Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Ahmad Syauqi, sastrawan ternama dari Negeri Piramida, Mesir, pernah bertutur, kenangan yang tersisa setelah kematian seseorang, ibarat kehidupan kedua, jika anak keturunannya hanya bisa bertahan hingga masa tertentu, maka tidak demikian dengan karya tulis, ia akan tetap bertahan di tengah gerusan masa.
Ahmad Syauqi, sastrawan ternama dari Negeri Piramida, Mesir, pernah bertutur, kenangan yang tersisa setelah kematian seseorang, ibarat kehidupan kedua, jika anak keturunannya hanya bisa bertahan hingga masa tertentu, maka tidak demikian dengan karya tulis, ia akan tetap bertahan di tengah gerusan masa.
Sosok M Quraish Shihab, yang dikenal sebagai pakar tafsir Alquran, tak pernah lelah menelurkan karya-karya emas. Ia selalu bisa menghadirkan karya yang enak dibaca. Ia bisa menuliskan kembali dengan cemerlang setelah mengupas isi kandungan dalam Alquran.
Lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, pada 16 Februari 1944, Quraish tumbuh dan berkembang dari keluarga keturunan Arab-Bugis. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga cendekiawan Muslim.
Ayahnya, Abdurrahman Shihab adalah ulama terpandang dan guru besar dalam bidang tafsir. Inilah yang membuat Quraish kecil sudah akrab dengan ilmu tafsir dan mulai mencintainya.
Selain diajari langsung oleh ayahnya, melalui pengajian setiap usai shalat Maghrib, Quraish juga mengenyam pendidikan formal hingga kelas 2 SMP di Makassar. Setelah itu, ia merantau ke Malang untuk menimba ilmu di Pondok Pesantren Darul Hadis al-Faqihiyah. Lantaran cerdas, ia cepat menguasai bahasa Arab.
Perantauannya dalam menimba ilmu tentang tafsir Alquran bertambah jauh lagi, yaitu ke negeri Mesir. Sang Ayah mengirimnya ke al-Azhar Kairo pada 1958 dan ia duduk di kelas dua I'dadiyah al-Azhar, setingkat tsanawiyah di Indonesia.
Bangku kuliahnya ia tempuh di lembaga pendidikan yang sama, yakni Universitas al-Azhar di Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadis. Tahun 1967, gelar Lc telah dikantonginya dan dua tahun kemudian ia sudah bisa meraih gelar MA pada jurusan yang sama.
Ia kemudian kembali ke Tanah Air dan mengabdikan diri dalam dunia pendidikan. Ia mengajar di IAIN Alauddin dan terus mendampingi ayahnya dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Pada 1980 ia terpanggil untuk kembali mendalami studi tafsir ke al-Azhar Kairo. Hanya dalam waktu dua tahun, ia bisa meraih peringkat mumtaz ma'a martabat asy-syaraf al-ula atau summa cum laude.
Pada 1984, Quraish kembali ke Tanah Air memulai pengabdian barunya ke Ibu Kota. Ia mengajar bidang tafsir dan ilmu Alquran pada Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (kini UIN).
Ayahnya, Abdurrahman Shihab adalah ulama terpandang dan guru besar dalam bidang tafsir. Inilah yang membuat Quraish kecil sudah akrab dengan ilmu tafsir dan mulai mencintainya.
Selain diajari langsung oleh ayahnya, melalui pengajian setiap usai shalat Maghrib, Quraish juga mengenyam pendidikan formal hingga kelas 2 SMP di Makassar. Setelah itu, ia merantau ke Malang untuk menimba ilmu di Pondok Pesantren Darul Hadis al-Faqihiyah. Lantaran cerdas, ia cepat menguasai bahasa Arab.
Perantauannya dalam menimba ilmu tentang tafsir Alquran bertambah jauh lagi, yaitu ke negeri Mesir. Sang Ayah mengirimnya ke al-Azhar Kairo pada 1958 dan ia duduk di kelas dua I'dadiyah al-Azhar, setingkat tsanawiyah di Indonesia.
Bangku kuliahnya ia tempuh di lembaga pendidikan yang sama, yakni Universitas al-Azhar di Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadis. Tahun 1967, gelar Lc telah dikantonginya dan dua tahun kemudian ia sudah bisa meraih gelar MA pada jurusan yang sama.
Ia kemudian kembali ke Tanah Air dan mengabdikan diri dalam dunia pendidikan. Ia mengajar di IAIN Alauddin dan terus mendampingi ayahnya dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Pada 1980 ia terpanggil untuk kembali mendalami studi tafsir ke al-Azhar Kairo. Hanya dalam waktu dua tahun, ia bisa meraih peringkat mumtaz ma'a martabat asy-syaraf al-ula atau summa cum laude.
Pada 1984, Quraish kembali ke Tanah Air memulai pengabdian barunya ke Ibu Kota. Ia mengajar bidang tafsir dan ilmu Alquran pada Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (kini UIN).
Kariernya kemudian semakin meroket, selain tetap mengajar sebagai dosen, ia juga menduduki kursi rektor IAIN Jakarta periode 1992-1998.
Ia juga pernah didaulat menjadi menteri agama selama dua bulan awal 1998, dan oleh presiden BJ Habibie kala itu ia diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Republik Arab Mesir dan Djibouti.
Selama menduduki jabatan terakhirnya di Kairo tersebut, ia menyempatkan diri untuk menulis mahakaryanya yang kini menjadi kebanggaan umat Islam, yaitu Tafsir al-Mishbah.s
Ia juga pernah didaulat menjadi menteri agama selama dua bulan awal 1998, dan oleh presiden BJ Habibie kala itu ia diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Republik Arab Mesir dan Djibouti.
Selama menduduki jabatan terakhirnya di Kairo tersebut, ia menyempatkan diri untuk menulis mahakaryanya yang kini menjadi kebanggaan umat Islam, yaitu Tafsir al-Mishbah.s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar