HAFRIZAL SYANDRI — Saya membaca berita Harian Singgalang Kamis 30 Januari 2014 dengan topik 10 ton ikan karamba mati di Maninjau, sebelumnya tanggal 18 November 2013 Harian Singgalang juga memberitakan enam ton ikan mati di Maninjau.
Sepengetahuan saya kematian massal ikan di Danau Maninjau sudah berulangkali terjadi yang mengakibatkan kerugian kepada petani ikan milyaran rupiah.
Saya sudah cukup lama dan sering berdiskusi dengan tokoh masyarakat lingkar Maninjau, ternyata sejarah masa lampau mengungkapkan bahwa kekayaan yang tersimpan di alam Maninjau beserta danaunya membuat hubungan antara manusia dan alam semakin dekat. Lahan subur, iklim yang nyaman, sumber makanan dan air yang berlimpah, serta banyak kekayaan lainnya seperti pala dan cengkeh.
Kebutuhan akan sumber daya alam di sini pada awalnya terbentuk hanya atas alasan bertahan hidup, tetapi perkembangan zaman membuat pola hidup terus berkembang dan membentuk beragam alasan lainnya. Hal tersebut membentuk beragam karakter lanskap budaya yang tumbuh dan berkembang di lingkar Danau Maninjau hingga saat ini.
Asal-muasal masyarakat Maninjau berasal dari perantau yang turun dari puncak Gunung Marapi. Masyarakat ini merupakan sebagian dari suku Minang yang sampai ke Puncak Lawang di atas Maninjau. Sebelum memanfaatkan kekayaan alam dan memulai hidup di sekitar Danau Maninjau, mereka meninjau kelayakan kekayaan alam dengan hati-hati dan sangat bijak. Filosofi dasar “Alam Takambang Jadi Guru” dipegang dan diaplikasikan dengan baik dalam bertindak. Mereka meninjau cukup lama dari bukit-bukit yang tinggi di batas luar Maninjau, meninjau alam di bawah apakah akan layak dihuni dan tidak membahayakan kehidupannya. Hanya lahan-lahan yang cukup datar dipilih sebagai lahan budidaya. Hutan primer di bukit-bukit terjal yang mengelilingi danau dijaga agar tidak terjadi longsor. Sumber protein dari danau telah cukup melimpah dengan beragam spesies endemik akan meledak populasinya pada waktu-waktu tertentu, sehingga dapat dengan mudah dipanen tanpa perlu budidaya atau interaksi intensif pada danau, sehingga kejernihan danau tetap terjaga, turis lokal dan mancanegara dapat berenang sambil menikmati keindahan danau dan makan pensi, ekosistem darat dan danau saling mendukung.
Saya sudah cukup lama dan sering berdiskusi dengan tokoh masyarakat lingkar Maninjau, ternyata sejarah masa lampau mengungkapkan bahwa kekayaan yang tersimpan di alam Maninjau beserta danaunya membuat hubungan antara manusia dan alam semakin dekat. Lahan subur, iklim yang nyaman, sumber makanan dan air yang berlimpah, serta banyak kekayaan lainnya seperti pala dan cengkeh.
Kebutuhan akan sumber daya alam di sini pada awalnya terbentuk hanya atas alasan bertahan hidup, tetapi perkembangan zaman membuat pola hidup terus berkembang dan membentuk beragam alasan lainnya. Hal tersebut membentuk beragam karakter lanskap budaya yang tumbuh dan berkembang di lingkar Danau Maninjau hingga saat ini.
Asal-muasal masyarakat Maninjau berasal dari perantau yang turun dari puncak Gunung Marapi. Masyarakat ini merupakan sebagian dari suku Minang yang sampai ke Puncak Lawang di atas Maninjau. Sebelum memanfaatkan kekayaan alam dan memulai hidup di sekitar Danau Maninjau, mereka meninjau kelayakan kekayaan alam dengan hati-hati dan sangat bijak. Filosofi dasar “Alam Takambang Jadi Guru” dipegang dan diaplikasikan dengan baik dalam bertindak. Mereka meninjau cukup lama dari bukit-bukit yang tinggi di batas luar Maninjau, meninjau alam di bawah apakah akan layak dihuni dan tidak membahayakan kehidupannya. Hanya lahan-lahan yang cukup datar dipilih sebagai lahan budidaya. Hutan primer di bukit-bukit terjal yang mengelilingi danau dijaga agar tidak terjadi longsor. Sumber protein dari danau telah cukup melimpah dengan beragam spesies endemik akan meledak populasinya pada waktu-waktu tertentu, sehingga dapat dengan mudah dipanen tanpa perlu budidaya atau interaksi intensif pada danau, sehingga kejernihan danau tetap terjaga, turis lokal dan mancanegara dapat berenang sambil menikmati keindahan danau dan makan pensi, ekosistem darat dan danau saling mendukung.
Pola budaya yang sangat berbeda terasa saat ini. Masyarakat di lingkar Danau Maninjau saat ini tampaknya sudah jauh meninggalkan akar budaya “meninjau alam” yang dulu dilakukan oleh para pendahulu. Intensitas derajat pengubahan lanskap alami oleh masyarakat terhadap lanskap lingkar Danau Maninjau semakin tinggi dari masa ke masa. Pemukiman dan lahan-lahan budidaya dikembangkan pada lahan-lahan curam bekas hutan yang menyangga tebing dan pada bibir danau. Bahkan sejak gempa 2009 sebagian kawasan ini sudah ditetapkan sebagai zona merah oleh pemerintah yang berwenang dalam hal ini.
Interaksi langsung tidak hanya dilakukan di daratan tetapi juga pada danau, dengan budidaya ikan sistem keramba jaring apung yang semakin intensif dilakukan sejak tahun 1992, dan pada bulan Juli 2013 berdasarkan hasil penelitian yang saya lakukan karamba jaring apung sudah berjumlah 16.210 petak dan tidak kurang dari 800-1.200 ton pakan setiap bulan dicurahkan ke dalam keramba untuk makanan ikan. Jumlah yang sudah melampaui daya dukung lingkungan perairan yang hanya mentolerir sebanyak 6.000 petak. Kalau dihitung dengan luas danau yang dimanfaatkan untuk berkeramba baru mencapai 0,41%, tapi itu bukanlah angka yang dapat dijadikan patokan secara ilmiah yang selama ini sebagian para pakar dan praktisi menyatakan bahwa Danau Maninjau belum dimanfaatkan 1%. Padahal danau yang luasnya 9.950 ha dengan kedalaman rata-rata 105 m dengan waktu tinggal air (water retention time) se lama 25 tahun kondisinya sekarang sudah tercemar berat.
Jumlah sedimen yang saya hitung selama dua belas tahun terakhir yang menumpuk di dasar danau dan di bawah lokasi keramba sebanyak 111.889,84 ton, angka ini saya kalkulasikan dari jumlah keramba, padat tebar ikan, jumlah pakan yang diberikan, produksi ikan dan prediksi pakan yang terbuang. Belum lagi yang berasal dari luar danau. Sedimentasi sewaktu-waktu akan diangkat ke permukaan air oleh angin kencang (istilah setempat angin darek) dan diperparah lagi pada waktu bersamaan terjadi curah hujan yang sangat tinggi, sehingga perairan kekurangan oksigen dan senyawa beracun lainnya meningkat kadarnya yang dapat menyebabkan kematian massal ikan di dalam keramba.
Kematian ikan secara massal tidak hanya berdampak secara ekonomi, tetapi juga menyebabkan dampak sosial kepada masyarakat. Dampak sosial ditinjau dari potensi keuntungan yang hilang, hilangnya sumber mata pencaharian sejumlah tenaga kerja, adanya peningkatan hutang untuk melanjutkan usaha, terjadinya penurunan kualitas konsumsi dan kesehatan masyarakat yang terkena dampak secara langsung, secara tidak langsung juga berdampak terhadap pariwisata karena tepi danau barbau amis akibat banyak ikan keramba yang mati.
Saya telah menghitung ketika kematian massal ikan tahun 2009 dari 7.372 petak keramba dengan jumlah ikan siap untuk dipanen berkisar antara 1.200-1.500 kg/ keramba, maka potensi keuntungan petani keramba yang hilang adalah Rp 13,24 milyar, pedagang pakan /sub agen Rp276,5 juta, pedagang ikan/toke Rp14,75 milyar. Upah tenaga kerja pemanen ikan yang hilang akibat ikan tidak dapat dipanen adalah Rp3,6 miliar yang melibatkan tidak kurang dari 500 tenaga kerja, tenaga kerja pemberi pakan ikan Rp230,37 juta yang melibatkan 460 orang, tenaga kerja lainnya yang merasakan dampak kematian massal ikan ini adalah sopir sebanyak 60 orang yang menghantarkan ikan hasil produksi ke pasar. Dengan kematian ikan 11.058 ton, maka terdapat 7.372 trip truk yang tidak melakukan kegiatan pengangkutan ikan ke Medan, Jambi, Pekanbaru dan daerah sekitarnya.
Total upah yang tidak diterima oleh para sopir karena adanya kematian ikan secara massal adalah Rp2.2 milyar. Tenaga kerja lain yang juga merasakan dampak kematian masal ikan di keramba adalah tenaga kerja pembenih ikan nila di areal persawahan yang terdapat di lingkar danau, yaitu di Nagari Bayur, Maninjau, Sungai Batang dan Koto Malintang. Setiap pembenih ikan mempunyai anggota rata-rata sebanyak dua orang dengan upah Rp30.000 per hari. Jika kegiatan pembenihan ikan terhenti selama tiga bulan, maka total upah yang tidak diterima oleh seluruh tenaga kerja pembenih ikan nila adalah Rp9,18 juta .
Inilah potret lanskap budaya dan usaha keramba jaring apung di lingkar Danau Maninjau dan keberlanjutannya sangat mengkhawatirkan. Permasalahan tersebut sangat mempengaruhi pola sosial dan ekonomi masyarakat.
Alam sebagai tempat hidup dan bepijak bagi manusia akan semakin sempit. Daya dukung lingkungan alam semakin menurun, jika tidak ada kesadaran, kontrol, dan perhatian pada aspek-aspek yang mempengaruhi keberlanjutannya oleh para pemangku kepentingan, maka dikhawatikan pada masa yang akan datang Danau Maninjau akan semakin membuat kita menjadi risau. Mari kita selamatkan Danau Maninjau. (Penulis Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta).
Interaksi langsung tidak hanya dilakukan di daratan tetapi juga pada danau, dengan budidaya ikan sistem keramba jaring apung yang semakin intensif dilakukan sejak tahun 1992, dan pada bulan Juli 2013 berdasarkan hasil penelitian yang saya lakukan karamba jaring apung sudah berjumlah 16.210 petak dan tidak kurang dari 800-1.200 ton pakan setiap bulan dicurahkan ke dalam keramba untuk makanan ikan. Jumlah yang sudah melampaui daya dukung lingkungan perairan yang hanya mentolerir sebanyak 6.000 petak. Kalau dihitung dengan luas danau yang dimanfaatkan untuk berkeramba baru mencapai 0,41%, tapi itu bukanlah angka yang dapat dijadikan patokan secara ilmiah yang selama ini sebagian para pakar dan praktisi menyatakan bahwa Danau Maninjau belum dimanfaatkan 1%. Padahal danau yang luasnya 9.950 ha dengan kedalaman rata-rata 105 m dengan waktu tinggal air (water retention time) se lama 25 tahun kondisinya sekarang sudah tercemar berat.
Jumlah sedimen yang saya hitung selama dua belas tahun terakhir yang menumpuk di dasar danau dan di bawah lokasi keramba sebanyak 111.889,84 ton, angka ini saya kalkulasikan dari jumlah keramba, padat tebar ikan, jumlah pakan yang diberikan, produksi ikan dan prediksi pakan yang terbuang. Belum lagi yang berasal dari luar danau. Sedimentasi sewaktu-waktu akan diangkat ke permukaan air oleh angin kencang (istilah setempat angin darek) dan diperparah lagi pada waktu bersamaan terjadi curah hujan yang sangat tinggi, sehingga perairan kekurangan oksigen dan senyawa beracun lainnya meningkat kadarnya yang dapat menyebabkan kematian massal ikan di dalam keramba.
Kematian ikan secara massal tidak hanya berdampak secara ekonomi, tetapi juga menyebabkan dampak sosial kepada masyarakat. Dampak sosial ditinjau dari potensi keuntungan yang hilang, hilangnya sumber mata pencaharian sejumlah tenaga kerja, adanya peningkatan hutang untuk melanjutkan usaha, terjadinya penurunan kualitas konsumsi dan kesehatan masyarakat yang terkena dampak secara langsung, secara tidak langsung juga berdampak terhadap pariwisata karena tepi danau barbau amis akibat banyak ikan keramba yang mati.
Saya telah menghitung ketika kematian massal ikan tahun 2009 dari 7.372 petak keramba dengan jumlah ikan siap untuk dipanen berkisar antara 1.200-1.500 kg/ keramba, maka potensi keuntungan petani keramba yang hilang adalah Rp 13,24 milyar, pedagang pakan /sub agen Rp276,5 juta, pedagang ikan/toke Rp14,75 milyar. Upah tenaga kerja pemanen ikan yang hilang akibat ikan tidak dapat dipanen adalah Rp3,6 miliar yang melibatkan tidak kurang dari 500 tenaga kerja, tenaga kerja pemberi pakan ikan Rp230,37 juta yang melibatkan 460 orang, tenaga kerja lainnya yang merasakan dampak kematian massal ikan ini adalah sopir sebanyak 60 orang yang menghantarkan ikan hasil produksi ke pasar. Dengan kematian ikan 11.058 ton, maka terdapat 7.372 trip truk yang tidak melakukan kegiatan pengangkutan ikan ke Medan, Jambi, Pekanbaru dan daerah sekitarnya.
Total upah yang tidak diterima oleh para sopir karena adanya kematian ikan secara massal adalah Rp2.2 milyar. Tenaga kerja lain yang juga merasakan dampak kematian masal ikan di keramba adalah tenaga kerja pembenih ikan nila di areal persawahan yang terdapat di lingkar danau, yaitu di Nagari Bayur, Maninjau, Sungai Batang dan Koto Malintang. Setiap pembenih ikan mempunyai anggota rata-rata sebanyak dua orang dengan upah Rp30.000 per hari. Jika kegiatan pembenihan ikan terhenti selama tiga bulan, maka total upah yang tidak diterima oleh seluruh tenaga kerja pembenih ikan nila adalah Rp9,18 juta .
Inilah potret lanskap budaya dan usaha keramba jaring apung di lingkar Danau Maninjau dan keberlanjutannya sangat mengkhawatirkan. Permasalahan tersebut sangat mempengaruhi pola sosial dan ekonomi masyarakat.
Alam sebagai tempat hidup dan bepijak bagi manusia akan semakin sempit. Daya dukung lingkungan alam semakin menurun, jika tidak ada kesadaran, kontrol, dan perhatian pada aspek-aspek yang mempengaruhi keberlanjutannya oleh para pemangku kepentingan, maka dikhawatikan pada masa yang akan datang Danau Maninjau akan semakin membuat kita menjadi risau. Mari kita selamatkan Danau Maninjau. (Penulis Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar