Ketika negara maju gencar memanfaatkan smartphone sebagai media komunikasi pendidikan antara guru dan murid, Indonesia justru melarang siswa membawa ponsel. Sebuah ketertinggalan?
Masih hangat berita menggemparkan tentang siswa SMP yang mengabadikan adegan mesum. Ironisnya, peristiwa itu berlokasi di dalam kelas, dan disaksikan teman-temannya. Akal sehat publik dan moral pun terhentak, bagaimana mungkin kejadian amoral tersebut dapat terjadi di lingkungan sebuah institusi pendidikan terhormat bernama sekolah?
Adegan tak senonoh yang dilakukan anak-anak di bawah umur itu direkam menggunakan ponsel. Kemudian disebarkan pula dari ponsel ke ponsel. Buntut dari tragedi tersebut adalah, sejumlah sekolah memutuskan untuk melarang siswa membawa ponsel ke sekolah. Ponsel dianggap sebagai biang keladi dari pornografi di kalangan siswa.
Apakah ada sanksi bagi pihak pendidik, dalam hal ini sekolah, yang lengah mengawasi lingkungan sekolah sehingga terjadi adegan mesum di lingkungannya? Apakah ada sanksi bagi orang tua siswa, yang lengah memberi bimbingan pada anaknya. Belum jelas. Yang pasti, kesalahan ditimpakan ke siswa sebagai pelaku, serta ponsel itu sendiri.
Kambing Hitam?
Buruk muka cermin dibelah, itulah yang tertangkap dari serentetan peristiwa di atas. Ketika sekumpulan anak di bawah umur tak mampu mengontrol penggunaan ponsel, dan menyalahgunakannya, maka ponsel lah yang menjadi kambing hitam.
Ponsel pintar atau smartphone, internet, aplikasi video, hanyalah benda mati buatan manusia. Perangkat tersebut tak mampu memikirkan moral. Benda-benda itu hanya akan pasrah di tangan penggunanya. Ketika terjadi suatu penyalahgunaan, layakkah benda-benda itu berusaha dienyahkan?
Layak dipertanyakan, bagaimana sebuah sekolah dapat menjadi lokasi pengambilan gambar adegan mesum oleh siswa-siswanya. Di dalam kelas pula. Apakah sekolah tersebut sama sekali tak punya pengawasan atas apa yang dilakukan di lingkungannya? Jika siswa dapat melakukan adegan tak senonoh dalam kelas, bukankah perbuatan amoral lain juga bisa dilakukan?
Dan ketika guru, tenaga pendidik, serta orang tua lalai, hingga anak menjadi pelaku perbuatan amoral, layakkah teknologi menjadi kambing hitam?
Ponsel untuk Pendidikan
Jauh dari Indonesia, sebanyak 73% guru SMP dan SMA di Amerika Serikat sudah menggunakan smartphone dalam membantu aktivitas belajar. Menurut para guru, smartphone bisa melengkapi komunikasi antar siswa dan guru yang belum tuntas saat pertemuan di kelas.
Pew Research Center’s Internet and American Life Project melansir data bahwa menurut para pengajar, internet cukup berpengaruh besar pada kemampuan mereka mengakses konten sebagai sumber materi mengajar. Kelamaan para guru terlatih untuk menjadi user internet dan gadget yang cukup mumpuni. Bahkan hampir setengah dari responden mengaku telah menggunakan e-reader dan tablet PC dalam aktivitas mengajar.
Jadi, apakah larangan membawa ponsel ke sekolah di Indonesia sudah cukup efektif? Apakah itu akan menjamin siswa-siswa kita bebas dari penyalahgunaan teknologi? Sebuah wacana untuk dipikirkan lebih bijaksana.
* Tentang Penulis: Merry Magdalena, pengamat social media, founder Netsains.Net, penulis bukuSitus Gaul Gak Cuma buat Ngibul (Gramedia Pustaka Utama), Melindungi Anak dari Seks Bebas(Grasindo), UU ITE, Don’be The Next Victim (Gramedia Pustaka Utama), dan sejumlah buku lain. Bisa dikontak di @merrymp.
s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar