Oleh Dr Muhammad Hariyadi MA
Manusia dilahirkan ke dunia dengan nilai subyektivitas yang dibawa oleh alam pikirannya. Subyektivitas tersebut muncul dari cara berpikir manusia yang diproses oleh akalnya.
Manusia dilahirkan ke dunia dengan nilai subyektivitas yang dibawa oleh alam pikirannya. Subyektivitas tersebut muncul dari cara berpikir manusia yang diproses oleh akalnya.
Mereka yang menggeluti dunia hukum memiliki kerangka berpikir dan pola subyektivitas yang berbeda dengan yang mendalami bidang agama. Maka wajarlah jika subyektivitas ternyata bertingkat, yang dibuktikan dengan subyektifitas anak memiliki nilai yang berbeda dengan subyektifitas orang dewasa dan subyektifitas dalam filsafat tidak sama dengan subyektifitas dalam ilmu pengetahuan.
Perbedaan kadar dan tingkat subyektivitas tersebut mengisyaratkan kepada kita agar memberikan penyadaran sepenuhnya bahwa kebenaran akal adalah kebenaran nisbi. Namun demikian bukan berarti kebenaran akal tersebut tidak bernilai, melainkan menjadi sebuah terminal kebenaran yang mengantarkan kepada terminal kebenaran lain yang sama-sama nisbi.
Atas dasar kebenaran yang nisbi tersebut, maka Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita agar tidak menghakimi seseorang hanya didasarkan pada subyektifitas diri, melainkan perlu mempertimbangkan pengakuan, subyektivitas pihak lain dan saksi-saksi karena hakekat kebenaran yang sebenarnya berada di sisi Allah SWT.
Perhatikanlah ketika sahabat dari kaum Anshar Al-Barra bin Ma'rur telah mendahului Rasulullah SAW dalam melaksanakan shalat dengan menghadap ke Ka'bah sebelum Rasulullah SAW resmi diperintah untuk shalat dengan menghadap ke Ka'bah. Rasulullah SAW yang dilapori oleh salah seorang sahabat, sama sekali tidak menyalahkan Al Barra yang kala itu telah meninggal dan dishalat ghaibkan oleh Rasul bersama para sahabat, melainkan dengan tenang Rasulullah berkata kepada sahabat yang melaporinya: "Engkau juga akan shalat menghadap ke Ka'bah jika engkau bersabar menunggunya."
Pada saat yang sama, ketika seseorang mempertahankan dan melaksanakan subyektivitas akalnya, maka hendaknya didasari oleh data, fakta, pengakuan dan saksi yang kuat, sehingga jika benar pelaksanaan yang dilakukan tersebut, maka ijtihadnya menjadi bernilai dua pahala. Sedangkan jika salah, maka ijtihad tersebut bernilai satu.
Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa berijtihad dan ijtihadnya benar maka baginya dua pahala. Dan barang siapa berijtihad sedangkan ijtihadnya salah, maka baginya satu pahala pahala." (HR. Bukhari).
Subyektivitas akal dengan demikian merupakan kebenaran permulaan yang memiliki nilai positif dan ia menjadi perangkat penetapan kebenaran di dalam kehidupan. Namun subyektivitas akal menjadi tidak bernilai pada saat menguasai subyektivitas pihak lain atau mengklaim sebagai subyektivitas yang paling benar dan yang lain salah.
Imam Syafi'i mengajarkan kepada kita untuk menjaga nilai-nilai subyektivitas agar tetap eksis dalam subyektivitasnya tanpa melampaui wilayah di luar dirinya dengan mengatakan: "Pandangan kita benar namun mengandung kesalahan dan pandangan pihak lain salah tetapi mengandung kebenaran."
Subyektivitas dengan demikian merupakan kebenaran kecil yang harus dikovergensikan dengan subyektivitas lain agar menjadi kebenaran besar. Sementara kebenaran besar akan menjadi kebenaran sejati jika ia berkesesuaian dengan prinsip-prinsip kebenaran ilahi. Wahhalu A'lam.
*Penulis dosen pascasarjana PTIQ Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar