Sumhari (46), salah satu pedagang di Stasiun Pasar Minggu, Jakarta Selatan, yang kehilangan mata pencahariannya akibat kiosnya digusur dalam penertiban yang dilakukan PT Kereta Api Indonesia, Kamis(18/4/2013).
Sampai detik ini Sumhari belum tahu harus bagaimana menyambung hidup. Kiosnya di Stasiun Pasar Minggu, Jakarta Selatan, tempat ia sehari-hari berdagang gorengan telah rata dengan tanah, digusur petugas PT KAI, Kamis (18/4/2013). Sumhari kehilangan pekerjaan. Penggusuran kemarin berujung ricuh. Para pedagang melakukan perlawanan. PT KAI memang kini tengah berbenah. Semua stasiun di Jakarta kini dibersihkan dari pedagang. "Saya dagang bukan buat apa-apa, cuma buat sekolah anak. Saya sampai pinjam di bank buat modal usaha," kata Sumhari saat berbincang dengan Kompas.com, Sabtu (20/4/2013), di
Mapolda Metro Jaya. Sumhari meminjam Rp 9 juta kepada bank untuk menambah modal usaha gorengan. Pinjaman itu belum lunas, masih menyisakan lima bulan cicilan sebesar Rp 650 ribu tiap bulan. Biasanya, usaha gorengannya mampu memberi pendapatan sekitar Rp 300 ribu tiap hari. Bukan hanya pinjaman bank yang menjadi bebannya. Yang lebih utama, biaya hidup keluarganya kini tak menentu. Bersama isteri, mertua, ibu, dan tiga dari enam anaknya, ia tinggal di rumah kontrakan di daerah Condet, Jakarta Selatan, dengan harga sewa Rp 1 juta per bulan. "Hanya saya yang kerja jadi tulang punggung. Ini enggak tahu mau jualan di mana lagi, masih cari-cari," ujar Sumhari yang sudah 12 tahun berdagang gorengan di Stasiun Pasar Minggu. Beban hidup membuat keenam anaknya terpencar. Empat anaknya masih bersekolah. Si Sulung yang berusia 19 tahun hanya lulus SD dan tinggal bersamanya membantu berdagang setiap hari. Anak kedua tinggal dengan kakak Sumhari di Jember. Sumhari lupa anak keduanya kelas berapa sekarang. "Saya lupa karena sudah tiga tahun tidak ketemu," kata dia. Anak ketiganya berusia 14 tahun, kelas 3 SMP dan tinggal di pesantren. Anak keempat kelas 6 SD. Keduanya kini tinggal kampung halaman di Madura. Anak kelimanya kelas 1 SD tinggal bersamanya dengan anak bungsunya yang masih berusia tiga tahun. Sumhari kini sadar betul, sekolah adalah penting bagi masa depan. Ia sangat berharap mampu menyekolahkan semua anak-anaknya. Pendidikan adalah kunci untuk memutus rantai kemiskinan. Sumhari tidak selesai lulus SD. Dulu, keinginannya s
ekolah dilarang orang tua lantaran tidak ada biaya. "Dulu saya sekolah enggak boleh sama ibu saya. Ibu saya bilang, kamu ngapain sekolah, ke sawah saja," katanya. "Ya, namanya orang dulu," imbuhnya. "Makanya saya mau nyekolahin anak saya biar enggak kayak saya. Saya selalu bilang, 'Nak, kamu sekolah yang pinter biar jangan kayak Bapak'," kata dia.