Tan Sri Dato’ Seri Utama Dr. Rais Yatim (empat-kiri), menjelaskan keinginannya di hadapan para tokoh, untuk merangkul seluruh masyarakat untuk memulai Perjuangan Kebudayaan, demi mengembalikan kedigdayaan suku bangsa Minangkabau ke tempat seharusnya, Rabu (6/9) malam. JULI ISHAQ
Laporan: Juli Ishaq
Apa tolok ukur satu suku bangsa dinilai sebagai suku bangsa pilihan. Apakah yang kokoh sendi kebudayaannya, teraplikasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, sehingga menghasilkan keturunan-keturunan pilihan, yang berpengaruh besar terhadap tatanan kehidupan secara keseluruhan. Kalau itu ukurannya, apakah Minagkabau sudah demikian?
Hal itu pula yang menjadi kerisauan Tan Sri Dato' Seri Utama Dr. Rais Yatim, anak Minangkabau yang lahir dan besar di Jelagu, Negeri Sembilan, Malaysia, yang telah bersilih ganti posisi sejak 1974 sebagaimenteri di negeri jiran, dan saat ini menjabat Penasihat Kerajaan Malaysia.
Kemarin malam, Rabu (6/9), Tan Sri pada kedatangannya ke Sumbar yang ia sebut sebagai pulang kampung, menggelar diskusi ringan bersama para tokoh Minangkabau yang berkesempatan hadir. di Katagiaan Resto, Kota Padang, selepas Magrib ditunaikan.
"Coba kita lihat benda kotak ini," kata Tan Sri dalam diskusi itu, sambil mengangkat telfon genggamnya ke udara. "Ini yang membuatnya orang Korea. Isinya mereka yang pikirkan, cara mengoperasikannya mereka yang tentukan, bentuknya juga mereka yang menentukan," sebutnya lagi dengan nada risau.
Dengan contoh itu, Tan Sri seolah ingin membangunkan kesadaran, bahwa Minangkabau tidak lagi menghasilkan keturunan yang maju dan terdepan di berbagai bidang. Padahal, jika menengok ke sejarah, orang Minang telah merantau sejak lama, dan menggoreskan sejarah kebesaran Minangkabau di tanah perantauan. Bahkan, di Negeri Sembilan sendiri sampai saat ini, kebesaran Minangkabau itu masih turun temurun tiada putus.
"Kampung saya di Malaysia itu namanya Gagu, Luak Jelagu. Di sana, orang masih berbahasa Minang totok. Bahkan lebih totok dibanding bahasa Minang di sini (Sumbar.red). Bayangkan, masih ada nama orang di sana: Lanik, Labu, dan lain-lain. Sejak Tahun 1773, raja di Negeri Sembilan itu orang Pagaruyung. Sekarang yang Dipertuan Basa itu masih ada. Di bawahya juga masih ada Basa nan Ampek. Semuanya beradat, tapi tetap berpengaruh," kata Tan Sri lagi.
Namun, bila ditengok di Sumbar sendiri sebagai pusat etnis Minangkabau, atau di perantauan belahan dunia lain, kurangnya pemahaman dan aplikasi akan adat, nilai, norma, dan bahasa, telah menjadi alasan makin "kurang berkukunya" orang Minang.
Oleh karena itu, Tan Sri berpendapat, jalan budaya adalah satu-satunya cara untuk mengembalikan kejayanaan Minangkabau di tengah-tengah peradaban dunia. Meskipun sayangnya, perhatian pada budaya itu masih jauh dari kata cukup.
Tan Sri yang bermuasal dari Palupuah Agam itu mengaku, beberapa waktu lalu ia bertemu dengan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla yang jugaurang sumando Minang. Pada momen itu ia ikut merangkul wapres untuk menggerakkan perjuangan budaya dan, menilik lagi kepada sejarah besar yang hidup di masa lalu.
Untuk konteks Keminangkabauan sendiri, Tan Sri menilai sudah sewajarnya perserikatan Minangkabau bergerak cepat. “Kokohkan Perserikatan Minang. Kita bergerak terus dengan fokus pertama bidang budaya. Setelah itu baru kita rambah ekonomi. Setelah itu teknologi. Insaflah kita, tidak satu pun orang Minang jadi tokoh penting semisal di teknologi.Harusnya, panggil anak-kemenakan Minang yang cerdik-cerdik itu. Ajak mereka bergerak bersama,” ajak Tan Sri.
Namun begitu, Tan Sri memberi alas kepada semua peserta diskusi. bahwa perjuangan budaya yang dimaksud harus bersih dan suci dari niat dan gerakan politik. “Jangan ada politik, tapi murni gerakan budaya. Sederhananya, kita ingin kembali menerapkan kebudayaan Minangkabau seperti sedianya,” tukasnya.
Berbagai pandangan ikut disampaikan oleh beberapa tokoh yang hadir dalam pertemuan itu. Di antara tokoh yang hadir sebut saja,Sosiolog Mochtar Naim, Ketua LKAAM Sumbar M Sayuti Dt. Rajo Panghulu, Tokoh Diaspora Minang Burmalis Ilyas, Tokoh FAMM Prof. Amri Aziz, Seniman Young Patapayan, Ketua PWI Sumbar Heranof, dan Insan Pers seperti Ismet Fanany MD, Alwi Karmena, dan Eko Yance Edri.
Sosiolog Mochtar Naim, dalam diskusi menyebutkan kondisi Minangkabau saat ini sedang gawat, karena kemerosotan dari segala lini telah dimulai sejak zaman PRRI. Kondisi gawat yang ia maksud juga sinkrong dengan hasil survey Badan Pusat Statistik (BPS), di mana Sumbar dinilai sebagai provinsi dengan tingkat kebahagiaan masyarakat terendah ketiga di Indonesia.
“Itu pengukuran dari segala aspek dan itu fakta dari BPS. Bayangkan, ketiga dari bawah, hanya di atas NTT dan Papua. Kami di rantau dan di ranah berpendapat, untuk memperbaikinya kita harus kembali ke pangka kaji (cara-cara semula). Minang tetap bagian dari NKRI, tapi kita harus hidupkan nilai-nilai kebesaran kita dengan pokok utama Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitbullah (ABS-SBK),” kata Mochtar.
Di sisi lain, Ketua LKAAM Sumbar M Sayuti Dt. Rajo Panghulu menilai, masyarakat Minangkabau mesti cepat bergerak, karena Minangkabau memiliki segala syarat untuk menjadi suku bangsa yang lebih maju dibanding kondisi saat ini.
“Syarat itu adalah keistimewaan kita. Pertama, kita kuat mempertahankan sistem kekerabatan matrilineal. Basuku ka Ibu, Banasab ka Bapak, Basako ka Mamak. Kedua, hanya kita yang berfalsafah menyejalankan adat dan agama melalui ABS-SBK,” kata Sayuti.
Dari percakapaan dan diskusi ringan selama lebih kurang tiga jam tersebut, Tan Sri bersama para tokoh pun sepakat mendorong penyelenggaraan Kongres Rakyat Minangkabau, guna membicarakan lebih lanjut dan intens mengenai perjuangan kebudayaan yang mesti dilakukan, sehingga cita-cita mengembalikan kedigdayaan Minangkabau ke tempat seharusnya, sesegera mungkin dapat terlaksana. (*)
kopas Haluan Padang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar