SHUTTERSTOCK
Ilustrasi lebaran
TERKAIT:
JAKARTA, KOMPAS.com - Keputusan pemerintah melalui sidang Isbat, bahwa Lebaran jatuh pada Rabu (31/8/11), memberikan dampak bagi mereka yang salah perhitungan. Ade, pemilik warung di Setiabudi, Jakarta Selatan, misalnya. Dia harus membuang ketupatnya yang sudah basi karena awalnya mengira Lebaran jatuh pada Selasa (30/8/11).
"Mau diapain lagi ketupat segini banyak," kata Ade, sambil tersenyum getir. Di kedua tangannya ada beberapa ikat ketupat basi. Pemilik warung makan itu lantas mengeluarkan puluhan ikat ketupat dari dandang dan membuangnya ke tempat sampah.
"Kami sudah menyiapkan (ketupat) ratusan sejak Senin (29/8/11) sore. Kirain Lebarannya hari Selasa (30/8)," lanjutnya.
Ia menuturkan, sejak saat berbuka puasa pada Senin malam dirinya sudah dicemaskan dengan belum adanya informasi hasil sidang Isbat di Kementerian Agama. Bersama anak perempuannya, ia terus memonitor stasiun TV untuk bisa mendapatkan informasi tentang ketetapan resmi pemerintah.
Saat pengumuman hasil sidang yang menetapkan Idul Fitri 1 Syawal 1432 Hijriah jatuh pada Rabu, 31 Agustus, dirinya sudah membayangkan kemungkinan mubazirnya ketupat yang disiapkannya.
"Ketupat kan cuma bertahan sehari. Kami berempat di rumah, mana mungkin bisa ngabisin," lanjut Ade. Ketupat yang rencananya akan dinikmati saat acara keluarga itu pun akhirnya hanya dapat dinikmati sebagian.
Keluhan serupa terdengar di halaman belakang kediaman seorang pejabat yang mengadakan acara open house. Kali ini, pria-pria berpakaian necis tersebut mengungkapkan kerugian yang skalanya jauh lebih besar.
"Ini bukan soal soal ketupat lagi, tapi pesanan catering untuk ribuan orang. Bisa dibayangkan enggak kerugiannya," kata pria yang tak berkenan namanya dicantumkan.
Pemesanan catering untuk acara open house tersebut, lanjutnya, diperuntukkan pada hari Selasa (30/8) . Pesanan awal terpaksa dibayar dan pihaknya harus melakukan pemesanan ulang.
"Ini acara resmi dan skala besar. Pasti perlu perencanaan dan kepastian acaranya," jelasnya.
Ia memaklumi bila penetapan resmi hari raya perlu pertimbangan berbagai pihak. Namun, ia menyayangkan munculnya keputusan yang terlalu terlambat yang berdampak pada persiapan acara dan kegiatan formal maupun informal.
"Semuanya berantakan. Kalau di sini jam 9 malam, berarti orang di Papua baru dapat informasi resmi pada jam 11 malam. Seharusnya bisa sore. Ini bukti pemimpin yang peragu," katanya sambil kembali mengingatkan namanya tidak boleh dicantumkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar