Oleh Badrudin MAg*
Kata ‘cinta’ hampir bisa ditulis dan di ucapkan oleh seluruh manusia, tanpa kecuali. Itulah keajaiban dan kedahsyatan cinta. Namun, yang paling penting adalah bagaimana cinta yang sejati dan sesungguhnya dapat kita miliki?
Tentunya, cinta yang dimaksud adalah kasih sayang Allah ‘azza wajalla yang diraih melalui multikreativitas atau amal nyata hamba- Nya.
Imam Ibn Al-Qoyyim Rahimahullâh, dalam Kitab al-Irsyâd ilâ shahîh al-i’- tiqâd wa al-radd ‘alâ ahl alsyirk wa al-ilhâd: Bimbingan kepada keyakinan yang benar dan menolak pelaku syirik dan pembangkang, halaman 63, mengungkap sejumlah syarat yang sejatinya kita miliki agar Allah mencintai kita.
Pertama, membaca Alquran, mentadabburi dan memahami makna yang terkandung di dalamnya serta maksud dari yang dibaca. Salah satu contohnya, seorang pemimpin pada semua tingkat dan waktu, sejatinya bertanggung jawab atas jabatan yang diamanahkan kepadanya.
Dia juga tidak membebani masyarakat, tidak membiarkan kejahatan terus berkembang, tidak menjualbelikan atau menggadaikan masyarakat dhuafahanya karena untuk mendapatkan subsidi padahal hanya tipu muslihat, dan sejenisnya.
Jangan sampai masyarakat jelata, dibebani utang dan keharusan membayarnya. Padahal, yang menyebabkan negara banyak utang dan kolapnya perekonomian bangsa karena ulah para penguasa yang hakikatnya tidak bertauhid kepada Allah ‘azza wajalla. Dan penjahat yang rakus dan tidak menyadari atas tindakan kejahatannya ser ta para hakim yang sa lah dalam memutus perkara.
Kedua, mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wajalla dengan cara melaksanakan yang nawâfil selain yang mesti dilakukan alias yang fardhu.
Ketiga, meninggalkan semua jenis kesibukan yang dapat memisahkan keterikatan hati dengan Allah ‘azza wajalla. Kesibukan yang dimaksud adalah kemaksiatan lisan, hati, dan tindakan.
Kemaksiatan lisan di antaranya berbohong. Seperti korupsi, tapi mengaku tidak korupsi; melakukan kejahatan birokrasi, mengaku tidak melakukannya dan lainnya.
Kemaksiatan hati di antaranya, “mengucapkan bahwa Allah Maha Besar, padahal hatinya mengakui bahwa berlaku curang yang maha besar”. Kemaksiatan kinerja atau amalnya di antaranya, “seharusnya melindungi, me ngayomi, dan memberdayakan fakir miskin dan masyarakat yang terlantar, kenyataannya menyejahterakan masyarakat kuat”.
Keempat, agar ketiga syarat tersebut dapat terpenuhi, maka kita dituntut selalu mengingat Allah ‘azza wajalla dengan cara mentaati petunjuk-petunjuk Nya dan menebar cinta Allah ‘azza wajalla yang dianugerahkan kepada kita, sehingga dinikmati sesama makhluk lainnya.
Selain itu, mengambil pesan moral dari setiap nama Allah ‘azza wajalla, bercengkeraman dengan Allah ‘azza wajalladi waktu Nuzul-Nya yakni pada sepertiga malam terakhir dengan cara membaca Alquran yang diiringi permohonan ampun dan bertaubat dari segala nista dan nestapa, dan yang terakhir senang bergaul dengan ahli kebaikan dan perdamaian atas dasar cintanya kepada Allah ‘azza wajalla.
Semoga Allah ‘azza wajalla menjadikan kita makhluk yang berpredikat sebagai hamba yang taat kepada-Nya dengan meng ikuti uswah hasanah Rasulullah SAW. Baik kita sebagai petani, jurnalis, karyawan, pengusaha, seniman, budayawan, pendidik, terdidik, masyarakat jelata, maupun sebagai penguasa, âmîn.
Hasbunallôohu Wani’mal Wakîl. Walillâhil Hamd. Sampaikan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar