Shutterstock
Ilustrasi
Psikolog anak dan keluarga, Roslina Verauli MPsi, mengatakan bahwa kecenderungan yang terjadi di sebagian besar negara Asia, termasuk Indonesia, adalah sulit mengungkapkan rasacinta secara verbal. Bagi masyarakat Indonesia, rasa cinta dan kasih sayang lebih nyaman ketika diungkapkan melalui perbuatan, tanpa kata-kata.
"Berdasarkan penelitian, pola budaya di Asia dan tentunya salah satunya adalah di Indonesia adalah high context. Kita sangat bersandar pada konteks. Misalnya, melalui ngobrol sudah merasa dekat dengan orang lain, maka ngumpul saja sudah cukup. Makanya ada istilah makan enggak makan asal ngumpul," ujar Vera di sela acara peluncuran kampanye Nivea PS I Love You, Mom di Bistronomy Jakarta, Selasa (25/11/2014).
Kecenderungan pola budaya berupa high context tersebut, menurut Vera, membuat ungkapan-ungkapan secara verbal dianggap tidak perlu, lantaran perasaan cinta kasih sudah cukup diungkapkan dalam bentuk perbuatan dan perilaku.
Di samping itu, Vera pun menilai bahasa Indonesia tidak sekompleks bahasa lainnya, sehingga pilihan kata-kata yang digunakan untuk menyatakan rasa cinta jadi terdengar janggal dan kurang nyaman.
"Bahasa Indonesia tidak sekompleks bahasa asing, misalnya untuk kata hearing dan listening, (padanan) di kita (bahasa Indonesia) cuma mendengar," jelas Vera.
Kemudian, faktor lain yang memicu sulitnya orang Indonesia dalam mengungkapkan rasacinta adalah adanya jarak antara orangtua dan anak yang disebut power distance. Dalam budaya masyarakat tertentu, sosok orangtuabegitu tinggi derajat dan posisinya, sehingga kesempatan anak menjadi sulit untuk menyatakan rasa cinta pada orang tua, begitu juga sebaliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar