Ada saja kabar yang membuat republik ini geger. Yang terbaru ini mengernyitkan dahi kita: beredar kuesioner Dinas Kesehatan di sejumlah SMP di Sabang, Aceh, yang--astagfirullah--tentang organ vital siswa. Para pelajar remaja di Bumi Serambi Mekkah diwajibkan menjawab pertanyaan berapa ukuran alat kelamin dan payudara mereka.
Persoalan ini makin jadi polemik karena bulan lalu, publik baru dikagetkan dengan rencana dilakukannya tes keperawanan untuk pelajar puteri di Kota Prabumulih, Sumatera Selatan. Syukurlah, kebijakan tak patut itu urung diterapkan setelah mendapat penolakan keras dari masyarakat.
Seperti tes keperawanan, "survei kelamin" pun luas dikecam.
Anggota Komisi VIII Bidang Agama DPR RI, Nurhayati Ali Assegaf, Jumat 6 September 2013, menyatakan kuesioner yang entah untuk apa tujuannya itu vulgar dan tak sesuai dengan budaya bangsa. "Kita harus tahu budaya timur kita bagaimana. Jika itu kuesioner pendidikan seks, mestinya kan tidak ada hubungannya dengan ukuran BH," Nurhayati pedas menyindir.
Dia minta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh segera mengambil tindakan. "Kalau pusat tidak berperan, ya habis. Kalau semua diserahkan ke daerah, tapi mereka mengambil kebijakan yang tidak pas bagaimana?"
Anggota Komisi VIII lainnya, Ace Hasan Syadzily, melihat penyebaran koesioner berisi berbagai gambar alat vital itu sangat janggal, "Untuk apa isian formulir ukuran kelamin dan payudara? Apa kaitannya dengan dunia pendidikan? Aneh sekali," kata Ace.
Kritik keras juga dilontarkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI meminta Dinas Kesehatan Kota Sabang segera menarik kuesioner itu.
Menurut Komisioner KPAI Bidang Pornografi dan Napza, Maria Advianti, pertanyaan-pertanyaan di kuesioner itu tidak relevan dengan permasalahan kesehatan reproduksi anak dan remaja, "Pendidikan kesehatan reproduksi pada anak dan remaja seharusnya lebih diarahkan pada pencegahan perilaku seksual yang keliru dan kekerasan seksual."
Maria Advianti yang juga Sekretaris KPAI mewanti-wanti, "Kuesioner yang menampilkan gambar, foto, atau sketsa bagian-bagian alat vital reproduksi tanpa penjelasan yang memadai bisa mengarah kepada pornografi."
Orangtua kaget
Geger ini bermula dari kekagetan Nurlina (40). Orangtua murid SMP Negeri 1 Kota Sabang ini suatu hari kaget mendapat pertanyaan anaknya, Muhammad Faziz (12), soal pertanyaan-pertanyaan di kuesioner yang diedarkan sekolahnya itu. Nurlina terperanjat melihat di kuesioner terpampang banyak gambar kelamin pria secara vulgar, dengan berbagai ukuran, mulai dari yang kecil hingga besar. Bocah itu lalu disuruh memilih ukuran mana yang dia sukai.
Nurlina langsung menghentikan anaknya mengisi kuesioner. Kesal, dia lalu mencurahkan unek-uneknya di Facebook. Dari situlah, kuesioner tersebut berembus kencang menjadi isu nasional. Bahkan, sejumlah media asing--di antaranya media Malaysia dan Australia--turut memberitakan kekonyolan ini.
Nurlina dipanggil pihak sekolah, Kamis kemarin, dan diminta menghadap kepala sekolah. Dalam pertemuan itu, dia rupanya tidak sendirian. Pihak sekolah juga mengundang seluruh wali murid. Sejumlah pejabat Dinas Kesehatan Aceh, Dinas Pendidikan Aceh, dan Puskesmas Sabang pun hadir.
Namun, bukannya mendukung tindakan dia mengungkap praktik janggal itu, pihak sekolah dan pejabat setempat malah menilai dia telah mencemarkan nama baik sekolah dan kota Sabang. Pihak sekolah beranggapan, gara-gara Nurlina, citra kota Sabang kini jadi lekat dengan kuesioner alat kelamin.
"Tapi saya tidak akan minta maaf, karena menurut saya kuesioner itu tidak pantas diterima anak-anak," Nurlina bersikeras.
Dikonfirmasi soal ini, Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Sabang, Sarifah Nur, membenarkan Kamis kemarin Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan meminta sekolah untuk memanggil semua wali murid. Pertemuan itu digelar untuk membicarakan kuesioner alat kelamin yang menghebohkan itu.
Namun, dia menolak berkomentar lebih jauh soal Nurlina mereka paksa meminta maaf secara terbuka. Dia cuma bilang seharusnya Nurlina mempertanyakan dulu kuesioner tersebut ke pihak sekolah sebelum menyebarluaskannya di media sosial. "Soal itu saya tidak bisa jawab sekarang. Tapi kenapa ibu itu tidak mengkonsultasikan terlebih dahulu dengan pihak sekolah? Lagi pula, itu bukan kuesioner sekolah, tapi dari Dinas Kesehatan," katanya.
Survei siapa?
Tak mau disalahkan sendirian, Kepala Dinas Kesehatan Aceh, Taqwallah, menyatakan "survei kelamin" ini bukan hanya dilakukan di Sabang tapi di seluruh wilayah Indonesia. Tujuannya, ini masih kata Taqwallah, untuk meningkatkan pemahaman siswa dan untuk mendeteksi secara dini masalah kesehatan mereka.
"Itu juga untuk tersedianya data kesehatan peserta didik sehingga bisa dijadikan pertimbangan dalam menyusun program kesehatan di sekolah," ia berupaya menjelaskan.
Taqwallah mengungkapkan terjadi kesalahan prosedur dalam pelaksanaan survei. Petugas Puskesmas Cot Bak U Kota Sabang tidak menjelaskan secara detail survei ini kepada Kepala Sekolah SMPN 1 Kota Sabang. Seharusnya, kuesioner hanya boleh diisi di sekolah dan tidak boleh dibawa pulang ke rumah.
"Kami meminta maaf atas kesalahan petugas kami," katanya.
Taqwallah lupa, yang disoal di sini bukan masalah apakah kuesioner itu diisi di sekolah atau di rumah, melainkan isinya yang dirasa banyak kalangan tidak masuk akal dan aneh bin ajaib.
Direktur Bina Kesehatan Anak Kementerian Kesehatan, Jane Supandi, mengatakan kuesioner itu merupakan upaya pemerintah untuk mendeteksi dini masalah reproduksi siswa. "Itu bukan survei, tapi itu adalah upaya untuk mendeteksi masalah kesehatan anak di sekolah," kata Jane saat ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat 6 September.
Dia membenarkan bahwa kegiatan ini merupakan program resmi pemerintah yang dilaksanakan setiap tahun di seluruh daerah di Indonesia terhadap siswa usia remaja, yakni di tingkat SMP dan SMA. "Anak diajarkan untuk melakukan deteksi dini, sekaligus tentang kesehatan reproduksi."
Jane mengklarifikasi kuesioner itu bukan untuk mengukur alat kelamin, tapi upaya deteksi dini masalah kesehatan reproduksi siswa. "Tolong persoalan ini jangan dipelintir. Anggota DPR juga jangan asal ngomong," katanya.
"Itu juga untuk tersedianya data kesehatan peserta didik sehingga bisa dijadikan pertimbangan dalam menyusun program kesehatan di sekolah," ia berupaya menjelaskan.
Taqwallah mengungkapkan terjadi kesalahan prosedur dalam pelaksanaan survei. Petugas Puskesmas Cot Bak U Kota Sabang tidak menjelaskan secara detail survei ini kepada Kepala Sekolah SMPN 1 Kota Sabang. Seharusnya, kuesioner hanya boleh diisi di sekolah dan tidak boleh dibawa pulang ke rumah.
"Kami meminta maaf atas kesalahan petugas kami," katanya.
Taqwallah lupa, yang disoal di sini bukan masalah apakah kuesioner itu diisi di sekolah atau di rumah, melainkan isinya yang dirasa banyak kalangan tidak masuk akal dan aneh bin ajaib.
Direktur Bina Kesehatan Anak Kementerian Kesehatan, Jane Supandi, mengatakan kuesioner itu merupakan upaya pemerintah untuk mendeteksi dini masalah reproduksi siswa. "Itu bukan survei, tapi itu adalah upaya untuk mendeteksi masalah kesehatan anak di sekolah," kata Jane saat ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat 6 September.
Dia membenarkan bahwa kegiatan ini merupakan program resmi pemerintah yang dilaksanakan setiap tahun di seluruh daerah di Indonesia terhadap siswa usia remaja, yakni di tingkat SMP dan SMA. "Anak diajarkan untuk melakukan deteksi dini, sekaligus tentang kesehatan reproduksi."
Jane mengklarifikasi kuesioner itu bukan untuk mengukur alat kelamin, tapi upaya deteksi dini masalah kesehatan reproduksi siswa. "Tolong persoalan ini jangan dipelintir. Anggota DPR juga jangan asal ngomong," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar