Rapat itu berlangsung “panas” di ruang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, pada 23 Mei 2013 lalu. Sekitar 16 perwakilan rumah sakit di Jakarta, yang datang ke kantor dewan itu, menyatakan mundur dari program Kartu Jakarta Sehat.
Program andalan milik Gubernur DKI Joko Widodo, dan wakilnya Basuki “Ahok” Tjahaya Purnama itu sedang digugat di rapat itu. Dari menjelang tengah hari sampai sore, rapat itu berujung perdebatan sengit.
Adalah perwakilan Rumah Sakit Thamrin dan Atmira angkat bicara soal beratnya tarif Indonesia Case Base Groups (INA CBGs), bagian dari sistem Kartu Jakarta Sehat. Dua rumah sakit menilai sistem tarif itu membuat jebol kas rumah sakit
Direktur Utama Rumah Sakit Atmira Chairulsjah Sjahruddin, keberatan untuk penggunaan fasilitas NICU dan jenis obat. Soalnya mereka punya standar berbeda. “Kami tak menggunakan obat generik yang biasa digunakan di RSUD," katanya.
Keberatan itu, kata Chairulsjah, sudah pernah disampaikan dalam satu workshop di Dinas Kesehatan. Tetapi dinas itu tetap menyarankan sistem tarif INA CBGs itu dicoba selama dua bulan, mulai awal April 2013.
Rupanya baru 1,5 bulan berjalan sebanyak 16 rumah sakit menyalakan alarm tanda bahaya. Keuangan rumah sakit terancam jebol. Mereka pun mengajukan pengunduran diri menjadi pelayan program Kartu Jakarta Sehat. (Baca: Protes Rumah Sakit Hingga Tudingan Curang).
Di rapat itu, suara sumbang bagi Kartu Jakarta Sehat pun terdengar. Anggota Fraksi Amanat Nasional, Wanda Hamidah, misalnya. Dia mengaku tak tahu program INA CBGs itu, sebelum tiba-tiba diterapkan pada 1 April. “INA CBGs itu makhluk apa?"
Tak hanya Wanda, hampir semua anggota Komisi E seakan mengernyitkan kening. Rapat selama empat jam itu akhirnya membuat anggota dewan penasaran. Di akhir rapat, meluncurlah usulan agar Gubernur Joko Widodo dipanggil ke kantor Dewan.
Usulan itu rupanya bergulir agak “liar”. Tak lama setelah rapat ditutup, muncul suara-suara anggota Dewan agar memakai hak interpelasi. Sore itu ada kabar seorang anggota menginisiasi hak tersebut. Mereka pun bergerilya. Walhasil, ada 32 tanda tangan anggota DPRD terkumpul.
Inisiatornya disebut-sebut anggota Fraksi Partai Demokrat, Taufiqurrahman. Tapi saat dikonfirmasi VIVAnews, Taufiq menampik. Kata dia, usulan interpelasi itu sudah beredar sehari sebelum pertemuan 16 rumah sakit dengan Komisi E. “Saya bukan pelopornya. Itu spontan saja dari teman-teman,” katanya.
Mereka yang membubuhkan tanda tangan adalah anggota Fraksi Demokrat, PPP, Hanura, PDS, PAN, PKB, dan Golkar.
Pemakzulan Jokowi?
Spekulasi lalu bertiup setelah pengumpulan tanda tangan itu. Seolah-olah, interpelasi itu akan dilanjutkan hingga pemakzulan gubernur. Anggota DPRD DKI Jakarta Komisi E, Asraf Ali, misalnya. Dia mengatakan Jokowi terancam dimakzulkan (impeachment) jika masalah Kartu Jakarta Sehat tidak kelar.
"Ini bahaya. Pak Jokowi terancam di-impeachment oleh legislatif," kata anggota Fraksi Golkar ini di Gedung DPRD DKI Jakarta pada 23 Mei 2013.
Ia terdengar serius. Setidaknya, kata Asraf, ada upaya mengumpulkan tanda tangan untuk pemakzulan."Sudah terkumpul sekitar 30 suara yang ingin impeachment," kata dia.
Kasak-kusuk di DPRD itu sontak membuat telinga Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, memerah. Dia menggugat niat pemakzulan ini. "Kalau mau tanya, ya panggil kami saja. Hak tanya saja dibilang pemakzulan. Belagu banget," kata Ahok, sapaan Basuki, di Balai Kota.
Menurut Ahok, upaya itu tak masuk akal. "Ini bukan seperti hubungan DPR dengan presiden. Ini beda," tuturnya.
Tapi Jokowi lebih kalem. Menurutnya, mekanisme interpelasi sah digunakan sebagai hak Dewan. "DPRD mau impeachment ya silakan, saya siap saja kok. DPRD kan ada hakbudgeting, hak interpelasi, dan banyak lagi," katanya.
Dia mengatakan telah menduga ada pihak yang ingin memakzulkan dirinya. Menurut Jokowi, hal itu diketahui sebelum wacana interpelasi program Kartu Jakarta Sehat digulirkan. "Dari awal saya sudah merasa akan ada yang memakzulkan. Untuk apa urusan kecil teknis seperti itu harus interpelasi," katanya.
Mantan Wali Kota Solo itu pun tak ambil pusing. Dia juga tak pasang kuda-kuda menghadapi wacana itu. "Kalau sampai impeachment senang saja, jangan dipikirkan," ucap dia.
Tapi wacana interpelasi telah membuat gubernur-wakil gubernur tampak tak akur dengan DPRD. Saat membagikan 1,7 juta kartu sehat tahap II di Koja, Kalideres, dan Pasar Rebo,Jokowi terang-terangan tak mengajak DPRD.
“Hanya DPRD yang tidak diajak. Mereka tidak bicara sih. Ini kan urusan kita, eksekutif. Kami hanya bagi saja kok," katanya.
Pun, kala mengomentari soal kurangnya fasilitas rumah sakit kelas III di DKI Jakarta. Menurutnya, ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ingin membuat rumah sakit, tapi justru diganjal dengan perizinan oleh dewan.
"Ya faktanya di lapangan memang masih ada satu atau dua yang seperti itu. Harusnya kan kita ini sudah mulai tambah rumah sakit, seperti di Jakarta Selatan. Tapi sampai sekarang, izin dari dewan belum keluar," ujar Jokowi.
Wagub Ahok turut memberikan “pukulan” balasan. Dia mengkritik rencana para anggota Dewan itu berkunjung ke luar negeri. Program itu bakal menelan anggaran sebesar Rp1,9 miliar. "Tidak perlu lah. Pakai Youtube juga bisa. Tapi itu haknya mereka. Kalau ingin jalan-jalan silakan," tuturnya.
Tapi gerakan di Dewan tak berhenti. Sebuah rapat digelar Dewan setelah 32 tanda tangan dukungan hak interpelasi terkumpul pada 27 Mei lalu. Berdasarkan peraturan, usul itu harus ditindaklanjuti sesuai mekanisme, apakah diteruskan atau tidak dalam rapat paripurna.
Namun, belum lagi sampai ke rapat paripurna, satu persatu pendukung interpelasi menarik diri. Sampai saat ini terhitung 5 pendukung mencabut dukungan. Satu dari Golkar, dan empat dari Fraksi PPP.
Tapi tampaknya pencabutan itu tak terlalu berpengaruh, karena jumlah yang meneken masih memenuhi syarat diproses sebagai hak interpelasi. Kata undang-undang, sekurangnya harus ada 15 tanda tangan dukungan, dari minimal dua fraksi di Dewan.
Sekadar guyonan?
“Rapim tentang interpelasi itu keras,” kata Sanusi, Ketua Fraksi Gerindra, pada 30 Mei. Sanusi menilai interpelasi tak tepat digunakan untuk masalah Kartu Jakarta Sehat. Gerindra meyakini, interpelasi tak akan terwujud. “Kita nanti bisa disebut lebay.”
Ahsraf Ali, Ketua Fraksi Golkar, menegaskan anggotanya yang tadinya turut teken usul interpelasi telah menarik dukungan. “Pada saat rapat Fraksi, Partai Golkar memutuskan tidak ikut pada interpelasi itu,” katanya kepada VIVAnews, Kamis, 30 Mei.
Bagi Golkar, persoalan Kartu Jakarta Sehat tak perlu dibahas dalam forum interpelasi. Tapi cukup ditangani di Komisi E.
Dwi Rio Sambodo, anggota Komisi E dari Fraksi PDIP, menilai usulan interpelasi tidak substantif. Menurutnya, persoalan keluhan tarif INA CBGs yang tak sesuai beban rumah sakit bisa diselesaikan Komisi E. Jadi, kata dia, usul interpelasi tak relevan. “Jangan diteruskan,” ujarnya.
Apalagi, kata dia, interpelasi selalu sarat muatan politis. “Kalau tidak ada alasan kuat maka akan menjadi sekadar guyonan,” ujarnya. Dia mengatakan yang sudah mencabut dukungan interpelasi bukan hanya 5 anggota. Tapi sudah ada 8 orang. “Golkar sudah mundur. Jadi memang jumlahnya minoritas dari semua anggota DPRD. Itu harus menjadi catatan.”
Ketua DPRD DKI Jakarta, Ferryal Sofyan, mengatakan ihwal Kartu Jakarta Sehat masih dibicarakan di Komisi E.
Artinya Dewan belum ada pendapat. Sampai kini dia bahkan belum terima undangan rapat soal interpelasi. "Isi interpelasinya saja saya belum mengerti," kata Ferryal. Kata dia, untuk soal interpelasi, harusnya disahkan dulu pada rapat paripurna.
Taufiqurrahman, anggota Fraksi Partai Demokrat, yang disebut-sebut sebagai inisiator, membantah interpelasi bertujuan memakzulkan Jokowi. Dia hanya berangkat dari keluhan masyarakat soal mundurnya pelayanan kesehatan, dan ada protes pihak rumah sakit. “Dokter-dokter sampai demo turun ke jalan," katanya.
Menurutnya, masalah itu layak direspon dengan hak interpelasi. Soalnya ada kebijakan yang diubah secara sepihak tanpa sepengetahuan Dewan. “Dari yang tadinya dipegang oleh dinas kesehatan, sekarang jadi dipegang oleh PT Askes,” ujarnya.
Kata Taufiq, dia juga heran ada pembelokan isu interpelasi menjadi pelengseran. Akibatnya, timbul reaksi negatif dari warga. "Kami tidak pernah berbicara pemakzulan tetapi hak interpelasi," ujarnya.
Kolega Taufiq di Demokrat, Habib Alaydrus, mengatakan interpelasi itu akibat mereka prihatin melihat Kartu Jakarta Sehat yang banyak dipakai orang kaya. Jadi, program itu perlu dievaluasi. “Kami hanya ingin bertanya saja kepada Jokowi. Bukan ingin memakzulkan,” ujarnya.
Spekulasi lalu bertiup setelah pengumpulan tanda tangan itu. Seolah-olah, interpelasi itu akan dilanjutkan hingga pemakzulan gubernur. Anggota DPRD DKI Jakarta Komisi E, Asraf Ali, misalnya. Dia mengatakan Jokowi terancam dimakzulkan (impeachment) jika masalah Kartu Jakarta Sehat tidak kelar.
"Ini bahaya. Pak Jokowi terancam di-impeachment oleh legislatif," kata anggota Fraksi Golkar ini di Gedung DPRD DKI Jakarta pada 23 Mei 2013.
Ia terdengar serius. Setidaknya, kata Asraf, ada upaya mengumpulkan tanda tangan untuk pemakzulan."Sudah terkumpul sekitar 30 suara yang ingin impeachment," kata dia.
Kasak-kusuk di DPRD itu sontak membuat telinga Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, memerah. Dia menggugat niat pemakzulan ini. "Kalau mau tanya, ya panggil kami saja. Hak tanya saja dibilang pemakzulan. Belagu banget," kata Ahok, sapaan Basuki, di Balai Kota.
Menurut Ahok, upaya itu tak masuk akal. "Ini bukan seperti hubungan DPR dengan presiden. Ini beda," tuturnya.
Tapi Jokowi lebih kalem. Menurutnya, mekanisme interpelasi sah digunakan sebagai hak Dewan. "DPRD mau impeachment ya silakan, saya siap saja kok. DPRD kan ada hakbudgeting, hak interpelasi, dan banyak lagi," katanya.
Dia mengatakan telah menduga ada pihak yang ingin memakzulkan dirinya. Menurut Jokowi, hal itu diketahui sebelum wacana interpelasi program Kartu Jakarta Sehat digulirkan. "Dari awal saya sudah merasa akan ada yang memakzulkan. Untuk apa urusan kecil teknis seperti itu harus interpelasi," katanya.
Mantan Wali Kota Solo itu pun tak ambil pusing. Dia juga tak pasang kuda-kuda menghadapi wacana itu. "Kalau sampai impeachment senang saja, jangan dipikirkan," ucap dia.
Tapi wacana interpelasi telah membuat gubernur-wakil gubernur tampak tak akur dengan DPRD. Saat membagikan 1,7 juta kartu sehat tahap II di Koja, Kalideres, dan Pasar Rebo,Jokowi terang-terangan tak mengajak DPRD.
“Hanya DPRD yang tidak diajak. Mereka tidak bicara sih. Ini kan urusan kita, eksekutif. Kami hanya bagi saja kok," katanya.
Pun, kala mengomentari soal kurangnya fasilitas rumah sakit kelas III di DKI Jakarta. Menurutnya, ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ingin membuat rumah sakit, tapi justru diganjal dengan perizinan oleh dewan.
"Ya faktanya di lapangan memang masih ada satu atau dua yang seperti itu. Harusnya kan kita ini sudah mulai tambah rumah sakit, seperti di Jakarta Selatan. Tapi sampai sekarang, izin dari dewan belum keluar," ujar Jokowi.
Wagub Ahok turut memberikan “pukulan” balasan. Dia mengkritik rencana para anggota Dewan itu berkunjung ke luar negeri. Program itu bakal menelan anggaran sebesar Rp1,9 miliar. "Tidak perlu lah. Pakai Youtube juga bisa. Tapi itu haknya mereka. Kalau ingin jalan-jalan silakan," tuturnya.
Tapi gerakan di Dewan tak berhenti. Sebuah rapat digelar Dewan setelah 32 tanda tangan dukungan hak interpelasi terkumpul pada 27 Mei lalu. Berdasarkan peraturan, usul itu harus ditindaklanjuti sesuai mekanisme, apakah diteruskan atau tidak dalam rapat paripurna.
Namun, belum lagi sampai ke rapat paripurna, satu persatu pendukung interpelasi menarik diri. Sampai saat ini terhitung 5 pendukung mencabut dukungan. Satu dari Golkar, dan empat dari Fraksi PPP.
Tapi tampaknya pencabutan itu tak terlalu berpengaruh, karena jumlah yang meneken masih memenuhi syarat diproses sebagai hak interpelasi. Kata undang-undang, sekurangnya harus ada 15 tanda tangan dukungan, dari minimal dua fraksi di Dewan.
Sekadar guyonan?
“Rapim tentang interpelasi itu keras,” kata Sanusi, Ketua Fraksi Gerindra, pada 30 Mei. Sanusi menilai interpelasi tak tepat digunakan untuk masalah Kartu Jakarta Sehat. Gerindra meyakini, interpelasi tak akan terwujud. “Kita nanti bisa disebut lebay.”
Ahsraf Ali, Ketua Fraksi Golkar, menegaskan anggotanya yang tadinya turut teken usul interpelasi telah menarik dukungan. “Pada saat rapat Fraksi, Partai Golkar memutuskan tidak ikut pada interpelasi itu,” katanya kepada VIVAnews, Kamis, 30 Mei.
Bagi Golkar, persoalan Kartu Jakarta Sehat tak perlu dibahas dalam forum interpelasi. Tapi cukup ditangani di Komisi E.
Dwi Rio Sambodo, anggota Komisi E dari Fraksi PDIP, menilai usulan interpelasi tidak substantif. Menurutnya, persoalan keluhan tarif INA CBGs yang tak sesuai beban rumah sakit bisa diselesaikan Komisi E. Jadi, kata dia, usul interpelasi tak relevan. “Jangan diteruskan,” ujarnya.
Apalagi, kata dia, interpelasi selalu sarat muatan politis. “Kalau tidak ada alasan kuat maka akan menjadi sekadar guyonan,” ujarnya. Dia mengatakan yang sudah mencabut dukungan interpelasi bukan hanya 5 anggota. Tapi sudah ada 8 orang. “Golkar sudah mundur. Jadi memang jumlahnya minoritas dari semua anggota DPRD. Itu harus menjadi catatan.”
Ketua DPRD DKI Jakarta, Ferryal Sofyan, mengatakan ihwal Kartu Jakarta Sehat masih dibicarakan di Komisi E.
Artinya Dewan belum ada pendapat. Sampai kini dia bahkan belum terima undangan rapat soal interpelasi. "Isi interpelasinya saja saya belum mengerti," kata Ferryal. Kata dia, untuk soal interpelasi, harusnya disahkan dulu pada rapat paripurna.
Taufiqurrahman, anggota Fraksi Partai Demokrat, yang disebut-sebut sebagai inisiator, membantah interpelasi bertujuan memakzulkan Jokowi. Dia hanya berangkat dari keluhan masyarakat soal mundurnya pelayanan kesehatan, dan ada protes pihak rumah sakit. “Dokter-dokter sampai demo turun ke jalan," katanya.
Menurutnya, masalah itu layak direspon dengan hak interpelasi. Soalnya ada kebijakan yang diubah secara sepihak tanpa sepengetahuan Dewan. “Dari yang tadinya dipegang oleh dinas kesehatan, sekarang jadi dipegang oleh PT Askes,” ujarnya.
Kata Taufiq, dia juga heran ada pembelokan isu interpelasi menjadi pelengseran. Akibatnya, timbul reaksi negatif dari warga. "Kami tidak pernah berbicara pemakzulan tetapi hak interpelasi," ujarnya.
Kolega Taufiq di Demokrat, Habib Alaydrus, mengatakan interpelasi itu akibat mereka prihatin melihat Kartu Jakarta Sehat yang banyak dipakai orang kaya. Jadi, program itu perlu dievaluasi. “Kami hanya ingin bertanya saja kepada Jokowi. Bukan ingin memakzulkan,” ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar