Berulang kali saya mencoba untuk menahan diri dan berpaling agar tidak ikut menulis tentang tim nasional Indonesia dengan alasan kompetensi. Tapi saya akhirnya tak tahan juga.
Sudah 16 tahun saya meninggalkan Indonesia. Jarak dan waktu mulai perlahan melunturkan ingatan tentang persepakbolaan di tanah air. Juga, sekali-kalinya menonton timnas U-19 adalah saat bermain lawan Korea Selatan. Itu pun lewat streaming internet yang tidak selalu mulus gambarnya.
Benar bahwa saya masih sering bercakap-cakap dan berkirim kabar tentang persepakbolaan di Indonesia dengan beberapa rekan lewat email, skype maupun sarana media sosial yang tersedia. Atau, kalau pas kebetulan pulang ke Indonesia, bertemulah kami walau sempit waktunya. Tetapi saya merasa itu masih jauh dari cukup untuk kemudian ikut berkomentar.
Kalau kemudian akhirnya ikut berkomentar, saya akui euforia ini terlalu berat untuk dibendung. Yang sekelumit dari permainan timnas U-19 sungguh menyenangkan, menyadarkan kita semua bahwa Indonesia juga bisa bermain sepakbola dengan menarik dan "benar". Setelah bertahun-tahun cerita yang saya dengar adalah keterpurukan demi keterpurukan, kisah mengenaskan demi mengenaskan, dan keamburadulan sepakbola Indonesia yang seperti tanpa jalan keluar, akhirnya ada sedikit cercah kegembiraan.
Pujian sudah selayaknya diberikan kepada para pemain dan tentu saja ke staf pelatih dan terutama sekali sang pelatih Indra Sjafri. Tetapi saya harap anda bersabar dan membaca artikel ini sampai selesai, karena akan saya katakan bahwa apa yang dilakukan oleh Indra Sjafri ini biasa-biasa saja.
Saya berulang kali membaca pujian bagaimana ia pergi sendiri ke pelosok-pelosok Indonesia untuk mencari bakat. Membentuk staf pelatihan sendiri, dari kitman hingga penganalisa statistik permainan. Menanamkan sebuah gaya permainan tertentu sekaligus rasa percaya diri bahwa para pemain yang ia kumpulkan bisa menjalankan gaya itu.
Anda tahu, memang begitulah seharusnya pelatih sepakbola itu (saya lebih senang menyebutnya sebagai manajer atau pelatih kepala karena peran yang mereka lakukan). Apa yang dilakukan Indra sudah jamak dilakukan para pelatih/manajer sepakbola di Eropa atau negara-negara besar sepakbola dunia. Atau katakan, Indra hanyalah melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh para pelatih sepakbola tim nasional untuk semua tingkatan dan juga tingkat klub. Indra Sjafri hanyalah orang yang sadar profesi. Itulah sebabnya saya katakan apa yang ia lakukan biasa-biasa saja.
Yang saya takjub, terharu dan menganggapnya luar biasa adalah ia melakukannya di Indonesia. Negeri dengan federasi sepakbola yang carut marutnya tidak kepalang tanggung.
Perbedaan mendasar antara apa yang dilakukan manajer-manajer Eropa dan Indra Sjafri adalah manajer-manajer Eropa mempunyai sistem pendukung (support system) yang rapi dan mutakhir, sementara Indra Sjafri seperti pengembara tunggal di padang pasir, tanpa kompas dan tanpa penanda jalan. Ia harus meretas jalan sendiri.
Manajer-manajer Eropa didukung oleh jalinan organisasi yang rapi hingga ke tingkat paling bawah, lengkap dengan pemandu bakat, catatan penampilan dan kelebihan pemain berbakat. Indra Sjafri sepertinya mengandalkan informasi getok tular. Federasi sepakbola di Eropa bisa dengan mudah memantau pemain-pemain berbakat karena mengelola --atau setidaknya bekerja sama-- klub-klub dengan benar, sehingga rekomendasi pemain berbakat bisa diterima oleh manajer. Saya yakin Indra Sjafri akan hati-hati menerima rekomendasi pemain dari PSSI.
Sudah 16 tahun saya meninggalkan Indonesia. Jarak dan waktu mulai perlahan melunturkan ingatan tentang persepakbolaan di tanah air. Juga, sekali-kalinya menonton timnas U-19 adalah saat bermain lawan Korea Selatan. Itu pun lewat streaming internet yang tidak selalu mulus gambarnya.
Benar bahwa saya masih sering bercakap-cakap dan berkirim kabar tentang persepakbolaan di Indonesia dengan beberapa rekan lewat email, skype maupun sarana media sosial yang tersedia. Atau, kalau pas kebetulan pulang ke Indonesia, bertemulah kami walau sempit waktunya. Tetapi saya merasa itu masih jauh dari cukup untuk kemudian ikut berkomentar.
Kalau kemudian akhirnya ikut berkomentar, saya akui euforia ini terlalu berat untuk dibendung. Yang sekelumit dari permainan timnas U-19 sungguh menyenangkan, menyadarkan kita semua bahwa Indonesia juga bisa bermain sepakbola dengan menarik dan "benar". Setelah bertahun-tahun cerita yang saya dengar adalah keterpurukan demi keterpurukan, kisah mengenaskan demi mengenaskan, dan keamburadulan sepakbola Indonesia yang seperti tanpa jalan keluar, akhirnya ada sedikit cercah kegembiraan.
Pujian sudah selayaknya diberikan kepada para pemain dan tentu saja ke staf pelatih dan terutama sekali sang pelatih Indra Sjafri. Tetapi saya harap anda bersabar dan membaca artikel ini sampai selesai, karena akan saya katakan bahwa apa yang dilakukan oleh Indra Sjafri ini biasa-biasa saja.
Saya berulang kali membaca pujian bagaimana ia pergi sendiri ke pelosok-pelosok Indonesia untuk mencari bakat. Membentuk staf pelatihan sendiri, dari kitman hingga penganalisa statistik permainan. Menanamkan sebuah gaya permainan tertentu sekaligus rasa percaya diri bahwa para pemain yang ia kumpulkan bisa menjalankan gaya itu.
Anda tahu, memang begitulah seharusnya pelatih sepakbola itu (saya lebih senang menyebutnya sebagai manajer atau pelatih kepala karena peran yang mereka lakukan). Apa yang dilakukan Indra sudah jamak dilakukan para pelatih/manajer sepakbola di Eropa atau negara-negara besar sepakbola dunia. Atau katakan, Indra hanyalah melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh para pelatih sepakbola tim nasional untuk semua tingkatan dan juga tingkat klub. Indra Sjafri hanyalah orang yang sadar profesi. Itulah sebabnya saya katakan apa yang ia lakukan biasa-biasa saja.
Yang saya takjub, terharu dan menganggapnya luar biasa adalah ia melakukannya di Indonesia. Negeri dengan federasi sepakbola yang carut marutnya tidak kepalang tanggung.
Perbedaan mendasar antara apa yang dilakukan manajer-manajer Eropa dan Indra Sjafri adalah manajer-manajer Eropa mempunyai sistem pendukung (support system) yang rapi dan mutakhir, sementara Indra Sjafri seperti pengembara tunggal di padang pasir, tanpa kompas dan tanpa penanda jalan. Ia harus meretas jalan sendiri.
Manajer-manajer Eropa didukung oleh jalinan organisasi yang rapi hingga ke tingkat paling bawah, lengkap dengan pemandu bakat, catatan penampilan dan kelebihan pemain berbakat. Indra Sjafri sepertinya mengandalkan informasi getok tular. Federasi sepakbola di Eropa bisa dengan mudah memantau pemain-pemain berbakat karena mengelola --atau setidaknya bekerja sama-- klub-klub dengan benar, sehingga rekomendasi pemain berbakat bisa diterima oleh manajer. Saya yakin Indra Sjafri akan hati-hati menerima rekomendasi pemain dari PSSI.
Manajer-manajer Eropa juga sering datang sendiri untuk melihat penampilan pemain yang dikatakan berbakat atau layak masuk seleksi, tetapi apa yang dilakukan Indra Sjafri bisa masuk dalam kategori epik. Saya kesulitan membayangkan ketika mendengar cerita ia terkadang harus merogoh koceknya sendiri atau setidaknya lewat bantuan keuangan jalur pribadi untuk sekadar menengok pemain yang dikatakan berbakat. Dan pelosok Indonesia bukanlah tempat yang selalu mudah untuk dijangkau.
Saya tahu Indra tidak minta dikasihani dan enggan dikasihani. Tapi membandingkan manajer-manajer Eropa dengan dirinya, susah untuk tidak bersikap demikian. Indra Sjafri dalam bayangan saya seperti merangkap sekian banyak tugas sendirian. Ia manajer, pelatih, pemandu bakat, pembuat kebijakan sekaligus eksekutornya. Ia mestinya hanya bagian dari sebuah organisasi, tetapi ia ternyata sekaligus organisasi itu sendiri.
Dalam batas tertentu untuk membentuk satu tim apa yang dilakukan Indra Sjafri bisa dimengerti dan diterima. Tetapi ketika membentuk satu deretan tim, bukankah idealnya ada timnas utama lalu diikuti berbagai tingkatan umur? Jelas yang diperlukan adalah sebuah jenjang yang berkelanjutan, seperti yang terjadi di Eropa. Kita tidak bisa terus menerus memintanya melakukan apa yang ia lakukan. Harus ada organisasi dan sistem pembinaan yang jelas untuk menggantikan peran individual ini.
Ini bukan untuk mengatakan bahwa kemudian peran PSSI tidak ada sama sekali. Mereka tahu akan hal ini. Tetapi mendengar cerita ia pernah melatih dengan pro bono untuk tim nasional Indonesia kelompok umur tertentu, entah benar entah tidak, sungguh saya kesulitan untuk mengerti organisasi macam apa PSSI itu, dan apa peran mereka sebenarnya. Logikanya, kalau yang paling mendasar dan sederhana seperti membayar gaji bagi orang yang bekerja saja tidak dilakukan, bisa dibayangkan untuk komitmen-komitmen lain yang lebih rumit pasti akan lebih terbengkelai lagi.
Ini juga tidak untuk mengatakan bahwa di Indonesia Indra Sjafri satu-satunya pelatih yang benar dan baik (walau jangan tanya saya siapa pelatih lain di Indonesia yang benar dan baik itu, jujur dan maaf kalau saya tidak tahu banyak pelatih di Indonesia). Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Indra dengan multiperannya tidaklah benar dan tidak baik. Itu tidak seharusnya terjadi. Sehebat-hebatnya manusia ia tidak akan bisa memegang begitu banyak peran untuk waktu yang lama. Tetapi sekali lagi, pilihan seperti apa yang dipunyai pelatih seperti Indra jika berhadapan dengan sistem yang lumpuh dan mandul?
Karena semua inilah, seperti saya tulis di atas, walau menahan diri untuk tidak larut dalam euforia, akhirnya saya takluk. Saya sangat berterima kasih dengan peran orang semacam Indra Sjafri yang memberi kegembiraan bagi orang Indonesia umumnya dan penggemar bola khususnya.
Tetapi bagi saya kesuksesan Indra Sjafri yang lebih bernilai adalah justru membuka bobrok persepakbolaan nasional secara lebih terbuka. Perjuangannya menunjukkan dukungan organisasi yang minim, dukungan logistik yang minim, dan dukungan program (kalau ada) yang minim pula di tengah lautan bakat yang berlimpah.
Perjuangan Indra Sjafri untuk membentuk tim nasional U-19 dan kemudian meraih sukses adalah sebuah cerita anak manusia untuk melawan sistem yang lumpuh dan mandul. Sebuah gugatan terhadap administrator sepakbola Indonesia. Seharusnya pengurus PSSI malu dengan Indra Sjafri dan anak buahnya. Dan (kalau mungkin) berbesar hati untuk mengakui tak mampu mengelola dengan baik PSSI, lalu memberi kesempatan kepada orang lain untuk menjalankannya.
Bolehlah kalau kemudian mereka mau ikut sedikit bergembira dengan prestasi Indra dan anak buahnya. Tetapi ingat, prestasi mereka bukan untuk PSSI, prestasi mereka untuk kami rakyat Indonesia.
London, 15 Oktober 2013
Saya tahu Indra tidak minta dikasihani dan enggan dikasihani. Tapi membandingkan manajer-manajer Eropa dengan dirinya, susah untuk tidak bersikap demikian. Indra Sjafri dalam bayangan saya seperti merangkap sekian banyak tugas sendirian. Ia manajer, pelatih, pemandu bakat, pembuat kebijakan sekaligus eksekutornya. Ia mestinya hanya bagian dari sebuah organisasi, tetapi ia ternyata sekaligus organisasi itu sendiri.
Dalam batas tertentu untuk membentuk satu tim apa yang dilakukan Indra Sjafri bisa dimengerti dan diterima. Tetapi ketika membentuk satu deretan tim, bukankah idealnya ada timnas utama lalu diikuti berbagai tingkatan umur? Jelas yang diperlukan adalah sebuah jenjang yang berkelanjutan, seperti yang terjadi di Eropa. Kita tidak bisa terus menerus memintanya melakukan apa yang ia lakukan. Harus ada organisasi dan sistem pembinaan yang jelas untuk menggantikan peran individual ini.
Ini bukan untuk mengatakan bahwa kemudian peran PSSI tidak ada sama sekali. Mereka tahu akan hal ini. Tetapi mendengar cerita ia pernah melatih dengan pro bono untuk tim nasional Indonesia kelompok umur tertentu, entah benar entah tidak, sungguh saya kesulitan untuk mengerti organisasi macam apa PSSI itu, dan apa peran mereka sebenarnya. Logikanya, kalau yang paling mendasar dan sederhana seperti membayar gaji bagi orang yang bekerja saja tidak dilakukan, bisa dibayangkan untuk komitmen-komitmen lain yang lebih rumit pasti akan lebih terbengkelai lagi.
Ini juga tidak untuk mengatakan bahwa di Indonesia Indra Sjafri satu-satunya pelatih yang benar dan baik (walau jangan tanya saya siapa pelatih lain di Indonesia yang benar dan baik itu, jujur dan maaf kalau saya tidak tahu banyak pelatih di Indonesia). Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Indra dengan multiperannya tidaklah benar dan tidak baik. Itu tidak seharusnya terjadi. Sehebat-hebatnya manusia ia tidak akan bisa memegang begitu banyak peran untuk waktu yang lama. Tetapi sekali lagi, pilihan seperti apa yang dipunyai pelatih seperti Indra jika berhadapan dengan sistem yang lumpuh dan mandul?
Karena semua inilah, seperti saya tulis di atas, walau menahan diri untuk tidak larut dalam euforia, akhirnya saya takluk. Saya sangat berterima kasih dengan peran orang semacam Indra Sjafri yang memberi kegembiraan bagi orang Indonesia umumnya dan penggemar bola khususnya.
Tetapi bagi saya kesuksesan Indra Sjafri yang lebih bernilai adalah justru membuka bobrok persepakbolaan nasional secara lebih terbuka. Perjuangannya menunjukkan dukungan organisasi yang minim, dukungan logistik yang minim, dan dukungan program (kalau ada) yang minim pula di tengah lautan bakat yang berlimpah.
Perjuangan Indra Sjafri untuk membentuk tim nasional U-19 dan kemudian meraih sukses adalah sebuah cerita anak manusia untuk melawan sistem yang lumpuh dan mandul. Sebuah gugatan terhadap administrator sepakbola Indonesia. Seharusnya pengurus PSSI malu dengan Indra Sjafri dan anak buahnya. Dan (kalau mungkin) berbesar hati untuk mengakui tak mampu mengelola dengan baik PSSI, lalu memberi kesempatan kepada orang lain untuk menjalankannya.
Bolehlah kalau kemudian mereka mau ikut sedikit bergembira dengan prestasi Indra dan anak buahnya. Tetapi ingat, prestasi mereka bukan untuk PSSI, prestasi mereka untuk kami rakyat Indonesia.
London, 15 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar