IST
Ilustrasi Kabah
Berita Terkait: Lebaran 2011
Laporan Wartawan Tribun Kaltim, Kholish Chered
TRIBUNNEWS.COM, BALIKPAPAN - Di tengah penantian kaum Muslimin Indonesia terhadap hasil ru'yatul hilal dan sidang itsbat di Kementerian Agama RI, Senin (29/8/2011), salah seorang ulama Kaltim mengingatkan agar pemerintah bisa memperhatikan hasil konferensi Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Turki tahun 1978.
Amir Jama'ah Muslimin (Hizbullah) Kaltim di Balikpapan, Ustadz Adzro'ie 'Abdus Syukur, Senin (29/8/2011), mengingatkan agar para pihak bisa merujuk pada hasil konferensi OKI di Turki pada tahun 1978. Termasuk pemerintah Indonesia yang turut mengirimkan delegasinya.
"Dalam konferensi tersebut, dihasilkan tiga keputusan penting terkait penanggalan Islam. Pertama, sentral penanggalan Islam adalah Mekkah Al Mukarramah. Kedua, hasil ru'yatul hilal di suatu negeri berlaku untuk seluruh dunia. Ketiga, Saudi Arabia wajib menghimpun informasi dari berbagai penjuru dunia dan dilanjutkan menyebarkannya ke seluruh dunia pula," katanya.
Karena itu, prinsip yang harus diperhatikan adalah ru'yatul hilal bersifat global. Artinya, bila di suatu negara telah terlihat hilal, maka penetapan awal bulan baru berlaku pula untuk seluruh dunia.
"Contohnya, bila malam ini kita sudah mendapat informasi Saudi Arabia sudah menetapkan 1 Syawal karena telah terlihat hilal, maka Indonesia harus mengikuti hal tersebut. Karena Indonesia dengan Saudi Arabia hanya berselisih waktu sekitar empat jam, tidak sampai berselisih hari. Bisa jadi hilal belum tampak di Indonesia, namun beberapa jam kemudian sudah tampak di Saudi Arabia," katanya.
Dalil untuk metode ru'yah global adalah Surah Ali Imran ayat 96 yang berbunyi: "Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam".
Ustadz Adzro'ie mengatakan, penanggalan secara global bukanlah hal yang sulit untuk dilaksanakan. "Untuk penanggalan matahari (syamsiyah), telah ada sentral di Grenwich Mean Time (GMT). Semestinya penanggalan bulan (qomariyah) disentralkan di Mekkah Mean Time (MMT)," katanya.
Terkait ormas Islam di Indonesia yang memberlakukan metode hisab dan ru'yatul hilal dalam penetapan awal bulan, Adzro'ie mengatakan keduanya memiliki dalil rujukan tersendiri. Bahkan kedua metode harus saling mendukung.
"Hisab digunakan untuk memperkirakan waktu. Namun untuk memastikannya, digunakan ru'yah. Tanpa hisab, kita bisa keliru dalam menentukan waktu pengamatan. Bisa jadi kita sudah mengamati hilal di hari ke 25. Padahal belum masuk waktu pengamatan yang tepat," katanya.
Meskipun demikian, kedua metode juga harus memperhatikan hasil metode ru'yal global. "Artinya, walaupun di suatu negara sudah ada hasil hisab dan ru'yah, namun negara tersebut harus mencari informasi tentang hasil ru'yah di berbagai negara lain (ru'yah global), khususnya di Saudi Arabia. Bilamana di negara lain sudah tampak hilal, maka harus dilakukan penyesuaian waktu," katanya.
Terkait kemungkinan berbedanya penetapan 1 Syawal 1432 Hijriyah di Indonesia, Adzro'ie menghimbau agar ummat Islam senantiasa berlapang dada dalam memandang masalah yang telah berlangsung lama tersebut. Memperuncing masalah tidak akan menyelesaikan persoalan.
Kemudian, para ulama dan umara perlu mengkaji ulang metode penentuan penanggalan, dan menyatukan visi misinya terkait ru'yah global. "Bila masing-masing negara menentukan penanggalan, bisa jadi terjadi empat hari tanggal 1 Syawal," katanya.
Berikutnya, bilamana kaum Muslimin telah mendapatkan informasi yang akurat tentang hasil ru'yah global, maka dihimbau untuk membatalkan puasanya. Karena berpuasa di 1 Syawal hukumnya haram.
"Sikap kami, walaupun sudah ada hasil hisab, kami masih menunggu hasil ru'yatul hilal di Indonesia dan hasil ru'yah global. Setelah ru'yah di Indonesia, perlu dicermati hasil ru'yah global. Mungkin sudah ada hasilnya sekitar pukul 01.00 malam nanti," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar