Rencana Presiden Francois Hollande memberlakukan larangan jilbab mengkhawatirkan komunitas Muslim. Aturan itu dianggap mengekang kebebasan Muslim melaksanakan ajaran agama.
"Kami telah memperingatkan dampak dari pemaksaan pembatasan terkait jilbab. Ini masalah kebebasan beragama," ungkap Presiden Dewan Iman Islam Prancis (CMF), Mohammed Moussaoui, seperti dikutip Al-Arabiya.net, Jumat (12/4).
Menurut Moussaoui, sebagai negara demokratis, Prancis seharusnya menghindari kebijakan provokasi. "Harus ada keseimbangan antara kebebasan dan kewajiban, ini yang perlu diperhatikan," kata dia.
Mahasiswa pascasarjana, Souad, mengatakan efek dari pembatasan itu membuatnya kesulitan untuk bekerja di Lembaga Publik dan Swasta. "Bagaimana dengan masa depan saya. Ini adalah bencana," kata dia.
Anggota Partai Sosialis, Oliver Four mengungkap aturan itu jangan diartikan Prancis tidak menerima kehadiran Muslim. Justru Prancis mengakui keberadaan Muslim. "Namun, saya menyetujui kebijakan apa yang diambil Presiden," kata dia.
Data yang dipublikasikan Prosiding National Academy of Sciencesmenyebutkan warga muslim di Prancis masih terus menghadapi diskriminasi di berbagai aspek.
Misalkan di dunia kerja, dibandingkan rekan-rekan mereka yang nonmuslim, pemeluk Islam mendapatkan intimidasi dan diskriminasi 2,5 kali lipat lebih banyak dari mereka.
Profesor ilmu politik, David Laitin, mengatakan agama saat ini tengah menjadi sumber diskriminasi di Perancis. Sayangnya, hal ini yang tidak dipahami masyarakat Prancis.
"Tanpa informasi itu tidak mungkin bisa dipahami atau memperbaiki situasi dengan baik bahwa ada beberapa orang sedang didiskriminasi," ungkap Laitin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar