Lady gaga
Campurtangan tangan yang terlalu jauh dan sangat diluar dugaan. Pihak keamanan Amerika rupanya telah bertemu dengan pihak Polri. Pertemuan membahas masalah keamanan konser Lady Gaga di Indonesia.
Duta Besar (Dubes) Amerika Serikat untuk Indonesia Scot Marciel mengakui adanya pertemuan itu saat kunjungan ke DPR, Jakarta, Rabu (23/5).”Jadi betul ada pertemuan tapi itu dari pihak keamanan kami yang membahas aspek keamanan,” ujar Marciel saat itu.
Muncul dugaan, pertemuan itu merupakan bentuk intervensi AS terhadap Polri agar memberikan izin konser Lady Gaga. Namun Dubes AS membantah tudingan itu. Walau begitu, persoalan apakah Polri mengizinkan atau tidak, pihak AS tidak ikut campur. Masalah itu diserahkan kepada Polri yang memiliki kewenangan. “Tapi terlepas dari itu kita tidak terlibat dengan polisi mengenai masalah ini,” kata Marciel.
Pihak AS, lanjutnya, tidak mau mengintervensi terkait kehadiran Lady Gaga. Namun, dia percaya bahwa pihak terkait akan bersikap adil. Tidak hanya mendengarkan suara kelompok tertentu saja.”Ini kami membiarkan warga Indonesia memutuskan tapi kami berharap pendapat dan pandangan warga Indonesia secara keseluruhan didengar tidak hanya dari kelompok kecil,” terangnya.
Menag Bersikukuh
Rupanya tidak cuma pihak apa yang dicap pigak Asing dan komperadornya sebagai ‘kelompok garis keras’ yang menolak konser si pemuja setan. Menteri Agama Suryadharma Ali juga bersikukuh menolak penyelenggaraan konser Lady Gaga di tanah air. Alasannya, tidak hanya berkaitan dengan nilai pornografi.
Pria yang akrab disapa SDA itu menjelaskan, pertimbangan untuk menolak konser Lady Gaga tidak sekadar penampilannya yang berunsur pornografi. Tapi ada nilai lain yang patut juga dipertimbangkan pemerintah.
Bahkan, SDA membandingkan Lady Gaga dengan sejumlah penyayi seksi dalam negeri dan luar negeri seperti Julia Perez, Beyonce Knowles, dan Katy Perry. “Kenapa Jupe bisa, Katy Perry bisa, Beyonce bisa? Ada orang yang memandangnya sebagai entertain saja, tapi kalau Lady Gaga mungkin dianggapnya ideologis,” ujar SDA seperti dikutip inilah.com.
Meski secara penampilan, deretan nama artis yang disebut SDA sama-sama berpenampilan seksi, namun secara ideologi Lady Gaga berbeda. Nilai ideologis, kata dia, perlu juga menjadi pertimbangan negara dalam memberikan izin penyelenggaraan konser tersebut. “Ada nilai-nilai yang harus diperhatikan,” katanya.
Melihat pesan dalam syair lagu Lady Gaga dan penampilan dalam tiap konsernya, SDA bersikukuh menolak konser Lady Gaga di tanah air. “Kemenag tetap memberikan pertimbangan kepada Polri, supaya tidak memberikan izin, untuk mencegah pornografi,” tegas Suryadharma.
Komprador Kapitalis
Adanya intervensi dan bermainnya kepentingan asing, juga diperingatkan seniman dan pemerhati budaya, Yocky Suryoprayogo. Seniman gaek ini menengaskan konser Lady Gaga tidak bisa dilepaskan dari misi ekonomi politik global negara-negara kapitalis. “Lady Gaga itu merupakan bentuk komperador asing, dia antek kapitalis,” kata Suryoprayogo seperti dikutip Republika.
Menurut Yocky, Lady Gaga maupun artis-artis asing yang pernah tampil di Indonesia, hanya membawa misi ekonomi industri. Mereka tidak pernah memikirkan dampak dari apa yang mereka pertontonkan kepada para penikmatnya. Dalam situasi ekonomi Indonesia sekarang, lanjut Yocky, dimana terjadi kesenjangan ekonomi yang luas antara si kaya dan si miskin. Yocky menilai tidak sepatutnya konser Lady Gaga diselenggarakan di Indonesia. “Kepentingan mereka hanya duit,” sebut Yocky.
Sebagai orang yang telah malang melintang di dunia musik, Yocky menyatakan konser artis dunia selalu menciptakan transaksi ekonomi yang tidak sedikit jumlahnya. Sayangnya, banyak orang tidak menyadari bila sebagian besar keuntungan dari transaksi itu, hanya dinikmati segelintir agen-agen asing.
Masih kata Yocky, masyarakat menengah ke atas Indonesia, sepatutnya menciptakan devisa ekonomi bagi kemajuan bangsanya bukan malah menyerahkan uang mereka untuk dibawa pergi artis-artis asing.
Lebih lanjut Yocky mengatakan, dari sisi eksistensi musik Indonesia, rencana konser penyanyi asal Amerika Serikat itu merupakan bentuk penjajahan terhadap perjuangan musisi Indonesia itu sendiri. Pasalnya, menurut Yocky banyak sekali musisi-musisi Indonesia yang berjasa besar bagi perjalanan musik Indonesia, tapi tidak pernah mendapatkan tempat di panggung-panggung industri.
Mereka harus berjuang mati-matian untuk mendapat panggung yang layak.
“Penyanyi bule itu dalam sehari-dua hari tampil langsung dapat milyar-milyaran dan langsung membawa uang itu ke luar negeri. Lalu kita sebagai warga negara mau diam saja?” tanya Yocky.
Jadi konser Lady Gaga, tak hanya soal pakaian dan moralitas. Ini juga soal intervensi idiologi kaum kapitalis. (h/dn/rol/inh)
http://www.harianhaluan.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar