Veronika Kusumaryati - detikMovie
Jakarta - Kapitalisme adalah sebuah medan pertempuran tempat ambisi, keserakahan, kecerdasan dan kecepatan menjadi kunci. Negara kapitalis seperti Amerika Serikat memiliki sebuah mimpi, impian Amerika, yang mewujud dalam pengejaran atas kekayaan, kemewahan, reputasi dan kemuliaan. Film 'Limitless' adalah metafora penting atas mimpi kapitalis Amerika.
Diangkat dari novel karya Alan Glynn berjudul 'The Dark Fields', film ini diproduseri dan dibintangi oleh Bradley Cooper. Ia berperan sebagai Eddie Morra, seorang penulis yang beralih menjadi broker investasi lalu senator. Eddie tinggal di New York, mengalami writer’s block, putus dengan pacarnya, dan tidak bahagia. Ia bertemu mantan kakak iparnya, Vernon yang menawarkan sebuah pil ajaib yang dapat membuatnya jauh lebih cerdas dari rata-rata.
Obat hasil eksperimentasi bernama NZT itu memiliki kekuatan luar biasa. Dengan pil itu orang akan mampu menggunakan 100% kapasitas otaknya (dibanding rata-rata yang hanya 20%). Tak disangka, ketika ia mulai mengalami ketergantungan, ia menemukan Vernon mati dibunuh. Eddie pun membawa uang dan pil NZT yang ditinggalkan Vernon.
Dengan pil itu, kecerdasan, fokus dan kepercayaan dirinya meningkat tajam. Ia bisa menyelesaikan bukunya dengan cepat. Ia pun berubah menjadi broker investasi dan saham. Dengan cepat, reputasinya menggoyah dunia keuangan New York. Seorang konglomerat kaya, Carl Van Loon (dimainkan oleh aktor kawakan, Robert de Niro) tertarik padanya. Ia pun menggunakan Eddie sebagai perantara dalam sebuah merger bernilai jutaan dollar.
Hidup tampaknya cukup sempurna bagi Eddie Morra. Namun persoalan tak selesai. Eddie sering dikejar-kejar seseorang tak dikenal. Gennady, seorang preman Eropa Timur, tempat dia meminjam modal awal usahanya, terus-menerus menagih uang serta pil NZT yang pernah secara tidak sengaja ia telan. Krisis pun menghantui karena NZT benar-benar membuatnya lupa atas apa yang telah dilakukannya.
Sebuah kasus pembunuhan terjadi. Pil NZT tak ada lagi. Seluruh kekayaan dan nama baiknya mulai terancam. Dan drama thriller ini pun ditutup dengan sebuah akhir yang tak mengejutkan: bagaimana pun, kapitalisme akan menang.
Film Hollywood seperti 'Limitless' ini memang mudah dibaca sebagai sebuah representasi atas apa yang terjadi di dunia keuangan global saat ini. Keserakahan orang-orang bisnis dan busuknya para politisi ditampilkan sebagai sebuah hal yang natural.
Istimewanya, film ini berusaha menyampaikannya dengan berbagai efek visual serta sinematografi yang menyenangkan dan cukup canggih. Piranti seperti zoom teleskopik, lensa ikan (fish eye lense), efek visual dari kata-kata yang berjatuhan atau bahkan citraan buatan komputer (CGI) digunakan secara maksimal.
Bradley Cooper mampu menjadi (seperti peran-perannya yang lain) sosok tampan yang kadang depresif, menjengkelkan sekaligus dicintai. Meski di beberapa bagian plot terasa janggal dan tidak masuk akal (kemunculan orang tak dikenal, tindak kriminalitas yang tidak berkontribusi penting bagi cerita secara keseluruhan) serta beberapa hal lain lewat tanpa penjelasan, film thriller dengan sentuhan science-fiction ini lumayan menarik dan menyenangkan. Cukup menjadi hiburan.
Veronika Kusumaryati, belajar di Departemen Kajian Film Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Ia salah seorang pendiri Klub Kajian Film IKJ. Kini bekerja sebagai kurator film.
(mmu/mmu)
Diangkat dari novel karya Alan Glynn berjudul 'The Dark Fields', film ini diproduseri dan dibintangi oleh Bradley Cooper. Ia berperan sebagai Eddie Morra, seorang penulis yang beralih menjadi broker investasi lalu senator. Eddie tinggal di New York, mengalami writer’s block, putus dengan pacarnya, dan tidak bahagia. Ia bertemu mantan kakak iparnya, Vernon yang menawarkan sebuah pil ajaib yang dapat membuatnya jauh lebih cerdas dari rata-rata.
Obat hasil eksperimentasi bernama NZT itu memiliki kekuatan luar biasa. Dengan pil itu orang akan mampu menggunakan 100% kapasitas otaknya (dibanding rata-rata yang hanya 20%). Tak disangka, ketika ia mulai mengalami ketergantungan, ia menemukan Vernon mati dibunuh. Eddie pun membawa uang dan pil NZT yang ditinggalkan Vernon.
Dengan pil itu, kecerdasan, fokus dan kepercayaan dirinya meningkat tajam. Ia bisa menyelesaikan bukunya dengan cepat. Ia pun berubah menjadi broker investasi dan saham. Dengan cepat, reputasinya menggoyah dunia keuangan New York. Seorang konglomerat kaya, Carl Van Loon (dimainkan oleh aktor kawakan, Robert de Niro) tertarik padanya. Ia pun menggunakan Eddie sebagai perantara dalam sebuah merger bernilai jutaan dollar.
Hidup tampaknya cukup sempurna bagi Eddie Morra. Namun persoalan tak selesai. Eddie sering dikejar-kejar seseorang tak dikenal. Gennady, seorang preman Eropa Timur, tempat dia meminjam modal awal usahanya, terus-menerus menagih uang serta pil NZT yang pernah secara tidak sengaja ia telan. Krisis pun menghantui karena NZT benar-benar membuatnya lupa atas apa yang telah dilakukannya.
Sebuah kasus pembunuhan terjadi. Pil NZT tak ada lagi. Seluruh kekayaan dan nama baiknya mulai terancam. Dan drama thriller ini pun ditutup dengan sebuah akhir yang tak mengejutkan: bagaimana pun, kapitalisme akan menang.
Film Hollywood seperti 'Limitless' ini memang mudah dibaca sebagai sebuah representasi atas apa yang terjadi di dunia keuangan global saat ini. Keserakahan orang-orang bisnis dan busuknya para politisi ditampilkan sebagai sebuah hal yang natural.
Istimewanya, film ini berusaha menyampaikannya dengan berbagai efek visual serta sinematografi yang menyenangkan dan cukup canggih. Piranti seperti zoom teleskopik, lensa ikan (fish eye lense), efek visual dari kata-kata yang berjatuhan atau bahkan citraan buatan komputer (CGI) digunakan secara maksimal.
Bradley Cooper mampu menjadi (seperti peran-perannya yang lain) sosok tampan yang kadang depresif, menjengkelkan sekaligus dicintai. Meski di beberapa bagian plot terasa janggal dan tidak masuk akal (kemunculan orang tak dikenal, tindak kriminalitas yang tidak berkontribusi penting bagi cerita secara keseluruhan) serta beberapa hal lain lewat tanpa penjelasan, film thriller dengan sentuhan science-fiction ini lumayan menarik dan menyenangkan. Cukup menjadi hiburan.
Veronika Kusumaryati, belajar di Departemen Kajian Film Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Ia salah seorang pendiri Klub Kajian Film IKJ. Kini bekerja sebagai kurator film.
(mmu/mmu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar