PINTU kelas VI SDN Karangsari Garut terbuka, para murid berhamburan keluar. Sofi (12) berjalan cepat, tergesa-gesa meninggalkan sekolah. Bagaikan menerobos kumpulan teman-temannya yang tengah berjalan santai sambil mengobrol.
Kali ini Sofi pulang sore, pukul 15.00, karena harus mengikuti jam pelajaran tambahan sebelum menghadapi ujian nasional. Matahari terik dan udara panas pada sore itu seakan menantang Sofi yang berjalan kaki menuju rumahnya, ke arah barat.
Sofi sama sekali tidak menghiraukan debu pekat yang beterbangan di sekelilingnya dari jalan yang dilaluinya. Jalur Pantai Selatan di dekat kediaman Sofi memang belum seluruhnya diperbaiki Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Debu sering tercungkil kemudian berterbangan oleh ban kendaraan berat yang melaluinya.
Rumah Sofi berada di atas bukit, di tengah persawahan di Kampung Cicalengka, Desa Karangsari, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut. Setelah berjalan kaki sekitar tiga kilometer, Sofi pun harus menaiki bukit melalui jalan setapak dan pematang sawah.
Sampailah Sofi di rumahnya yang sangat sederhana, disambut oleh ibunya, Nenih (47). Di ruang depan, adik Sofi, Soni (9), terbaring sambil bertepuk tangan. Memandang ke arah Sofi, Soni menjulurkan lidah kemudian meniupnya. Inilah ekspresi Soni yang berkebutuhan khusus saat merasa bahagia.
Nenih kemudian memberikan keranjang berisi 33 comro dan 33 misro, gorengan yang terbuat dari singkong, kepada Sofi. Tanpa makan terlebih dulu, atau bahkan ganti seragam, Sofi langsung membawa jinjingan tersebut dan meninggalkan rumah kembali.
Deru ombak dari pantai selatan yang tidak jauh dari rumahnya mengiringi langkah Sofi. Anak perempuan ini berjalan di perkampungan sekitar rumahnya sambil menyeru warga untuk membeli gorengannya. Lengkap dengan seragam, sepatu, dan jilbabnya, Sofi berjalan menjajakan gorengan.
Ada yang hanya membeli dua, ada juga yang memborong sampai 10 gorengan. Satu combro atau misro dijual Rp 500. Teman-teman bermain Sofi pun mendatanginya dan membeli gorengannya. Sofi bukan anak pemalu, dia menjajakan gorengannya dengan ceria, terutama kepada teman-temannya.
Matahari terlihat hampir terbenam di ujung cakrawala Samudra Hindia. Kali ini Sofi mendapat Rp 33 ribu dari hasil jualannya. Sofi pun berjalan pulang. Sesampainya di rumah, Sofi disambut kembali oleh ibu dan adiknya.
Akhirnya Sofi dapat duduk di lantai sambil bersandar pada dinding. Melepas lelah sambil memakan hidangan yang disajikan ibunya saat itu, nasi dan oseng kangkung. Nenih kemudian mengambil keranjang dagangannya. Syukur terucap saat Nenih membuka keranjang, semua dagangan habis terjual.
Nenih tidak bisa meninggalkan rumahnya karena harus merawat Soni yang membutuhkan perawatan khusus. Soni tidak bisa mengatur buang air, dapat tiba-tiba histeris, atau melakukan hal berbahaya dengan benda-benda di sekitarnya. Karenanya, Nenih hanya bisa membuat gorengan di rumah untuk kemudian dijual Sofi.
"Kasihan Mama, tidak bisa kerja cari uang karena harus menjaga Soni. Papa meninggal dua tahun lalu. Aku yang harus bantu Mama cari uang. Jualan gorengan biar bisa beli makanan," kata Sofi saat ditemui di rumahnya, beberapa hari lalu.
Beruntung, Sofi tidak pernah mengeluh atau merasa malu untuk ikut menjadi tulang punggung keluarga. Sofi yang bercita-cita jadi guru ini tetap bersemangat belajar, sekaligus berusaha mencari uang untuk menghidupi keluarganya.
Nenih mengatakan hanya warga kampungnya yang peduli pada keluarganya. Sesekali, warga Kampung Cicalengka berdonasi meringankan beban hidup keluarga tersebut.
"Pemerintah desa, kecamatan, atau Bupati, belum ada yang peduli. Padahal anak saya penyandang cacat sejak lahir. Itu bukan masalah. Yang penting saya dan anak saya tetap berusaha untuk hidup. Berusaha tidak menyusahkan orang lain atau meminta-minta. Selama ikhlas, saya yakin perjuangan ini ibadah," kata Nenih.
Nenih menghitung kembali uang hasil jualan gorengannya. Sebanyak Rp 23 ribu disisihkan untuk membeli bahan baku pembuatan comro dan misro keesokan harinya. Sisanya, Rp 10 ribu, dipakai untuk membeli beras dan sayuran untuk makan keluarganya, sabun cuci, kebutuhan lainnya, dan uang jajan untuk Sofi.
Matahari pun tenggelam, azan magrib berkumandang. Sofi melaksanakan salat kemudian membongkar tas sekolahnya. Sofi kembali membaca buku-buku pelajarannya dan mengerjakan pekerjaan rumahnya. Mempersiapkan sekolah dan mencari uang untuk esok harinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar