TERLIBAT TERORIS
MATARAM, HALUAN—Aparat kepolisian dari Polda Nusa Tenggara Barat akhirnya dapat menangkap Ustad Abrori, pimpinan Pondok Pesantren Khilafiah Umar Bin Khatab di Desa Sanolo, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, setelah dua hari melakukan pengejaran. Kemudian polisi juga menangkap empat gadis bercadar, karena diduga melakukan teror bom buku.
Kapolda NTB Brigjen Polisi Arif Wachyunadi di Mataram, Sabtu (16/7) mengatakan, ustad Abrori dibekuk di kediaman orangtuanya di Desa Sila Kenanga, Kecamatan Kenanga, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada Jumat (15/7) sekitar pukul 13.00 Wita atau seusai Shalat Jumat.
Pimpinan pondok pesantren (ponpes) yang diduga terlibat jaringan teroris itu dibawa ke Markas Polda NTB di Mataram pada Sabtu pagi dengan menggunakan helikopter polisi untuk diperiksa intensif.
Kapolda NTB Brigjen Polisi Arif Wachyunadi dan Kepala Satuan (Kasat) Brigade Mobil (Brimob) Polda NTB Kombes Pol. Imam Santoso, ikut dalam helikopter yang diterbangkan dari Dompu menuju Mataram. Sebelum dibawa ke Mataram, Ustadz Abrory sempat diinapkan di Kabupaten Dompu untuk memberikan keterangan awal.
Saat tiba di Bandara Selaparang Bima, Ustad Abrori langsung dinaikkan ke kendaraan taktis (rantis) Baracuda Brimob Polda NTB, namun kepalanya ditutup kain hitam, dan dikawal lima orang anggota Brimob.
Ustad Abrori dikejar polisi sejak Rabu (13/7) atau saat penggerebekan Ponpes Umar Bin Khatab Bima itu, namun polisi tidak menemukan seorang pun pengurus dan para santri dalam ponpes itu.
Namun, polisi menemukan sejumlah bahan peledak dan benda berbahaya lainnya, yakni sembilan buah bom molotov yang dirakit menggunakan botol, 30 batang anak panah, dua unit perangkat utama komputer (CPU) dan satu unit printer, dan sepucuk senapan angin.
Polisi juga menemukan sebilah pedang, sebilah golok, sebilah kapak, satu unit telepon genggam (HP), satu peti Al Quran, dan selembar kaos/rompi seragam laskar Jamaah Anshory Taudid (JAT), puluhan keping VCD jihad dan sejumlah bahan perakit bom seperti kabel, solder dan korek api.
Penggerebekan Ponpes Umar Bin Khatab itu dilakukan pada hari ketiga setelah ledakan bom rakitan di ponpes itu, karena upaya polisi dihalang-halangi pengurus dan para santri serta mantan santri, serta adanya dugaan bahan peledak di pintu masuk ponpes itu.
Ledakan bom rakitan di salah satu ruangan dalam Ponpes Khilafiah Umar bin Khatab, itu terjadi pada Senin (11/7) sekitar pukul 15.30 Wita, yang menewaskan seorang pengurus ponpes yakni Suryanto Abdullah alias Firdaus.
Jenasah Firdaus diambil sanak keluarganya dari lokasi kejadian karena polisi tidak diizinkan masuk ke ponpes itu, meskipun untuk tugas olah Tempat Kejadian Perkara (TKP), kemudian menyerahkannya kepada polisi. Jenasah Firdaus diotopsi dan pada Selasa (12/7) malam, kemudian diserahkan kepada sanak keluarganya untuk dikuburkan.
Kapolda NTB mengatakan, saat ditangkap Ustadz Abrori bersikap kooperatif dan menyatakan akan bertanggung jawab dan siap untuk membantu kepolisian dalam rangka penegakan hukum.
“Kami bawa ke Mapolda NTB untuk kepentingan penyidikan lebih lanjut, terkait dugaan keterlibatannya dalam jaringan teroris seperti yang diberitakan belakangan ini,” ujarnya.
Hasil pemeriksaan awal, kata Arif, mengarah kepada dugaan keterlibatan Ustad Abrori dalam jaringan teroris sehingga akan dikenakan pasal tindak pidana terorisme.
Delapan Tersangka
Polda Nusa Tenggara Barat menetapkan delapan tersangka terkait kasus ledakan bom rakitan Pondok Pesantren Khilafiah Umar Bin Khatab, termasuk ustad Abrori. Mereka akan dikenakan Undang Undang Terorisme yakni pasal 13 B.
Kepala Bidang (Kabid) Humas Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) AKBP Sukarman Husein di Mataram, Sabtu mengatakan, Undang Undang (UU) terorisme yang dimaksud yakni UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pasal 13 B dalam UU tersebut menyebutkan seseorang menyebarkan kebencian yang dapat mendorong orang, memengaruhi orang atau merangsang terjadinya terorisme dapat dikenakan pidana paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun.
Kedelapan tersangka tindak pidana terorisme itu yakni Mustakim Abdullah (17) berstatus pelajar asal Desa O’o, Kecamatan Dompu, Kabupaten Dompu, Rahmat Ibnu Umar (36) swasta asal Desa Talabiu, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima, M. Yakub (26) kondektur bemo asal Desa Waro, Kecamatan Woja, Kabupaten Dompu.
Berikutnya, Rahmat Hidayat (22) swasta asal Desa O’o, Kecamatan Dompu, Kabupaten Dompu, Zulkifli (23) tani yang juga berasal dari Desa O’o, Kecamatan Dompu, Kabupaten Dompu, Muslimin Talib (38) guru asal Desa Woja, Kecamatan Woja, Kabupaten Dompu., dan Sahrir H. Manhir (23) pengendara ojek asal Desa O’o, Kecamatan Dompu, Kabupaten Dompu dan Abrori.
Selain Abrori, tujuh tersangka lainnya merupakan santri dan sanak keluarganya. Keterlibatan mereka karena ada keterkaitan dengan barang bukti yang ditemukan dan mereka mengetahui aktifitas yang dilakukan di Ponpes tersebut, namun tidak melaporkan kepada aparat berwajib.
Satgassusgab Polda NTB juga mengincar sejumlah pengurus Pondok Pesantren Khilafiah Umar Bin Khatab yang teridentifikasi terlibat tindak pidana terorisme, meskipun pimpinannya sudah ditangkap.
Pengurus Ponpes Umar Bin Khatab itu dikabarkan melarikan diri ke daerah pegunungan di wilayah Kabupaten Bima dan Dompu, namun sudah teridentifikasi dari hasil pemeriksaan saksi.
Dari hasil penyelidikan awal diketahui penghuni Ponpes Umar Bin Khatab Bima itu terdiri dari 15 orang alumni santri yang sebagiannya menjadi pengurus ponpes dan 36 orang santri yang masih menjalani pendidikan.
Bom Buku
Sementara itu, rumah Brigadir Polisi Mulyadin, di Kampung Melayu, Kecamatan Asakota, Kota Bima, NTB diteror bom buku Sabtu (16/7). Empat gadis bercadar berusia 18 tahun, yang diidentifikasi sebagai pelaku, telah diamankan.
Sofian As’ary, warga setempat yang berada di lokasi kejadian mengatakan, pukul 15.30 wita, anak Brigadir Mulyadin melihat tiga perempuan bercadar masuk pekarangan rumahnya dan meletakkan sebuah kantong berisi buku tebal di dekat tangga rumah. Rumah Mulyadin adalah rumah panggug terbuat dari kayu. Satu perempuan bercadar lainnya berada di luar pekarangan. Melihat itu, sang anak memberitahu orang tuanya. Namun empat perempuan bercadar itu melarikan diri, dan menghilang di perkampungan.
Melihat sebuah buku tebal dan mencurigakan, warga lalu berinisiatif melaporkan benda mencurigakan itu pada polisi. Rumah Mulyadin hanya berjarak 75 meter dari Polsek Asakota, tempatnya berdinas sehari-hari. Satu setengah jam kemudian Tim Gegana Brimob Bima tiba di lokasi. Benda mencurigakan itu lalu diledakkan untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan.
Penyisiran Tim Gegana di tempat kejadian juga tidak menemukan benda mencurigakan lain. “Serpihan buku yang telah diledakkan dibawa Gegana,” kata Sofian.
Kapolresta Bima, AKBP Kumbul Kusdwijanto mengatakan, pihaknya menerima laporan benda mencurigakan itu dari warga. “Empat orang telah kami amankan untuk dimintai keterangan. Semuanya perempuan. Masih remaja. Usianya sekitar 18 tahun,” katanya.
Polisi, kata Kumbul, masih mendalami motif empat perempuan ini. Empat perempuan itu diamankan di rumah mereka, yang berdekatan dengan rumah Brigadir Mulyadin, berjarak 10 meter. Empat perempuan itu dimintai keterangan di Mapolresta Bima.
Sementara dipastikan, dua dari perempuan bercadar itu adalah bersaudara. Sementara dua lainnya bertetangga. Dari rumah empat perempuan ini, polisi mengamankan beberapa cadar dan jubah perempuan, termasuk sebuah tas.
Kejadian ini sempat menggemparkan warga kampung. Lokasi kejadian yang berada di pinggir jalan dipadati warga. (h/met/ant/dtc)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar