Nestapa Gadis Yatim Piatu Korban Pemerkosaan di Solsel
Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah nasib Melati (nama samaran), korban pemerkosaan oleh tujuh remaja di Sungaiipuh, Nagari Pakan Rabaa Tangah, Koto Parik Gadang Diateh (KPGD), Solok Selatan. Masa depan gadis yatim piatu itu kian kabur. Hidup sebatang kara, tiada tempat mengadu dan berteduh.
Pagi masih berkabut. Di bangku kayu panjang kantin Polsek KPGD, Melati tampak tertunduk lesu. Pandangannya nanar. Raut wajahnya menyimpan kepedihan mendalam.
Melanti trauma atas kejadian terburuk sepanjang sejarah hidupnya. Mulutnya disumpal sampai tak bisa bernapas, tubuh dihempas, tangan dan kaki pegang kuat-kuat. Melati benar-benar tak berdaya. Mahkota gadis yatim piatu itu direnggut tujuh pemuda yang sedang dirasuki setan. Para pemuda tanggung itu bergantian menggagahinya. Di tengah derasnya hujan di pekat malam, Melati menjerit kesakitan. Tapi, suaranya tertahan oleh kain yang disumpal ke mulutnya.
Siang itu, Melati masih sulit diajak ngobrol karena shock. Dia hanya menggeleng, mengangguk, dan tertunduk. Satu setengah jam kemudian, Melati perlahan membuka diri.
Melati adalah bungsu dari 15 bersaudara. Keluarganya tinggal di Jalan Bangkok, Pangkalankerinci, Riau. Semua saudaranya laki-laki. Dia satu-satunya anak perempuan dari pasangan almarhum Aladin dan almarhumah Mida.
Ibunya meninggal dunia saat Melati masih kelas III SD. Sedangkan ayahnya meninggal dunia saat Melati masih kelas II SMP.
Sepeninggal sang ayah, Melati diasuh abang-abangnya. Biaya sekolah hingga tamat SMA dan biaya untuk makan ditanggung abangnya yang nomor 13 dan abang nomor 5. Dua abangnya ini anggota Polri.
Suatu hari, karena cekcok sesama saudara, dua abangnya yang polisi ini pergi dari rumah dan tak pernah lagi pulang, tak tahu di mana keberadaannya.
Melati kemudian diasuh oleh abang nomor 2. Gadis kelahiran 15 Juni 1993 itu menceritakan, selama tinggal bersama abang nomor 2, ia sering dihantui rasa takut dan cemas karena abangnya suka main judi, dan sering meminta Melati melakukan hal yang tidak baik. Melati tidak pernah mau mengikuti apa yang disuruh abangnya. Puncaknya, ijazah SMA Melati dibakar oleh abangnya. Kakaknya itu juga mengancam akan menjual Melati.
Melati tahu betul perangai abangnya. Orangnya nekat. Akhirnya, Melati merantau ke Batam menjadi pembantu rumah tangga. Di sana, ia bertemu dengan Eva, warga Sungaiipuh Solsel. Setelah 9 bulan bekerja di Batam, Melati kemudian ikut Eva mencari kerja ke Solok Selatan. Tepatnya, tiga hari setelah Lebaran Idul Fitri tahun lalu Melati tiba di Solsel. Melati lalu dibawa oleh Eva bekerja di kebun sawit, sekitar 70 km dari KPGD “Saya takut di sana (kebun sawit) banyak laki-laki. Sedangkan Eva, dia tetap bekerja di sana bersama suaminya,” kata Melati sambil menunduk.
Karena khawatir dengan keselamatannya di kebun sawit, Melati kemudian mencari pekerjaan di tempat lain. Selama empat bulan, ia menjadi pembantu di Lubukmalako, Kecamatan Sangirjujuan, Solsel. Karena tak betah, ia pun pulang ke rumah Eva di Sungaiipuh.
Kurang lebih sebulan di rumah Eva, Melati mengaku diusir dengan alasan karena tak mau kembali bekerja di kebun sawit. Untunglah keluarga Yasir berkenan menampung Melati. Dua hari menginap di tempat Yasir, sehari-hari Melati membantu ibunya Yasir berjualan. Hingga malam ketiga (12/2), terjadilah peristiwa memilukan itu.
Masih terngiang oleh Melati kata-kata H saat menjemputnya ke rumah Yasir sekitar pukul 23.00 WIB. Kata H, jangan di sini, nanti marah orang sekampung. Melati tidak boleh menginap di rumah Yasir, karena orang sekampung akan melempari rumah Yasir dengan batu dan akan membakarnya. H mengajak agar Melati menginap saja di rumahnya saja. Entah apa penyebabnya sampai H menakut-nakutinya seperti itu. “Ibunya Yasir itu orangnya baik sama saya. Saya takut juga mendengar rumahnya mau dibakar gara-gara saya,” kenang Melati dengan suara tercekat, karena perut bawahnya sakit.
Yasir juga sempat melarang H membawa Melati. Namun, H tetap ngotot membawa Melati. Di tengah malam buta, Melati di bawa menuju sebuah rumah kosong. Di sana telah ada enam orang pemuda yang telah menunggu. Terjadilah peristiwa biadab, tak berperikemanusiaan, yang tak bisa terlupakan seumur hidupnya.
Mirisnya lagi, selain merampas keperawanan, tujuh pemuda itu juga merampas HP dan uang Rp 50 ribu. “HP saya juga diambil sama mereka, dan saya tidak bisa menghubungi keluarga di Riau karena tidak hafal nomornya,” katanya. Melati mengaku tak lagi punya uang sepeser pun. Pascakejadian tragis yang menimpanya, Melati tak tahu harus ke mana. Tak ada ayah atau ibu tempatnya mengadu. Tak ada saudara yang akan menjemputnya. Hanya sebatang kara.
Tiga dari tujuh tersangka pemerkosaan telah diamankan di Mapolsek KPGD. Sedangkan empat lainnya saat ini masih diburu. Kapolsek KPGD AKP Adang Saputra mengatakan, empat pelaku lagi masih terus diburu. Termasuk H yang diduga sebagai otak peristiwa pahit tersebut. Kini, Melati terpaksa diinapkan di Mapolsek KPGD. Karena tak ada satu pun sanak familinya yang ada di Solsel. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar