Kemajuan wanita adalah ukuran kemajuan suatu negeri. Kaum ibu dapat menggoyangkan buaian dengan tangan kirinya, dapat pula menggoyangkan dunia dengan tangan kanannya.” -Napoleon Bonaparte-
Pernyataan di atas menggambarkan urgensi peranan ibu dalam kehidupan manusia. Kaum ibu dapat berperan ganda baik di dalam rumah maupun di luar rumah sesuai dengan kapabilitas yang dimilikinya. Salah satunya dapat diinduksi dengan kecerdasan yang terbentuk dalam proses belajar. Namun, upaya ini masih dibelenggu pernyataan yang menyatakan bahwa tugas wanita hanya terbatas dalam rumah dan cenderung monoton.
Kecerdasan bagi wanita yang dibentuk dalam kebebasan mencari ilmu hingga ke jenjang yang lebih tinggi dihimpit dengan paradigma-paradigma yang berkembang sejak dulu. Isu kesetaraan gender yang makin marak diperjuangkan tidak mampu mencabut akar kebudayaan yang menjalar sehingga peranan seorang ibu memiliki ruang gerak terbatas di dalam perjalanan kehidupannya.
Everlasting woman is the focus of attention for all the members of the family hendaknya mampu memberikan alasan mengapa para ibu harus menuntut ilmu hingga kejenjang pendidikan yang paling tinggi. Kondisi ini sudah tercermin sejak dahulu di dalam kebudayaan para ibu pada suku Minangkabau, Sumatera Barat. Perempuan memilki peranan penting di dalam sebuah keluarga yang dikenal dengan sebutan ‘Bundo Kanduang’. Besarnya pengaruh para ibu di dalam rumah tangga diganjar penghargaan yang disimbolkan dalam istilah Limpapeh Rumah Nan Gadang (pilar utama rumah).
Suku Minangkabau merupakan salah satu dari beragam suku di Indonesia dengan keunikan sistem kekerabatannya. Sistem ini dikenal dengan nama matrilinial yang menjadi identitas masyarakat dalam etnik ini. Matrilinial berasal dari bahasa latin yaitu mater berarti ibu dan linea yang berarti garis. Sehingga matrilinial dapat didefenisikan sebagai mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu. Istilah matrilinial juga sering disamakan dengan matriarkhat atau matriarkhi dimana istilah ini berasal dari kata mater yang berarti ibu dan archein yang berarti memerintah. Kemudiaan keduanya digabung dan memiliki makna yaitu kekuasaan berada di tangan ibu atau pihak perempuan.
Sistem ini menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan serta memainkan peranan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum lelaki dalam posisi mereka sebagai mamak (paman atau saudara dari pihak ibu) dan penghulu (kepala suku).
Keistimewaan tugas yang diemban perempuan terutama para ibu di dalam etnik ini menunjukkan bahwa mereka memiliki kecerdasaan yang tinggi karena begitu dipercaya untuk memainkan peranan sepenting itu.
“Tahu di mudarat jo manfaat, mangana labo jo rugi, mangatahui sumbang jo salah, tahu di unak ka manyangkuik, tahu di rantiang ka mancucuak, ingek di dahan ka mahimpok, tahu di angin nan basiruik, arih di ombak nan basabuang, tahu di alamat kato sampai”. Seruan ini makin menjelaskan bahwa para wanita dan kaum ibu dituntut untuk menjadi seorang yang taat beragama, cerdas, berbudi pekerti yang baik, bijaksana, dan sifat-sifat terpuji lainnya. Tidak mengherankan bahwa para ibu dietnik ini mampu menghasilkan generasi ’spektakuler’ layaknya Mohammad Hatta, Agus Salim, M. Yamin, M. Natsir, Sutan Syahrir dan masih banyak lainnya.
Selain itu, sistem matrilinial menuntut para wanita dan kaum ibu agar selalu ingat bahwa mereka harus menjadi teladan yang penuh dengan kearifan serta menjaga nama baik keluarga ataupun sukunya dan harus selalu taat beribadah kepada Allah SWT, menjalankan perintah Nya dan menjauhi larangan Nya, rendah hati, dan sopan santun.
Hal ini menyebabkan wanita dan para ibu selalu berhati-hati dalam bertutur kata agar tidak ada orang yang tersinggung serta berjalan dengan memperhatikan langkahnya agar sesuatu yang dilakukan tidak mendatangkan mudarat nantinya. Pencerminan sikap ini terurai dalam petatah petitih Minangkabau yang berbunyi “bakato sapatah di pikiri, bajalan salangkah maliek suruik, muluik tadorong ameh timbangannyo, kaki tataruang inai padahannyo, urang pandorong gadang kanai, urang pandareh hilang aka”.
Harus bisa hidup hemat merupakan sikap yang juga dimiliki pada seorang wanita atau ibu sebagai pemilik harta kekayaan. Tidak boleh berfoya-foya karena harta terebut nantinya akan dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup anak cucunya kelak. Sehingga karakter cermat, tekun dan ulet mendarah daging dalam tubuh para wanita dan kaum ibu di setiap suku di Minangkabau.
Matrilinial berupaya untuk mendegradasi isu-isu kesetaraan gender yang belum tuntas sampai saat ini. Kesetaraan gender bukanlah sesuatu yang dikenal dan lahir dalam kebudayaan etnik Minangkabau. Para wanita dan ibu memiliki kesempatan yang sama di dalam kaumnya dimana wanita sebagai orang yang berhak untuk mendiami Rumah Gadang yang menjadi lambang kebesaran suku ini.
Laki-laki atau kaum bapak adalah penghulu yang berperan sebagai pemimpin untuk kaum atau sukunya berjalan sinergis dengan posisi wanita atau kaum ibu sebagai bundo kanduang.
Wanita dan para ibu di Minangkabau memiliki cara tersendiri dalam mengatur perannya di dalam dan di luar rumah. Mereka tidak mengabaikan kewajiban dalam rumah tangganya (Natural and Domestic Duties for Women) dengan kewajiban dalam kaumnya. Keseimbangan antara kedua kepentingan itu mampu berjalan berdampingan karena tidak ada salah satu yang di ‘anak emaskan’. Kesetaraan peran diantara keduanya dipedomani aturan adat yang berlaku dan seiring ketetapan syari`at agama islam, Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah.
Pada masa sekarang ini, sistem matrilinial masih dianut oleh masyarakat Minangkabau. Hal ini diduga karena sistem ini diajarkan secara kontiniu atau turun temurun meskipun tidak ada sanksi adat yang diberikan kepada yang tidak menjalankan sistem kekerabatan tersebut. Pola pengajaran ini didominasi oleh para ibu yang memiliki intensitas waktu lebih banyak jika dibandingkan dengan para bapak.
Kepentingan seorang wanita agar memiliki pendidikan yang baik dan tinggi sebelum maupun sesudah menjadi seorang ibu tidak dapat ditolerir lagi. Pendidikan akan memaksimalkan potensi wanita dan membantu untuk memahami posisinya sebagai mitra dalam mendukung serta memotivasi suami dalam menjalankan tugas baik untuk kepentingan rumah tangga maupun lingkungannya. Pendidikan akan menciptakan kecerdasaan bagi para wanita sehingga mampu meminimalisir rasa ego, curiga serta cenderung harus dimengerti yang merupakan cikal bakal kehancuran dalam rumah tangga. Tingginya tingkat pendidikan yang berkualitas bagi wanita dan para ibu memberikan kesempatan agar dapat eksis di tengah masyarakat untuk bekerjasama dan memberdayakan lingkungan menjadi lebih baik.
Tanggal 22 Desember merupakan sebuah bentuk penghormatan kepada para ibu sebagai wanita berpengaruh bagi anggota keluarganya, kaumnya dan juga dunia. Patriotisme para ibu dikenang dengan semaraknya hari ini, meskipun dalam kenyataan masyarakat Minangkabau tidak turut andil dalam mela hirkan maupun merayakan momen ini. Sikap heroik para ibu di Minangkabau bukan hanya sekedar dikenang dalam waktu sehari saja tapi tercatat dalam sejarah. Hal ini terlihat jelas pada sosok Rohana Kudus yang merupakan ‘replika’ dari sistem matrilinial sehingga patut dijadikan teladan bagi para ibu dan wanita tidak hanya di Minangkabau tetapi juga diseluruh Indonesia. Wanita ini adalah seorang wartawati dan pemilik koran wanita pertama di Indonesia bernama Sunting Melayu.
Rohana Kudus merupakan cerminan kecerdasan kaum wanita dan para ibu dari sistem matrilinial. Keberadaannya membuktikan bahwa kaumnya memiliki kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki. Kisah hidupnya menjelaskan bahwa kesetaraan gender tidak perlu dipaksakan karena secara harfiah hal itu sudah dibentuk secara alami oleh alam. Sebuah upaya dan tekad untuk menjadi kaum yang cerdas adalah sebuah prioritas utama bagi para wanita dan para ibu untuk diperjuangkan, dibandingkan harus larut dalam perjuangan mencapai kesetaraan gender yang entah kapan akan mencapai titik terang. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar