Meski diprotes sejumlah orang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetap akan menerima penghargaan negarawan dunia atau World Statesman Award dari Appeal of Conscience Foundation (AoCF) di New York, Amerika Serikat. Senin 27 Mei 2013, SBY bertolak ke Amerika Serikat untuk menerima anugerah ini.
Sebelum berangkat, SBY menggelar jumpa pers, menyatakan mengetahui maraknya protes terkait pemberian penghargaan ini. "Saya menghormati, menghargai pandangan seperti itu. Sebagaimana saya menghormati dan menghargai pandangan-pandangan yang berbeda juga dari masyarakat Indonesia," kata SBY dalam jumpa pers di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Senin 27 Mei 2013.
Menurut SBY, pemberi penghargaan ini merupakan lembaga internasional yang kredibel. Dia menambahkan, lembaga ini pun telah melakukan pengamatan yang seksama pada Indonesia dari berbagai aspek dalam waktu yang cukup lama.
"Kemudian memberikan penghargaan pada negara kita, bangsa kita, melalui presidennya. Tentu kita tidak boleh melihatnya secara tidak baik sebenarnya. Berterimakasih, karena dunia mengamati meski masih banyak kekurangan di negara kita ini," tuturnya.
SBY memandang penghargaan ini diberikan kepadanya atas penilaian kemajuan demokrasi Indonesia dan komitmennya selaku presiden dalam membangun perdamaian. SBY mengakui masih ada kejadian yang belum mencerminkan kerukunan hidup antarumat beragama di Indonesia. Untuk itu, ia berharap dengan adanya penghargaan ini justru dapat membuat dia dan pemerintahannya dapat lebih serius dan keras lagi memperbaiki masalah-masalah intoleransi beragama tersebut.
"Seolah-olah saya dan delegasi ke AS ini hanya untuk menerima penghargaan itu. Bukan. Sama sekali bukan. Sebenarnya penghargaan ini akan diberikan pada saya pada rangkaian sidang umum PBB September akan datang. Karena itu bersamaan dengan hadirnya para pemimpin dunia di PBB. Saya tidak akan hadir pada akhir tahun ini," tuturnya.
SBY bertolak menuju New York, Amerika Serikat dalam rangka menghadiri pertemuan ke-5 Panel Tingkat Tinggi PBB Mengenai Agenda Pembangunan Pasca 2015 (UN High-Level Panel of Eminent Persons on the Post-2015 Development Agenda) di Markas Besar PBB di New York.
Sebelumnya, SBY akan lebih dulu menuju Stockholm, Swedia, dalam rangka kunjungan kenegaraan.
Penolakan
Dua pekan lalu, tokoh Katolik Frans Magnis Suseno menyurati Appeal of Conscience Foundation (ACF), memprotes penganugerahan itu. Romo Magnis yang selama ini lebih dikenal kalem bersikap agak keras dalam suratnya ini.
"Saya seorang pastor Katolik dan profesor Filsafat dari Jakarta. Kami di Indonesia mendengar bahwa Anda akan memberikan Penghargaan Negarawan Dunia tahun ini kepada Presiden kami, Susilo Bambang Yudhoyono karena jasanya dalam merawat toleransi beragama. Rencana itu sangat memalukan, dan mempermalukan Anda sendiri. Itu dapat mendiskreditkan klaim apapun akan Anda buat sebagai sebuah institusi berlandaskan moralitas," kata Romo Magnis.
"Bagaimana mungkin Anda dapat mengambil keputusan seperti itu tanpa meminta masukan dari kami yang mengalaminya langsung Indonesia? Mudah-mudahan Anda tidak membuat keputusan tersebut sekadar untuk menanggapi desakan dari orang-orang yang dekat dengan Pemerintah kami ataupun rombongan di sekitar Presiden.
Apakah Anda tidak tahu tentang kesulitan umat Kristen untuk berkembang dan mendapatkan izin membuka tempat ibadah, tentang meningkatnya jumlah penutupan paksa terhadap gereja-gereja, tentang banyaknya regulasi yang membuat kaum minoritas lebih sulit beribadah kepada Tuhan, serta intoleransi tumbuh begitu pesat di tingkat akar rumput?"
Surat Romo Magnis ini seperti menggemakan kembali laporan dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat sendiri. Biro Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Buruh Departemen Luar Negeri AS dalam Laporan Kebebasan Beragama Internasional 2012 menyatakan, "Pemerintah (Indonesia) kadang gagal menjaga hak beragama kelompok minoritas".
Deplu AS melaporkan, seperti diakses VIVAnews di situsnya, Selasa 21 Mei 2013, ada temuan polisi bekerjasama dengan kelompok garis keras melawan kelompok sekte yang dinilai "sesat". Ada laporan pejabat pemerintah dan polisi menyaksikan kekerasan atas pengikut Syiah oleh Sunni di Jawa Timur.
Kemudian ada juga laporan pemerintah daerah terus menghalangi pembangunan rumah ibadah padahal ada putusan Mahkamah Agung yang membolehkan pembangunan. Kemudian ada juga sejumlah kepala daerah yang membuat peraturan yang melarang jemaat Ahmadiyah menjalankan kepercayaannya.
Deplu AS mengutip laporan Setara Institue dan Wahid Institute yang menyatakan di tahun 2012, ada 145 kasus pelanggaran atas kebebasan beragama, meningkat dibanding tahun sebelumnya. Umumnya kasus melibatkan aparat keamanan yang mendiamkan adanya pelanggaran atas kebebasan beragama yang dilakukan kelompok tertentu.
"Sepanjang tahun 2012, pemerintah tidak melakukan tindakan konkret melaksanakan putusan Mahkamah Agung yang mengizinkan Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Bogor dan Gereja Filadelfia Kristen Batak Protestan dibuka kembali di Bekasi," begitu pernyataan Deplu AS.
Dan gelombang penolakan ini berlanjut sampai ke petisi online yang sudah diikuti ribuan orang.
Pembelaan
Menteri Luar Negeri RI, Marty Natalegawa, meminta publik untuk tidak memandang negatif penghargaan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu. Di mata Marty, publik justru seharusnya menilai penghargaan yang diberikan oleh organisasi internasional tersebut secara proporsional.
"Penghargaan itu kan diberikan karena dunia mengapresiasi Indonesia. Bukan berarti setelah mendapat penghargaan lalu semuanya sudah dianggap baik. Tentu masih ada peluang untuk meningkatkan semuanya jadi lebih baik lagi," ujar Marty di hadapan para pewarta berita, Jumat lalu.
Masih menurut Marty, rakyat Indonesia seharusnya merasa bangga, karena dunia internasional melihat adanya perubahan yang besar dalam komitmen yang dipegang oleh pemerintah Indonesia. Dia juga meminta publik untuk tidak terbiasa selalu mengatakan apa yang telah dicapai oleh Indonesia saat ini dalam hal kontribusi terhadap perdamaian dunia, demokratisasi dan resolusi konflik masih saja kurang.
"Di masa lalu, saat masyarakat internasional menilai Indonesia kurang berkomitmen dalam kontribusi itu, publik lalu gusar. Sekarang saat dunia internasional mulai mengapresiasi, malah dianggap negatif. Jadi jangan selalu seolah-olah melukai diri," kata dia.
"(Anugerah) itu bentuk apresiasi dan penghargaan bardasarkan penilaian orang independen," kata Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha di Kantor Presiden, Jakarta.
Menurut Julian, Perdana Menteri Kanada juga menerima penghargaan serupa tahun lalu. Tahun ini, acara penganugerahan itu seharusnya digelar November 2013, namun penyerahan gelar untuk SBY dipercepat menjadi Mei 2013.
"Karena Bapak presiden akan hadir di New York untuk Panel Tingkat Tinggi (High Level Panel), maka penyerahan akan disesuaikan," ujar dia.
Julian menilai ACF sebagai lembaga organisasi yang sangat kredibel dalam memberi penganugerahan kepada pemimpin dan kepala negara. "Mereka memiliki kriteria sendiri dan pemberian itu sudah berdasarkan kriteria mereka sendiri."
SBY sendiri menyatakan, anugerah ini bentuk dorongan kemajuan lebih besar atas penghormatan hak asasi manusia. “Mudah-mudahan bagi saya sendiri, bagi bangsa Indonesia, hal-hal baik yang dilihat oleh dunia itu kita terima, kemudian justru kita harus lebih keras, lebih serius, dan efektif lagi untuk memperbaiki yang belum baik di negeri kita ini,” kata SBY yang rencananya pulang dari New York tanggal 31 Mei 2013, dan tiba kembali di tanah air, 2 Juni 2013.
Penolakan
Dua pekan lalu, tokoh Katolik Frans Magnis Suseno menyurati Appeal of Conscience Foundation (ACF), memprotes penganugerahan itu. Romo Magnis yang selama ini lebih dikenal kalem bersikap agak keras dalam suratnya ini.
"Saya seorang pastor Katolik dan profesor Filsafat dari Jakarta. Kami di Indonesia mendengar bahwa Anda akan memberikan Penghargaan Negarawan Dunia tahun ini kepada Presiden kami, Susilo Bambang Yudhoyono karena jasanya dalam merawat toleransi beragama. Rencana itu sangat memalukan, dan mempermalukan Anda sendiri. Itu dapat mendiskreditkan klaim apapun akan Anda buat sebagai sebuah institusi berlandaskan moralitas," kata Romo Magnis.
"Bagaimana mungkin Anda dapat mengambil keputusan seperti itu tanpa meminta masukan dari kami yang mengalaminya langsung Indonesia? Mudah-mudahan Anda tidak membuat keputusan tersebut sekadar untuk menanggapi desakan dari orang-orang yang dekat dengan Pemerintah kami ataupun rombongan di sekitar Presiden.
Apakah Anda tidak tahu tentang kesulitan umat Kristen untuk berkembang dan mendapatkan izin membuka tempat ibadah, tentang meningkatnya jumlah penutupan paksa terhadap gereja-gereja, tentang banyaknya regulasi yang membuat kaum minoritas lebih sulit beribadah kepada Tuhan, serta intoleransi tumbuh begitu pesat di tingkat akar rumput?"
Surat Romo Magnis ini seperti menggemakan kembali laporan dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat sendiri. Biro Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Buruh Departemen Luar Negeri AS dalam Laporan Kebebasan Beragama Internasional 2012 menyatakan, "Pemerintah (Indonesia) kadang gagal menjaga hak beragama kelompok minoritas".
Deplu AS melaporkan, seperti diakses VIVAnews di situsnya, Selasa 21 Mei 2013, ada temuan polisi bekerjasama dengan kelompok garis keras melawan kelompok sekte yang dinilai "sesat". Ada laporan pejabat pemerintah dan polisi menyaksikan kekerasan atas pengikut Syiah oleh Sunni di Jawa Timur.
Kemudian ada juga laporan pemerintah daerah terus menghalangi pembangunan rumah ibadah padahal ada putusan Mahkamah Agung yang membolehkan pembangunan. Kemudian ada juga sejumlah kepala daerah yang membuat peraturan yang melarang jemaat Ahmadiyah menjalankan kepercayaannya.
Deplu AS mengutip laporan Setara Institue dan Wahid Institute yang menyatakan di tahun 2012, ada 145 kasus pelanggaran atas kebebasan beragama, meningkat dibanding tahun sebelumnya. Umumnya kasus melibatkan aparat keamanan yang mendiamkan adanya pelanggaran atas kebebasan beragama yang dilakukan kelompok tertentu.
"Sepanjang tahun 2012, pemerintah tidak melakukan tindakan konkret melaksanakan putusan Mahkamah Agung yang mengizinkan Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Bogor dan Gereja Filadelfia Kristen Batak Protestan dibuka kembali di Bekasi," begitu pernyataan Deplu AS.
Dan gelombang penolakan ini berlanjut sampai ke petisi online yang sudah diikuti ribuan orang.
Pembelaan
Menteri Luar Negeri RI, Marty Natalegawa, meminta publik untuk tidak memandang negatif penghargaan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu. Di mata Marty, publik justru seharusnya menilai penghargaan yang diberikan oleh organisasi internasional tersebut secara proporsional.
"Penghargaan itu kan diberikan karena dunia mengapresiasi Indonesia. Bukan berarti setelah mendapat penghargaan lalu semuanya sudah dianggap baik. Tentu masih ada peluang untuk meningkatkan semuanya jadi lebih baik lagi," ujar Marty di hadapan para pewarta berita, Jumat lalu.
Masih menurut Marty, rakyat Indonesia seharusnya merasa bangga, karena dunia internasional melihat adanya perubahan yang besar dalam komitmen yang dipegang oleh pemerintah Indonesia. Dia juga meminta publik untuk tidak terbiasa selalu mengatakan apa yang telah dicapai oleh Indonesia saat ini dalam hal kontribusi terhadap perdamaian dunia, demokratisasi dan resolusi konflik masih saja kurang.
"Di masa lalu, saat masyarakat internasional menilai Indonesia kurang berkomitmen dalam kontribusi itu, publik lalu gusar. Sekarang saat dunia internasional mulai mengapresiasi, malah dianggap negatif. Jadi jangan selalu seolah-olah melukai diri," kata dia.
"(Anugerah) itu bentuk apresiasi dan penghargaan bardasarkan penilaian orang independen," kata Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha di Kantor Presiden, Jakarta.
Menurut Julian, Perdana Menteri Kanada juga menerima penghargaan serupa tahun lalu. Tahun ini, acara penganugerahan itu seharusnya digelar November 2013, namun penyerahan gelar untuk SBY dipercepat menjadi Mei 2013.
"Karena Bapak presiden akan hadir di New York untuk Panel Tingkat Tinggi (High Level Panel), maka penyerahan akan disesuaikan," ujar dia.
Julian menilai ACF sebagai lembaga organisasi yang sangat kredibel dalam memberi penganugerahan kepada pemimpin dan kepala negara. "Mereka memiliki kriteria sendiri dan pemberian itu sudah berdasarkan kriteria mereka sendiri."
SBY sendiri menyatakan, anugerah ini bentuk dorongan kemajuan lebih besar atas penghormatan hak asasi manusia. “Mudah-mudahan bagi saya sendiri, bagi bangsa Indonesia, hal-hal baik yang dilihat oleh dunia itu kita terima, kemudian justru kita harus lebih keras, lebih serius, dan efektif lagi untuk memperbaiki yang belum baik di negeri kita ini,” kata SBY yang rencananya pulang dari New York tanggal 31 Mei 2013, dan tiba kembali di tanah air, 2 Juni 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar