Oleh Ustaz Nashih Nashrullah
Selama dalam koridor kebaikan dan ketakwaan, menaati ulama ialah kebutuhan asasi bagi umat. Melebihi ketergantungan pada makan dan minum.
Di tengah-tengah hiruk pikuk demokrasi dan era keterbukaan, muncul beragam gagasan dan ideologi yang cenderung memarjinalkan sosok ulama. Keberadaan para tokoh agamawan itu beranjak terlupakan.
Tak sedikit figur ustaz yang muncul di televisi hanya untuk mengisi tayangan mengusir makhluk halus atau tampil memberi komentar soal perceraian di kalangan artis yang semakin hari seakan diobral bak kacang goreng.
Di sisi lain kegersangan spiritual yang menghinggapi sebagian orang tak lagi melibatkan para alim. Bahkan, mereka menghadap paranormal untuk keluar dari ragam persoalan yang menimpanya.
Memang, harus diakui ulah segelintir oknum ulama itu telah mencorong martabat sebagian besar para pewaris Nabi tersebut.
Namun, yakinlah kata Syekh Abu Thalhah dalam makalahnya berjudulManzilat al-Ulama wa Makanatuhum fi al-islam, masih banyak ulama yang tetap konsisten dengan keislaman yang kuat.
Kategori ulama tersebut, seperti yang pernah diutarakan oleh Ibnu Abbas. Menurut sahabat yang berjuluk Turjaman Alquran itu, ulama ialah mereka yang membekali diri dengan pemahaman yang integral dan komprehensif tentang agama.
Mereka menjelaskan dan berbagi ilmunya untuk umat, serta menegakkan amar makruf nahi mungkar. “Kriteria inilah yang wajib ditaati,” tulis Syekh Abu Thalhah, mengutip perkataan Ibnu Abbas.
Tuntunan untuk mengikuti para alim dengan kriteria seperti yang disebutkan oleh Ibnu Abbas tersebut tertuang dalam surah an-Nisaa’ ayat 59.
Allah SWT memerintahkan agar menaati Allah dan Rasul-Nya serta ulil amri. Pengertian ulil amri pada ayat itu, dalam pandangan banyak tokoh salaf, seperti Jabir bin Abdullah, Hasan al-Bashri, Abu al-Aliyah, Atha’ bin Abi Rabah, ad-Dhahak, dan Mujahid, adalah para ulama.
Selama dalam koridor kebaikan dan ketakwaan, menaati ulama, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Qayyim al-Jaziyyah, ialah kebutuhan asasi bagi umat.
Selama dalam koridor kebaikan dan ketakwaan, menaati ulama ialah kebutuhan asasi bagi umat. Melebihi ketergantungan pada makan dan minum.
Di tengah-tengah hiruk pikuk demokrasi dan era keterbukaan, muncul beragam gagasan dan ideologi yang cenderung memarjinalkan sosok ulama. Keberadaan para tokoh agamawan itu beranjak terlupakan.
Tak sedikit figur ustaz yang muncul di televisi hanya untuk mengisi tayangan mengusir makhluk halus atau tampil memberi komentar soal perceraian di kalangan artis yang semakin hari seakan diobral bak kacang goreng.
Di sisi lain kegersangan spiritual yang menghinggapi sebagian orang tak lagi melibatkan para alim. Bahkan, mereka menghadap paranormal untuk keluar dari ragam persoalan yang menimpanya.
Memang, harus diakui ulah segelintir oknum ulama itu telah mencorong martabat sebagian besar para pewaris Nabi tersebut.
Namun, yakinlah kata Syekh Abu Thalhah dalam makalahnya berjudulManzilat al-Ulama wa Makanatuhum fi al-islam, masih banyak ulama yang tetap konsisten dengan keislaman yang kuat.
Kategori ulama tersebut, seperti yang pernah diutarakan oleh Ibnu Abbas. Menurut sahabat yang berjuluk Turjaman Alquran itu, ulama ialah mereka yang membekali diri dengan pemahaman yang integral dan komprehensif tentang agama.
Mereka menjelaskan dan berbagi ilmunya untuk umat, serta menegakkan amar makruf nahi mungkar. “Kriteria inilah yang wajib ditaati,” tulis Syekh Abu Thalhah, mengutip perkataan Ibnu Abbas.
Tuntunan untuk mengikuti para alim dengan kriteria seperti yang disebutkan oleh Ibnu Abbas tersebut tertuang dalam surah an-Nisaa’ ayat 59.
Allah SWT memerintahkan agar menaati Allah dan Rasul-Nya serta ulil amri. Pengertian ulil amri pada ayat itu, dalam pandangan banyak tokoh salaf, seperti Jabir bin Abdullah, Hasan al-Bashri, Abu al-Aliyah, Atha’ bin Abi Rabah, ad-Dhahak, dan Mujahid, adalah para ulama.
Selama dalam koridor kebaikan dan ketakwaan, menaati ulama, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Qayyim al-Jaziyyah, ialah kebutuhan asasi bagi umat.
Mengalahkan ketergantungan mereka terhadap makanan. Dalam banyak hal, ketaatan terhadap para alim itu lebih diutamakan ketimbang taat kepada orang tua.
Syekh Abu Thalhah menegaskan, ketaatan itu tak boleh membabi buta dan memunculkan taklid. Taat kepada ulama, yakni selama berkaitan dengan urusan fatwa dan hukum dalam menyikapi suatu hal.
Jika berkaitan dengan urusan duniawi, ketentuan menyikapi hal itu diserahkan kembali kepada yang bersangkutan. Ini seperti yang pernah dicontohkan Rasulullah dalam peristiwa kawin silang kurma. Rasul menyerahkan hal itu kepada kebiasaan para petani.
Lalu, apa alasan kuat urgensi ketaatan kepada ulama? Syekh Abu Thalhah memaparkan beberapa poin penting untuk menjawab pertanyaan itu. Sederet alasan tersebut tak lain menjelaskan pula kedudukan ulama yang spesial di hadapan Allah.
Poin yang pertama, misalnya, para ulama adalah kelompok satu-satunya dari kalangan manusia yang membaitkan persaksian atas tauhid. Para alim itu disandingkan dengan para malaikat.
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu).” (QS Ali Imran [3]: 18).
Sebagai pewaris para nabi, ulama adalah perantara untuk mengetahui hukum dan permasalahan seputar agama dan keagamaan.
Syekh Abu Thalhah menegaskan, ketaatan itu tak boleh membabi buta dan memunculkan taklid. Taat kepada ulama, yakni selama berkaitan dengan urusan fatwa dan hukum dalam menyikapi suatu hal.
Jika berkaitan dengan urusan duniawi, ketentuan menyikapi hal itu diserahkan kembali kepada yang bersangkutan. Ini seperti yang pernah dicontohkan Rasulullah dalam peristiwa kawin silang kurma. Rasul menyerahkan hal itu kepada kebiasaan para petani.
Lalu, apa alasan kuat urgensi ketaatan kepada ulama? Syekh Abu Thalhah memaparkan beberapa poin penting untuk menjawab pertanyaan itu. Sederet alasan tersebut tak lain menjelaskan pula kedudukan ulama yang spesial di hadapan Allah.
Poin yang pertama, misalnya, para ulama adalah kelompok satu-satunya dari kalangan manusia yang membaitkan persaksian atas tauhid. Para alim itu disandingkan dengan para malaikat.
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu).” (QS Ali Imran [3]: 18).
Sebagai pewaris para nabi, ulama adalah perantara untuk mengetahui hukum dan permasalahan seputar agama dan keagamaan.
Menurut Imam as-Syathibi, bagi mereka yang kebingungan tak semestinya bertanya kepada pihak yang tak berkompetensi atau tak berkemampuan. Sulit diterima akal sehat jika hal itu terjadi.
Tradisi umat bertanya dan para ulama menjawab bahwa ini pun menjadi ciri khas masyarakat Muslim dari masa ke masa. “Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tiada mengetahui.” (QS al-Anbiyaa’ [21]: 7).
Semestinya, para ulama berhias diri dengan rasa takut kepada Allah SWT. Perasaan inilah yang akan mengantarkan mereka pada sikap kehati-hatian dan tidak mudah tergoda dengan rayuan duniawi atau berkhianat terhadap ilmu yang mereka pelajari dan tekuni.
Atas dasar itu pulalah, sepatutnya seorang alim akan dihargai. Pengetahuan dan kedekatannya terhadap Allah mendatangkan ketakwaan yang berimbas kepada diri, keluarga, lingkungan sekitar, dan khalayak. “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (QS Fathir [ 35] : 28).
Dan, ingatlah kata Syekh Abu Thalhah. Keberadaan para ulama yang konsisten dan berkomitmen tinggi terhadap agama mereka, ikut menjadi penentu bagi keselamatan suatu kaum.
Hadis riwayat Abdullah bin Umar, seperti dinukilkan Bukhari, menegaskan hal tersebut. Keberadaan seorang alim akan menjadi lentera yang menerangi kebingungan masyarakat dengan ilmu yang dimiliki.
Kini, satu per satu sosok alim yang berkompeten itu telah berpulang. Kondisi ini akan terus berlaku hingga tak satu pun lagi alim yang tersisa. Di saat krisis ulama melanda, mulailah umat berpaling kepada sosok lain.
Figur yang secara lahir terkesan alim, namun kenyataannya bertolak belakang. Akibatnya, sesat dan saling menyesatkan.
Tradisi umat bertanya dan para ulama menjawab bahwa ini pun menjadi ciri khas masyarakat Muslim dari masa ke masa. “Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tiada mengetahui.” (QS al-Anbiyaa’ [21]: 7).
Semestinya, para ulama berhias diri dengan rasa takut kepada Allah SWT. Perasaan inilah yang akan mengantarkan mereka pada sikap kehati-hatian dan tidak mudah tergoda dengan rayuan duniawi atau berkhianat terhadap ilmu yang mereka pelajari dan tekuni.
Atas dasar itu pulalah, sepatutnya seorang alim akan dihargai. Pengetahuan dan kedekatannya terhadap Allah mendatangkan ketakwaan yang berimbas kepada diri, keluarga, lingkungan sekitar, dan khalayak. “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (QS Fathir [ 35] : 28).
Dan, ingatlah kata Syekh Abu Thalhah. Keberadaan para ulama yang konsisten dan berkomitmen tinggi terhadap agama mereka, ikut menjadi penentu bagi keselamatan suatu kaum.
Hadis riwayat Abdullah bin Umar, seperti dinukilkan Bukhari, menegaskan hal tersebut. Keberadaan seorang alim akan menjadi lentera yang menerangi kebingungan masyarakat dengan ilmu yang dimiliki.
Kini, satu per satu sosok alim yang berkompeten itu telah berpulang. Kondisi ini akan terus berlaku hingga tak satu pun lagi alim yang tersisa. Di saat krisis ulama melanda, mulailah umat berpaling kepada sosok lain.
Figur yang secara lahir terkesan alim, namun kenyataannya bertolak belakang. Akibatnya, sesat dan saling menyesatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar