Tangan Piter begitu terampil meraut tempurung kelapa hingga menjadi sebuah ikat (ring) untuk batu akik. Matanya juga liar menggiliri detail sisi demi sisi kerajinan seni yang ia cintai. Saat menjalani masa-masa pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), Piter mengisi harinya dengan berkreasi tanpa batas.
Haluan bertemu Piter di Lapas Klas IIA Muaro Padang, di sela-sela pelatihan pembuatan bata ringan yang diikuti 20 warga binaan pemasyarakatan (WBP) Lapas. Piter tidak ikut serta dalam latihan tersebut karena sudah punya keahlian sendiri yang mengagumkan, membuat ikat dari tempurung.
“Saya sudah membuat kerajinan ini sejak 2013 yang lalu, waktu itu saya masih di Lapas Sijunjung. Sempat pindah ke Lapas Bukittinggi dan sekarang di sini, saya tetap sibuk membuat ikek dari bahan tempurung. Awalnya saya mempelajarinya dari seorang teman sesama WBP di Lapas Sijunjung,” ucap Piter mengenang masa lalunya.
Membuat ikat cincin dari tempurung kelapa memang masih terdengar asing di telinga. Tapi ketika batu akik sedang booming dan digilai seperti sekarang, hasil kerajinan yang diciptakan Piter layak dianggap berpotensi menjadi salah satu usaha kreatif nan menjanjikan. Apalagi, ikat yang ia buat tak kalah indah dibanding ikat yang terbuat dari bahan yang sudah lumrah seperti besi putih, titanium, perak bali dan perak.
“Untuk membuatnya, saya butuh tempurung kelapa tua, gulungan kecil tembaga untuk penghias, arang tempurung dan amplas (kertas pasir) untuk mengilatkan serta beberapa pelatan sederhana. Sedangkan untuk ukiran pada ikek, saya mengandalkan perasaan dan kata hati saja untuk mengukir suatu motif yang saya anggap indah,” terang Piter.
Piter mangaku, kebanyakan hasil ikat cincin yang dibuatnya merupakan pesanan teman-temannya sesama WBP di Lapas Muaro. Sedangkan mengenai upah jasa, satu ikat dijualnya seharga Rp50 ribu dengan permintaan model sesuai dengan selera pemesan.
“Dalam sehari saya hanya mampu menyelesaikan 2 pesanan, berarti pemasukan saya dalam sehari kurang lebih Rp100 ribu. Sistem pembayaran dari teman-teman yang memesan bisa tunai dan cicilan. Tapi, karena sesama penghuni lapas tentu tidak selalu punya uang, ada yang mencicilnya Rp10 ribu hingga 30 ribu per bulan. Saya tidak mempermasalahkannya,” ucap Piter sambil tersenyum.
Pihak pengelola Lapas mengaku terkesan dengan keahlian yang dimiliki Piter, Kepala Lapas (Kalapas) Klas IIA Muaro Padang Destri Syam begitu antusias ketika mendemonstrasikan hasil kerajinan ikek tempurung buatan Piter di hadapan para wartawan.
“Ikat yang dijual di pasaran, itu sudah barang biasa. Ini ikat yang luar biasa, nilai seninya tinggi dan dikerjakan dengan tangan dari awal hingga tahap finishing. Hasilnya bisa lihat sendiri, luar biasa,” ucap Destri Syam.
Kalapas juga mengatakan, Ikat tempurung karya Lapas Muaro pernah dipajang di etalase salah satu toko perhiasan di Jakarta, dan mendapat komentar cukup baik dari pengunjung toko tersebut.
“Sejauh ini memang baru saya saja yang membuat ikat tempurung di Lapas ini, teman-teman ada yang sedang belajar, tapi belum bisa. Kalau banyak yang bisa tentu bagus juga dipasarkan sampai ke luar lapas karena termasuk unik,” harap Piter.
Sebagai WBP, Piter mengaku masih bisa menjalani hidup dengan normal meskipun tidak bisa berinteraksi langsung dengan dunia luar. Masa-masa yang dilewati di dalam Lapas dianggapnya sebagai waktu untuk menebus segala kesalahan yang dilakukan pada masa lalu. Apalagi, ia disibukkan dengan kegiatan membuat ikat tempurung di Lapas, ia merasa senang dengan aktivitasnya itu.
“Namanya saja kita ditahan atas kesalahan, tentu akan sangat tertekan batin jika tak berpandai-pandai mengisi waktu. Sejauh ini kehidupan saya di Lapas cukup baik dengan aktifitas yang saya jalani saat ini. Dari pagi hingga sore saya asik meraut dan mengukir tempurung, lalu merekatkan gulungan kecil tembaga sebagai pelengkap hiasan. Pihak lapas juga senang saya beraktifitas positif seperti ini,” tambahnya lagi.
Sejak 2013 Piter membuat ikek cincin dari tempurung, hingga 2018 nanti mungkin Piter tetap setia melakukan hal yang sama. Karena hingga 2018 Piter harus bersabar menjalani masa pembinaan di Lapas. Meskipun masih tiga tahun lagi, ia mengaku biasa-biasa saja dan tak sekalipun mengutuk diri.
“Bagaimanapun, kewajiban harus dijalani. Meskipun saya jarang dikunjungi keluarga, saya tetap bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari di Lapas dengan membuat ikek cincin ini. Bagi saya keahlian ini merupakan karunia Tuhan yang patut disukuri,” kata Piter kembali tersenyum.
Piter yang berasal dari Solok itu mengaku belum menikah. Di kampung halaman, hanya adiknya yang masih tersisa dari keluarga, itupun sudah berkeluarga dan mempunyai tanggungan hidup. Hal itu membuat Piter maklum dan rela karena jarang mendapat kunjungan keluarga.
“Nanti setelah keluar dari Lapas, saya mungkin akan mengembangkan usaha saya ini. Karena setahu saya tak banyak orang yang membuat ikek dari tempurung. Kalaupun ada, saya yakin orang itu juga mantan WBP. Dan saya hanya berdoa, semoga hingga nanti keluar dari Lapas, batu akik masih digilai banyak orang, agar kerajinan ikek cincin dari tempurung ini tetap bisa saya andalkan untuk mencari makan,” tutup Piter. ***H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar