Kemiskinan sepertinya tidak pernah “menjauh” dari keluarga Suprianti, 45 tahun, janda beranak tiga. Ia sehari-hari bekerja sebagai tukang setrika pakaian, tidak bisa membuat wanita paruh baya ini hidup sepadan dengan keluarga lainnya. Saban hari dililit miskin dan kekurangan.
Ia tinggal di rumah warisan orangtuanya di Tarok Gadang, Lakitan Utara, Kecamatan Lengayang, Kabupaten Pesisir Selatan. Rumah seukuran lima kali enam meter itu kondisinya sangat memprihatinkan. Secara umum rumah itu sudah tidak layak lagi ditempati.
Dindingnya yang terbuat dari papan, tampak sudah sangat lapuk. “Digirik” kumbang, dan tempat bersarang rayap di sela selanya membuat papan tidak sedap untuk dipandang. Lapuk dan tagurajai. Dan terlihat lembab.
Atapnya banyak yang terlepas dari pakunya. Kemudian beberapa bagian yang masih terpasang utuh dipenuhi liang seukuran rokok dan sebesar pangkal lidi. Bila siang, cahaya matahari langsung menerobos ke dalam rumah. Jika hujan, hujanpun terus pula masuk ke dalam rumah. Parahnya lagi, bila hujan turun tengah malam, Seprianti terpaksa mengungsi ke rumah tetangga.
“Bila hujan, rumah kami tidak bisa dijadikan tempat berteduh, kami sekeluarga terpaksa mengungsi ke rumah warga. Tidak jarang, bila musim penghujan berkepanjangan kami harus berminggu-minggu mengungsi ke rumah warga atau tetangga lainnya,” kata Seprianti didampingi anaknya Rabu (23/5) di Tarok Gadang.
Dari pekerjaannya sebagai tukang setrika di rumah warga lainnya, Seprianti mengaku tidak bisa membiayai perbaikan rumahnya. Dari pekerjaan itu, ia hanya bisa menghasilkan Rp25 ribu setiap minggu. Dalam sehari ia hanya mempu mendapatkan uang tak lebih Rp3.500. Dari penghasilan itulah ia membiayai tiga anaknya Tomi, Topit dan Nadia yang masih usia sekolah.
Selanjutnya melongok pula ke dalam rumah, rumah itu hanya berlantaikan tanah. Air hujan biasanya membuat lantai itu berubah menjadi luluk. Tidak ada terlihat mebel dan barang berharga yang dimiliki keluarga itu. Hanya sebuah lemari tua di pojok ruangan tamu. Berbagai benda yang dipaksakan masuk ke dalamnya, misal pakaian, surat surat yang mereka anggap penting.
Meski pemerintah setiap bulan membedah 12 unit rumah, namun rumah Suprianti belum juga mendapat “jatah”. Suprianti berharap pemerintah juga mengalokasikan dana BAZ untuk merhab rumah yang tidak layakhuni itu.
“Setidaknya kami tidak menumpang lagi di rumah warga lain bila hujan turun,” katanya penuh harap.
Suprianti merupakan representasi atau salah satu potret dari kemiskinan yang ada di Pesisir Selatan ini. Pemerintahnya sendiri terus berupaya menurunkan angka kemiskinan itu dengan menelurkan berbagai program.
Penduduk Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2008 berjumlah 433.181 jiwa (213.462 jiwa laki-laki dan 219.719 jiwa perempuan). Terdiri dengan jumlah KK 97.978 dan 30.649KK adalah penduduk miskin (50 persen).
Dibandingkan pada tahun 2007 jumlah KK miskin di Pesisir Selatan tahun 2008 terjadi penurunan sebesar 16 persen. Dengan laju pertembuhan penduduk sebesar 1,29 persen per tahun.
Tahun 2010, sedikitnya 43.900 jiwa penduduk Pesisir Selatan atau 10,22 persen merupakan penduduk miskin. Sebagian besar berada pada 76 kampung tertinggal yang masih ada saat ini.
Kabupaten Pesisir Selatan menjadi satu dari 183 kabupaten tertinggal di Indonesia. Pendapatan Regional Domestik Bruto (PDRB) berdasarkan analisa tahun 2011 baru sebesar Rp10,67 juta dengan pertumbuhan ekonomi (PE) sekitar 5,7 persen.
Selain keterbatasan infrastruktur perhubungan, tingkat kemiskinan di Pesisir Selatan juga dipicu oleh tingginya risiko bencana alam seperti banjir dan tanah longsor yang berakibat kerugian kepada penduduk. (Laporan: Haridman Kambang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar