Kesaksian Nakhoda Kapal Bagan yang Karam di Samudera Hindia
Dua puluh tahun malang melintang sebagai nakhoda kapal bagan, Karman tak pernah salah membaca tanda alam. Begitu juga tiga hari lalu, saat pria 49 tahun ini bersama 9 awak kapal, terapung selama enam jam di laut lepas. Bagaimana kisahnya?
ALAM tak memberi sinyal, kalau badai bakal menghadang. Mujur, nasib baik masih berpihak kepada Karman dan rekan-rekannya. Mereka ditolong tangan Tuhan melalui seorang nelayan kapal.
Siang itu, jarum jam menunjukkan pukul 11.00 WIB. Langit masih tersaput mendung. Gerimis hujan mulai membasahi Kota Tabuik. Di sebuah ruang tamu sederhana di Jalan Paus Gang Jengger Naras 1 Pariaman Utara, terlihat dua pria paruh baya berbincang serius.
Keduanya adalah Karman, nakhoda/tungganai KM Berkat Yakin dan Musirwan, 52, pengelola kapal bagan itu. Pemilik KM Berkat Yakin sendiri adalah H Ramli, kakak dari Musirwan. Kapal ini karam dihempas badai di perairan Samudera Hindia, sekitar pukul 02.00 Rabu, dini hari. Mujur, nakhoda dan 9 awak kapal berhasil diselamatkan nelayan kapal payang.
Karman menceritakan tak ada firasat apa-apa saat dirinya dan sembilan awak kapal berangkat melaut, dari Muaro Pariaman, pukul 11.00 WIB, Selasa lalu. Cuaca begitu bersahabat, saat mereka mulai berlayar. Hingga senja beranjak malam, Karman tidak melihat adanya tanda-tanda alam akan terjadi badai.
Pengalaman selama 20 tahun menakhodai kapal bagan, mengajarkannya membaca gejala alam. Ya, alam takambang menjadi guru. “Kalau ada gabak (awan hitam) berjalan pelan dengan posisi di atas matahari yang akan terbenam, berarti akan terjadi badai dahsyat di lautan. Kalau sudah begitu, biasanya nelayan mencari pulau terdekat, menghindar badai. Sore itu, tanda alam itu ndak ada,” tutur Karman.
Meski demikian, warga Pasia Baru yang berdomisili di Sungaigeringging, Padangpariaman ini, tak mau merasa hebat sendiri. Setiap keputusan selalu ia musyawarahkan kepada nelayan senior yang jadi ABK, dalam membaca tanda-tanda alam itu. Para ABK pun sepakat, kalau tanda alam itu tak terlihat, maka diputuskanlah bertahan di tengah laut. Dengan begitu, aktivitas menangkap ikan akan dilakukan tengah malam.
”Namun sekitar pukul 01.00 WIB, Rabu dini hari, tanpa ada tanda-tanda, tiba-tiba badai menghantam kapal. Kami yang tengah bersiap hendak menangkap ikan, sontak terkejut. Segera kami ambil jangkar untuk menuju Pulau Kasiak. Baru saja jangkar lepas, badai langsung menghantam kapal. Kapal oleng, bocor dan karam,” ujar Karman.
Di detik-detik terakhir akan karam, awak kapal dengan sigap mengambil pelampung dan tali untuk diikatkan di pinggang masing-masing agar terhubung. Tujuannya agar mereka tak terpisah diseret gelombang. Pun kalau ajal menjemput saat itu, mereka berpikir, orang-orang lebih mudah menemukannya.
Secara bersama-sama, kesepuluh pelaut tangguh itu bergantung pada fiber tempat penyimpan ikan. Mereka pun terapung di lautan lepas. Tiada pilihan lain, mereka saling menguatkan mental dalam menghadapi kondisi berat itu.
Dinginnya air laut dan kuatnya badai menerjang, mereka hadapi dengan doa. Karman dan awak kapalnya saling memberi harapan, esok masih bisa melihat senyum anak dan istri tercinta. “Allah mendengar doa kami,” ujar Karman lirih.
Sekitar pukul 07.30, Rabu, ternyata mereka terdampar di lautan Gabuo, Sungailimau Padangpariaman, 3 mil dari garis pantai. Dalam kondisi tubuh lemah, mereka melihat kapal payang berlayar. Namun, Karman dan kawan-kawan tidak ada daya untuk meminta tolong. “Untung nelayan itu melihat kami terapung,” kenang Karman.
Nelayan itu lalu mengevakuasi Karman dan sembilan ABK ke pantai, sekitar pukul 08.00. Mereka pun selamat. “Bukan mainnya bahagia kami saat melihat ada nelayan yang mendekati kami. Alhamdulillah kami selamat,” ujarnya seraya mengucap syukur berkali-kali.
Setelah selamat dan memberikan keterangan kepada pihak kepolisian, Karman bergegas pulang ke rumah istrinya di Sungaigeringging, Padangpariaman. Ia menceritakan peristiwa itu kepada anak istrinya, yang sama sekali tak mengetahui kalau ia baru saja ditimpa cobaan mahaberat.
Mereka pun bertangis-tangisan sembari memeluk haru ayahnya yang selamat. “Anak istri trauma, mereka sepakat melarang saya tak boleh lagi melaut,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.
Karman memahami kekhawatiran anak-anaknya. Ia pun trauma dengan peristiwa itu. Meski demikian, ia menyebut tetap melaut lagi, namun tidak dalam waktu dekat. Karena hanya itu kepandaiannya. Hanya itu yang mampu ia lakukan agar asap dapur terus mengepul dan anak-anaknya bisa terus melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
“Kalau trauma, iya. Untuk beberapa minggu ini biarlah saya istirahat dulu. Setelah itu saya akan melaut kembali. Kalau tidak, dengan apa membiayai kehidupan dan sekolah anak. Apalagi anak tertua saya saat ini sedang kuliah, tak tega rasanya memutus pengharapannya menjadi sarjana,” kata Karman, dengan nada getir.
Musirwan, pengelola KM Berkat Yakin, menyebut peristiwa itu membuat ia dan 15 orang lainnya menggantungkan hidup dari kapal itu, kini tak lagi memiliki pekerjaan. Peristiwa yang menelan kerugian materi hingga Rp 200 juta lebih itu, bagi Musirwan adalah musibah hebat yang menimpa keluarga besarnya.
“Kalau boleh berharap, kami mohon bantuan pemerintah memperhatikan nasib kami agar dapat terus bertahan hidup dan memberikan pendidikan yang lebih baik untuk anak-anak,” kata Musirwan. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar