sekolah berkarakter Qur’­ani adalah upaya sekolah untuk menanamkan nilai-nilai Al­quran dalam diri setiap warga sekolah melalui berbagai kegia­tan baik dalam proses pem­belaja­ran intrakurikuler, ekstra­kurikuler, maupun penciptaan suasana lingkungan sekolah sehingga Alquran menjadi sikap batin (believe system) serta menjadi landasan dalam ber­sikap dan bertingkah laku. Untuk itu, sekolah mesti merumuskan kegiatan-kegiatan yang bersifat penanaman nilai-nilai Alquran tersebut.
Dalam kegiatan intrakuri­ku­ler, misalnya, se­kolah dapat melakukan integrasi ayat-ayat Alquran ke dalam materi ajar, khususnya pada mata pelajaran umum. Pada tahun 1990-an, program ini pernah diterapkan dengan kegiatan Integrasi Imtak-Iptek. Namun, pada pertengahan tahun 2000, kegia­tan tersebut mulai ditinggalkan.
Salah satu penyebab gagal­nya kegiatan ini adalah guru menganggapnya sebagai beban, menambah pekerjaan baru, sebab sebelumnya mereka memang tidak dipersiapkan sejak awal—termasuk ketika mahasiswa—menjadi guru yang peduli dan bertanggung­jawab terhadap penanaman nilai-nilai Alquran. Tidak jarang terjadi, persoalan Alquran dianggap tugas dan tanggung­jawab guru agama (PAI) se­mata.
Dalam hal ini, perubahan paradigma guru mata pelajaran umum yang beragama Islam mesti berubah. Penanaman nilai-nilai dan ajaran Alquran bukan tugas guru agama se­mata, tetapi tanggungjawab bersama setiap umat Islam. Sebab, Alquran tidak saja berbicara tentang urusan akhi­rat dan ibadah mahdhah saja yang merupakan tanggung­jawab utama guru agama. Tetapi Alquran juga berbicara tentang urusan duniawi, bahkan meng­an­dung isyarat-isyarat ilmiah untuk seluruh bidang dan jenis keilmuan.
Tegasnya setiap materi dalam mata pelajaran tertentu mengandung pesan-pesan ilahi­yah berdasarkan kalam Allah dalam Alquran. Karena itu, guru yang beragama Islam turut bertanggungjawab mena­nam­kan nilai-nilai dan ajaran Alquran tersebut kepada peser­ta didiknya.
Selain integrarasi ayat-ayat Alquran pada materi pe­lajaran, setiap guru muslim hendaklah membuka pelajaran (dalam kegiatan pendahuluan) dengan membaca surat-surat pendek secara bersama-sama.
Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan ini, di antaranya siswa akan tenang memulai pembelajaran, hati dan pikiran siswa akan lebih tenang, materi pelajaran yang akan diberikan diharapkan mem­peroleh keberkahan dari Allah, dan siswa dapat me­nghafal ayat-ayat Alquran yang dibaca secara bersama-sama tersebut. Untuk memperoleh manfaat menghafal ayat ter­sebut, perlu disusun secara terjadwal surat-surat pendek, khususnya juz ‘Amma, yang akan dibaca dalam kegiatan pendahuluan setiap mata pelajaran.
Kegiatan menghafal ini sangat dibutuhkan. Sebab, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya orang yang di dalam dadanya (hatinya) tidak ada bacaan Al-Qur‘an (yakni tidak memiliki hafalannya) ibarat sebuah rumah yang hendak roboh. (HR. At-Tirmi­dzi, dan lainya).
Pada kegiatan ekstrakuri­kuler, mesti dikembangkan kegaitan-kegiatan yang relevan dengan nilai-nilai Alquran. Kegiatan-kegiatan yang berten­tangan, seperti kegiatan yang memperlihatkan aurat, pelak­sanaan kegiatan yang me­ngabai­­kan waktu shalat, dan sebagai­nya mestilah diting­galkan.
Sebaliknya, kegiatan-kegitan yang langsung bersen­tuhan dengan Alquran mesti menjadi prioritas. Misalnya, Tahsin Qur’an (memperbaiki bacaan sehingga bacaan Alqurannya fashahah sesuai dengan ilmu tajwid), Tilawah Alquran (seni baca Alquran), Tahfizh Al­quran (menghafal ayat-ayat Alquran), Seni Kaligrafi (seni menulis ayat-ayat Alquran), Muhadharah (pidato yang menjelaskan makna ayat-ayat Alquran), Mading Qur’ani (majalah dinding dengan me­nam­pil­­­kan karya tulis siswa yang memuat ayat-ayat atau pesan-pesan Alquran),  dan lainnya.
Setiap sekolah, seharusnya memilih dan menentukan salah satu kegiatan di atas sebagai kegiatan ekstrakurikuler unggu­lan. Dengan begitu, diharapkan siswa merasakan keagungan Alquran di sekolahnya sehingga terjadi proses penenaman rasa cinta terhadap Alquran.
Sedangkan penanaman ni­lai-nilai dan ajaran Alquran pada budaya sekolah harus dirumuskan dalam bentuk beberapa aturan sehingga terjadi proses pembiasaan dan pem­budayaan. Seperti tadarus di awal pembelajaran, mem­bu­daya­kan ucapan salam, me­nge­depankan keteladanan, malu melanggar peraturan, menjalin interaksi dengan kasih sayang, menjaga kebersihan dan se­bagainya. Dalam hal ini, pem­berian reward (peng­har­ga­an) lebih dikedepankan dari pada punishment (hukum­an).
Selain itu, penciptaan suasa­na sekolah yang berkarak­ter Qur’ani juga dapat dilakukan dengan pembinaan shalat dhuha dan shalat zhuhur berjamaah. Sekolah mesti menyediakan waktu untuk melaksanakan shalat ini. Shalat dhuha, misal­nya, butuh waktu sekitar 10 hingga 20 menit. Karena itu jadwal istirahat perlu diper­panjang. Demikian pula waktu shalat zhuhur berjamaah.
Dalam hal ini, sekolah juga dituntut untuk menyediakan fasilitas, terutama tempat bersuci/wudhu’ yang memadai serta tempat shalat (mushalla, aula terbuka atau ruang kelas yang dapat dijadikan sebagai tempat shalat). Sesudah shalat zhuhur berjamaah juga bisa dilakukan kultum (kuliah tujuh menit) dengan menjelaskan makna ayat-ayat Alquran baik oleh siswa atau guru secara terjadwal.
Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah suatu kaum ber­kumpul di salah satu rumah Allah Azza wa Jalla untuk membaca Kitabullah (Alquran) dan mereka saling mem­pelajari­nya kecuali sakinah (ketenang­an) akan turun kepada mereka, majlis mereka penuh dengan rahmat dan para malaikat akan mengelilingi (majlis) mereka serta Allah akan menyebutkan mereka (orang yang ada dalam majlis tersebut) di hadapan para malaikat yang di sisi-Nya (HR. Muslim).
Demikian pula kegiatan di rumah, sekolah dapat melaku­kan pemantauan ter­hadap kegiatan siswa dalam mem­baca al-Qur’a dan shalat berjamaah melalui buku kon­trol ibadah (shalat fardhu berjamaah, shalat sunnah, dan membaca Al­quran) yang di­tan­­da tangani oleh orang tua. Orang tua diharapkan pula dapat ber­partisipasi dalam program ini.
Hal ini penting. Selama ini, ada semacam mata rantai yang terputus antara satu tingkat ke tingkat berikutnya. Ketika di tingkat SD/MI, diterapkan buku kontrol ibadah, tetapi di tingkat SMP/MTs, apalagi SMA/MA, buku kontrol ter­sebut tidak lagi diterapkan. Akhirnya, ada kecenderungan siswa di tingkat SD lebih terkontrol shalat dan bacaan Alquran-nya dari pada siswa SMP/MTs dan SMA/MA. Pa­dahal salah satu prinsip dalam proses pembelajaran adalah prinsip berkesinambungan dan konsistensi.
Masih banyak kegiatan-kegiatan kreatif lainnya yang dapat dilakukan oleh sekolah/madrasah dalam menanamkan nilai-nilai dan ajaran Alquran. Karena itu butuh komitmen pihak sekolah, khususnya kepala sekolah dan guru, di samping dukungan pemerintah daerah dan masyarakat untuk menerapkan sekolah ber­karakter Qurani.
Hakikat pendidikan akhlak/ruhani sesungguhnya butuh keteladanan dari guru. Karena itu, kunci keberhasilan dari sekolah berkarakter Qur’ani adalah guru dan kepala sekolah. Jika kepala sekolah memiliki program yang brilian, tetapi tidak mendapat dukungan dari guru, maka program tersebut tidak akan berjalan dengan baik, demikian pula sebaliknya.
Karena itu, kepala sekolah mesti memiliki visi tentang pentingnya karakter Qur’ani. Kepala sekolah dituntut untuk menekankan pada seluruh guru yang dipimpinnya agar men­jadikan Alquran sebagai pe­doman dan landasan dalam proses pendidikan di sekolah tersebut.
Demikian pula guru, mesti menjalankan perannya tidak saja sebagai pengajar, tetapi yang terpenting adalah sebagai pendidik. Jika siswa diminta untuk melaksanakan shalat berjamaah, maka guru mesti menunjukkan diri turut men­diri­kan shalat berjamaah. Jika siswa dituntut untuk mengucap salam jika bertemu, maka sesama guru pun mesti saling memberi salam. Apabila siswa diminta membaca ayat-ayat Alquran di rumah, guru juga diminta menyediakan waktu untuk membaca Alquran. Dengan begitu, guru menjadi model bagi siswanya dalam upaya menjadikan Alquran sebagai karakter pribadinya.
Ironis, jika lembaga pen­didikan tidak memberikan kesempatan bagi peserta didik muslim untuk me­mahami Alquran sekaligus menjadi acuan dalam mem­bentuk karak­ter­nya. Akibat­nya, me­reka akan menjadi manusia yang meng­akui Is­lam sebagai agamanya, tetapi karakternya tidak sesuai tuntunan Alq­uran. Kebera­daan mereka justru merusak nama baik Islam itu sendiri. Untuk itu, sikap keberga­maan kita harus ter­sentuh menyikapi persoalan ini. Wallahu a’lam.

MUHAMMAD KOSIM
(Mahasiswa S3 IAIN Imam Bonjol Padang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar