Pakar hukum pidana Yenti Garnasih mendesak pemerintah dan DPR menerapkan hukuman mati bagi koruptor, narkoba dan kejahatan lainnya yang mengancam, merugikan masyarakat dan perekonomian negara.
Hukuman mati itu positif dan tidak perlu takut dengan tudingan pelanggaran HAM. Sebab, di 50 negara Amerika Serikat saja, hanya 17 negara yang tak menerapkan hukuman mati. Timur Tengah, Malaysia, Singapura, Jepang dan banyak negara lain tetap menerapkan hukuman mati sesuai dengan aturan negaranya sendiri.
“Hukuman pidana mati itu yang tahu kita sendiri, bukan negara lain. Karena itu harus membuat aturan sendiri dengan melakukan konvensi-konvensi dengan aturan internasional. Khusus untuk koruptor, perlu peraturan perampasan aset hasil korupsi, agar berdampak jera. Kalau tidak, orang yang korupsi ratusan miliaran rupiah meski dihukum beberapa tahun, mereka tetap kaya setelah keluar dari penjara,” kata Yenti Garnasih.
Dia mengatakan hal tersebut dalam dialog Pilar Negara bertema ‘Masa Depan Pemberantasan Korupsi di Indonesia’ bersama Wakil Ketua MPR RI Hajrijanto Y Thohari dan anggota FPKB DPR A. Malik Haramain di Gedung Nusantara IV, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/10).
Dia mempertanyakan kenapa koruptor dari partai dan orang yang mendanai parpol sulit ditindak meski ada UU parpol, ternyata banyak koruptor dari parpol. “Kalau saja untuk meraih jabatan itu dananya dari korupsi, maka ketika berkuasa pasti akan sulit memberantas korupsi. Untuk itu banyak proses demokrasi dilakukan dengan kejahatan pencucian uang. Makanya, ke depan dana parpol itu harus melalui transfer bank, tidak boleh cash agar lalu lintas uang politik diketahui publik,” ujarnya.
Lebih memprihatinkan lagi lanjut Yenti, istilah praduga tak bersalah justru banyak disalahgunakan oleh pejabat politik untuk menyelamatkan diri dalam berpolitik. Meski sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK maupun pengadilan, tapi tetap saja mencalonkan diri sebagai pejabat publik, dan bahkan tetap dilantik. “Lalu, mana kepekaan pemerintah dan DPR terhadap pemberantasan korupsi, padahal rakyat menolak,” tambah Yenti.
Tak Boleh Gagal
Hajrijanto mempertanyakan kenapa sejauh ini tidak ada menteri, gubernur, bupati dan pejabat daerah yang lantang mengatakan anti korupsi. Seolah tak ada kemauan politik untuk bersih dari korupsi.
Bahkan, sekarang ini katanya, seperti kehilangan rasa malu meski telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi. “Jadi, pemberantasan korupsi itu selain UU juga perlu strategi budaya, mengingat UU nya sudah cukup,” tegas politisi Golkar ini.
Hajrijanto berharap semua pihak tetap optimis dan jangan sampai pesimis dalam memberantas korupsi ini di mana KPK sebagai taruhan terakhir bangsa ini untuk menyelamatkan dan membersihkan negara dari korupsi. “KPK tak boleh gagal, sebab kalau gagal berarti setback atau mundur secara mental dan seolah negara ini tak mampu melawan korupsi. Karena itu, MPR mendukung hukuman mati bagi koruptor,” tuturnya.
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar